Film ini pertama kali ditayangkan di Festival Film Internasional Hanoi 2018, kemudian Festival Film Asia Hong Kong 2018, dan Festival Film Internasional Capetown 2018. Di Indonesia, film ini pertama kali ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival dan baru ditayangkan di bioskop pada 11 April 2019. Film ini hanya berhasil menjaring 80.000 penonton dari 30 bioskop. Terdapat dua versi yang lulus sensor, yaitu versi penayangan bioskop berklasifikasi 17+ dengan pemotongan dan versi penayangan festival berklasifikasi 21+ utuh. Walaupun sempat tersiar kabar durasi film ini adalah 85 menit, tetapi Ertanto membantahnya. Film ini mendapatkan tanggapan yang cukup baik di kalangan pengulas film; beberapa di antaranya menyoroti tema Katolik yang diangkat dalam film ini. Walau demikian, latar belakang Maryam dinilai kurang digambarkan dengan jelas dalam film.
Alur
Pada 1998, seorang wanita berusia 40 tahun yang terlahir dari keluarga beragama Islam, Maryam (Maudy Koesnaedi) awalnya bekerja sebagai suster di panti jompo. Suatu hari, ia harus pindah ke Girisonta, Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Di sana, Maryam bekerja di gereja selepas berjumpa dengan tujuh biarawati tua dan memutuskan untuk merawat mereka di rumah biarawati. Maryam diperkenalkan sebagai penghuni baru di sana oleh Martin (Joko Anwar) kepada suster senior Monic (Tutie Kirana). Kehadiran Maryam mendapatkan sambutan hangat dari Mila (Olga Lydia) selaku penanggung jawab rumah biarawati itu. Sehari-hari Maryam membersihkan asrama, memandikan suster yang sudah tua, dan menyiapkan makanan. Maryam juga menjalin hubungan baik dengan Dinda (Nathania Angela), penjual susu beragama Islam yang sering menjajakan susu ke rumah biarawati.
Di tengah menjalani pekerjaan sehari-hari, Maryam mendapat kabar bahwa gereja akan dipimpin oleh seorang pastor baru berusia 35 tahun bernama Yosef (Chicco Jericho), anak angkat Monic. Kehadiran Yosef sendiri sudah dijanjikan Martin sejak lama. Yosef akan mengajari bermain orkestra kepada Maryam dan biarawati lainnya. Kepandaian Yosef dalam bermain orkestra membuat Maryam terpikat dan jatuh hati. Hal inilah yang membuat ibu angkat Yosef khawatir dan mencoba mengingatkan Yosef, tetapi gagal. Pertemuannya dengan Yosef sangat berkesan, sampai-sampai mereka diam-diam menjalin hubungan yang lebih erat meskipun mereka tahu itu salah. Hubungannya dengan Yosef membuatnya kesulitan mengurus para biarawati. Bahkan, Maryam dan Yosef bersetubuh dan saling berlari-larian dengan keadaan telanjang bulat di pantai.[cttn. 1] Ini menyebabkan Maryam jadi sering pulang telat dan mengabaikan tugas-tugasnya. Tindakan yang dilakukannya membawanya ke dalam pertanyaan mengenai kesetiaan dan komitmennya dalam melayani. Akhirnya, Maryam memutuskan berhenti mengabdi kepada gereja, sehingga meninggalkan kawan-kawannya sesama biarawati termasuk biarawati tua yang diurusnya. Saat itu, Monic berusaha menghiburnya. Maryam segera meninggalkan tempat tinggal biarawati dengan membawa kopernya.
Film ini awalnya berjudul Salt is Leaving the Sea.[1] Sebelum memulai produksi, pihak pembuat terlebih dahulu menyurati seluruh pihak terkait termasuk keuskupan di Semarang karena sadar tema film yang diangkat adalah hal yang dianggap sensitif di kalangan masyarakat.[2] Setelah mendapat izin, pengambilan gambar utama dilakukan selama sembilan hari di Semarang dan Yogyakarta pada 26 November 2016. Sutradara Ertanto Robby Soediskam menuturkan tim produksi maupun para pemeran bekerja dengan sukarela tanpa dibayar sepeser pun. Ia menyebut alasannya adalah memiliki kesamaan visi dan misi untuk memberi warna baru di dunia perfilman Indonesia. Ertanto menambahkan perihal konsumsi bagi para pihak yang terlibat disediakan oleh para suster yang mengabdi di sana. Ertanto menegaskan tidak akan ada sekuel untuk film ini.[3] Poster film diungkap pada akhir September 2018,[4] sementara iklan film diunggah sehari kemudian.[5]
Dalam proses produksi, awalnya Maudy Koesnaedi sempat menolak ikut berperan dalam Ave Maryam, tetapi Ertanto terus membujuknya sehingga ia sepakat dengan ajakan Ertanto.[6] Perannya sebagai Maryam membuat film ini menjadi film pertama dengan pemeran utama yang diperankan Maudy.[7] Pemilihan Maudy sendiri tidak ada kaitannya dengan agama,[8] bahkan Ertanto sendiri mengaku baru menyadari Maudy juga seagama dengannya, Islam, justru setelah produksi film selesai. Komentar yang mengitari iklan film yang mempertanyakan agama yang dianut Maudy juga menjadi penyebab Ertanto baru menyadari agama Maudy.[9] Maudy menyebut perannya sebagai Suster Maryam semakin menegaskan citranya sebagai Zaenab yang diperankannya di Si Doel The Movie.[10]
Tema dan gaya
Cecylia Rura dari Medcom menilai tema agama Katolik yang diangkat adalah gebrakan baru dari Ertanto dalam perfilman Indonesia. Ertanto dinilai resah dengan tema agama yang diangkat selama ini selalu bertemakan agama Islam. Keragaman juga menjadi hal yang turut diperhatikan Cecylia. Walaupun tema yang diangkat adalah agama Katolik, tetapi di antara jajaran pemeran, hanya Olga yang beragama Katolik. Chicco adalah pemeluk agama Kristen Protestan, sementara Ertanto dan Maudy sendiri justru beragama Islam. Karenanya, film ini dianggap tidak terlalu berpusat kepada tema agama Katolik itu sendiri, melainkan kisah cinta yang menjadi bahasa universal. Pelbagai latar belakang agama yang dianut dianggap sebagai dobrakan Ertanto lewat pertanyaan kecil yang seharusnya tidak terlontar di Indonesia dengan kemajemukan agama, suku, dan ras.[11]CNN Indonesia menyebut film ini memberikan warna baru di perfilman Indonesia karena perpanduan cinta terlarang dan agama yang diangkat dianggap jarang atau bahkan belum pernah diangkat di Indonesia. Pesan moral disampaikan dengan baik tanpa bermaksud menceramahi atau menggurui penonton. Selain itu, penggambaran Semarang juga dinilai semakin apik berkat sinematografer Ical Tanjung. Akhir film juga dinilai sengaja dibuat mengambang karena Robby ingin membuat penonton memberikan kisah akhir tersendiri untuk Maryam.[12] Maria Cicilia yang menulis ulasan untuk Antara menyatakan Ave Maryam adalah film cinta, tetapi bukan percintaan biasa. Kisah cinta Maryam dan Yosef tidak digambarkan dengan mengumbar kemesraan atau kata-kata manis secara terang-terangan, melainkan dalam tatapan, senyuman dan tangis. Tidak banyak dialog yang terlintas dalam film ini, tetapi maknanya tersampaikan dengan jelas.[13] Menyoroti judul, Permata Adinda dari Jurnal Ruang menyebut judul film adalah perpaduan dari istilah yang sudah familiar di kalangan penganut Islam dan Kristen, sehingga membuatnya tidak lazim.[14]
Menyoroti watak, Aulia Adam yang menulis untuk Tirto menilai Maryam adalah seorang introver sejati, dilihat dari bicaranya yang irit dan lebih memilih merenung dan memendam perasannya. Kesehariannya menjalani hidup sebagai biarawati sehingga memilih selibat dan menjauhi hal-hal duniawi dinilai Aulia cocok dengan watar Maryam. Aulia menekankan kesunyian dan suasana sepi serta pakaian berwarna abu-abu dan putih yang digunakan sehari-harinya jauh dari kesan menarik yang kerap kali ditakrifkan oleh dunia ekstrover.[15] Bersama Aulia, Stanley Widianto dari The Jakarta Post juga menyoroti hobi Maryam yang senang membaca buku, salah satunya novel Madame Bovary karya pengarang Prancis Gustave Flaubert.[15][16]
Namun, pergulatan emosi yang dihadapi Maryam dan latar belakang kehidupannya dinilai kurang tergali dengan baik. Selain CNN Indonesia,[12] Wayan Diananto dari Tabloid Bintang juga menyampaikan hal serupa. Wayan menduga penyensoran menyebabkan informasi latar belakang Maryam menjadi tidak jelas.[17]
Beberapa media juga menyoroti ucapan Monic pada adegan terakhir film. CNN Indonesia menyebut "Jika surga saja belum pasti untukku, buat apa nerakamu menjadi urusanku?".[12]Detik menyebut "Jika surga belum pasti untukku, untuk apa aku mengurusi nerakamu?".[18]Beritagar menyebut "Jika surga belum pasti untukku, buat apa aku mengurusi nerakamu?".[19]Medcom menyebut "Kalau surga belum pasti buat saya, buat apa saya mengurus nerakamu?".[20]Media Indonesia menyebut dengan lebih lengkap: "Aku mengerti betul perasaanmu. Menetapi kaul, atau mengikuti pada apa yang tak terlihat. Jika surga belum pasti untukku, mengapa aku harus mengurusi nerakamu?"[21]
Penayangan
Dengan masih menggunakan judul lama, film ini ditayangkan di Festival Film Internasional Hanoi 2018.[22] Film ini juga ditayangkan di Festival Film Asia Hong Kong 2018 dan Festival Film Internasional Capetown 2018.[23][24] Film ini berhasil menjadi pemenang kategori Penyuntingan Film Terbaik di Festival & Penghargaan Film Internasional Perbara ke-4 2019.[25]
Mengangkat tema cinta terlarang antara biarawati dan pastor, Ertanto mengatakan siap menghadapi segala kontroversi berkaitan dengan film karyanya.[2] Di Indonesia, Ave Maryam pertama kali ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018 pada 30 November 2018.[26] Film ini hanya ditayangkan di 30 bioskop Indonesia pada 11 April 2019 bersamaan dengan film lainnya seperti Bumi Itu Bulat dan Sunyi,[27] diundurkan dari jadwal semula yaitu Februari 2019.[28] Hingga Mei 2019 film ini menjaring sekitar 80.000 orang,[29] dengan rincian sekitar 42.044 orang sudah menonton film ini hingga 14 April dan 77.000 orang hingga 24 April.[30][31][cttn. 2] Film ini diperkirakan meraup pendapatan sebesar Rp3,2 miliar.[cttn. 3]
Penyensoran dan durasi
Terdapat dua versi yang diklasifikasikan Lembaga Sensor Film (LSF), yaitu versi dipotong yang diklasifikasikan 17+ pada 1 Maret 2019 dan versi utuh yang diklasifikasikan 21+ pada 22 Januari 2019;[34] hanya versi dipotong yang selanjutnya ditayangkan di bioskop, sementara versi utuh ditayangkan di Festival Film Plaza Indonesia 2019 pada 14 Februari 2019.[35] Dilaporkan bahwa aslinya durasi film adalah 85 menit, tetapi Ertanto membantahnya dan mengatakan bahwa durasi film tetap 74 menit.[36]
^Sebagai perbandingan, Dilan 1991 dinobatkan sebagai film terlaris 2019 dengan raihan 5.253.411 penonton.[32] Walau demikian, pencapaian Ave Maryam masih lebih baik jika dibandingkan dengan film festival lainnya di bulan yang sama seperti 27 Steps of May yang hanya berhasil menjaring 37.684 penonton (6 Mei 2019) dan Kucumbu Tubuh Indahku yang hanya berhasil menjaring 8.082 penonton (26 April 2019)
^Perkiraan tersebut berdasarkan perkiraan harga tiket pada 2019 sebesar Rp40.000.[33]
^"Data penonton". Film Indonesia. Diakses tanggal 1 September 2019.
^Daftar SensorDiarsipkan 2018-04-22 di Wayback Machine.. Lembaga Sensor Film. Diakses 21 Mei 2019. Petunjuk: Ketik "Ave Maryam" pada kolom "Judul", klik "Tampilkan", kemudian klik tombol bergambar kertas yang terletak di sebelah kanan untuk mengetahui keputusan lengkap.