Dandang adalah periuk besar yang sering digunakan untuk menanak nasi[1] (mengukus nasi setengah matang/nasi tim/nasi aron) di dapur tradisionalIndonesia. Sebutan lainnya adalah langseng,[2]se'eng (Sd.),[3]:374 dan juga dandang (Jw.).[4]:145
Dandang umumnya terbuat dari bahan logam, meskipun pada masa lalu ada pula yang dibuat dari tanah liat yang dibakar (gerabah). Dandang tradisional terbuat dari bahan tembaga,[5] sedangkan yang lebih modern terbuat dari bahan aluminium.
Dandang berfungsi sebagai wadah untuk merebus air yang uapnya digunakan untuk mengukus, sekaligus sebagai tempat diletakkannya alat lain untuk menampung beras/nasi. Beras yang telah ditim atau diaron (direbus sampai airnya terserap), yakni nasi setengah matang, diletakkan pada kukusan atau angsang (Sunda: aseupan). Angsang pada dandang tembaga tradisional dibuat dari anyaman bambu berbentuk runcing di bawah (kerucut), sedangkan pada dandang aluminium modern angsang berbentuk piringan aluminium yang berlubang-lubang. Di bagian bawah kukusan bambu diletakkan separuh batok kelapa yang dilubangi agar air tidak mengenai nasi/beras. Tutup dandang disebut kekeb dalam bahasa Jawa.
Sebagai alat penanak nasi, dandang memiliki posisi sentral dalam aneka kebudayaan berbasis padi. Oleh karenanya, pada beberapa wilayah budaya di Jawa Barat dandang dijadikan perlambang kesejahteraan rumah tangga yang hendak dibangun oleh sepasang pengantin baru, sehingga wajib ada di dalam daftar barang-barang yang dibawa dalam acara seserahan.[5] Bukan hanya itu, di wilayah budaya Betawi pinggiran, termasuk di daerah Bekasi dan Depok, bahkan terdapat tradisi rebut dandang yang dijalankan tatkala calon pengantin pria tiba di rumah calon mertuanya, sesaat sebelum diterima untuk melaksanakan ijab kabul; tradisi yang mirip dengan tradisi palang pintu pada Betawi Jakarta.[8][9]
Dalam budaya Jawa, khususnya di Keraton Kasunanan Surakarta, terdapat prosesi adang sego (menanak nasi) yang dijalankan secara khusus sebagai bagian dari tradisi Sekaten setiap tahun jawa Dal (jadi, delapan tahun sekali), dengan menggunakan empat dandang pusaka milik Keraton Solo yakni Kiai Dudo, Kiai Rezeki, Kiai Macan, dan Kiai Blawong.[10][11]
Bahkan, dalam tradisi Kejawen ada keyakinan bahwa bilamana dalam suatu acara pernikahan atau pun upacara lingkaran hidup lainnya terjadi adanya suatu dandang yang tumpah atau terguling dari tungkunya, itu menandakan akan terjadi suatu malapetaka atau hal-hal yang tidak diinginkan di masa mendatang. Oleh karenanya perlu dilakukan suatu upacara ruwatan khusus (yakni ruwat dandang) untuk menolak atau mengatasi bala yang akan terjadi.[12]
^"Hasil Pencarian 'Dandang' - KBBI Daring". KBBI Daring. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
^"Hasil Pencarian 'Langseng' - KBBI Daring". KBBI Daring. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
^Sumantri, M., A. Djamaludin, A. Patoni, RHM. Koerdie, MO. Koesman, & ES. Adisastra (1985). Kamus Sunda -Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
^Ikram, A., S. Saleh, P.M. Mutiara, J. Augusdin, M.I. Rukmi. (1985). Kamus Melayu - Indonesia, I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. P & K.
^Anggrani, A. & Karsiwan. (2024). "Ruwat Dandang: Antara Mitos dan Tradisi di Desa Bumirejo Kabupaten Lampung Tengah". Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, Vol. 19(01): 23-36 (Juni 2024).