Evolusi kompleksitas adalah akibat proses evolusi yang penting. Evolusi telah menghasilkan beberapa organisme yang sangat kompleks, walaupun tingkatan kerumitan itu sebenarnya sangat sulit ditentukan atau diukur secara biologis, baik kandungan gen, jumlah jenis sel, ataupun morfologi organisme semuanya digunakan untuk memperkirakan kompleksitas organisme.[1][2] Pengamatan bahwa organisme kompleks dapat dihasilkan dari yang lebih sederhana telah menyebabkan kesalahpahaman yang umum bahwa evolusi bersifat progresif dan memiliki arah menuju "organisme yang lebih tinggi".[3]
Pemikiran evolusi yang "progresif" ini adalah tidak benar. Seleksi alam tidak memiliki arah, dan organisme diseleksi menjadi lebih kompleks atapun kurang kompleks tergantung pada kondisi lingkungan.[4] Walaupun terdapat peningkatan pada tingkat kompleksitas maksimum sepanjang sejarah kehidupan, selalu adalah organisme yang kecil dan sederhana yang menjadi mayoritas biomassa dunia.
Seleksi kesederhanaan dan kerumitan
Organisme yang bereproduksi dengan lebih cepat dan banyak daripada para pesaingnya memiliki keuntungan evolusioner yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah, organisme dapat berevolusi menjadi lebih sederhana, sehingga dapat menggandakan diri dengan lebih cepat, dan menghasilkan lebih banyak keturunan. Contohnya adalah parasit seperti malaria dan mikoplasma. Organisme ini sering kali membuang sifat-sifat yang tidak diperlukan karena parasitismenya pada inang.[5]
Suatu garis keturunan juga dapat membuang kompleksitas ketika suatu sifat kompleks tertentu tidak memberikan keuntungan selektif apa-apa pada lingkungan tertentu. Hilangnya sifat ini tidak seperlunya diakibatkan oleh seleksi alam. Ia dapat hilang oleh hanyutan genetik. Sebagai contoh, organisme parasit dapat membuang lintasan sintesis suatu metabolit apabila ia dapat menyerap metabolit tersebut dari inangnya. Pembuangan lintasan sintesis ini tidak seperlunya mengizinkan parasit menghemat energi atau sumber daya secara signifikan ataupun tumbuh menjadi lebih cepat, tetapi ia dapat terfikasasi pada populasi melalui hanyutan genetik jika tiada kerugian yang dihasilkan dari hilangnya lintasan sintesis metabolit ini.
Namun, evolusi dapat juga menghasilkan organisme yang kompleks. Kompleksitas sering muncul pada ko-evolusi inang dan patogen, dengan tiap pihak mengembangkan adaptasi yang semakin canggih, seperti sistem immun inang dan teknik-teknik yang digunakan oleh patogen untuk menghindari sistem immun tersebut. Sebagai contoh, parasit Trypanosoma brucei, yang menyebabkan penyakit tidur, telah mengevolusikan banyak kopi antigen permukaannya, sedemikiannya 10% genom organisme ini memiliki fungsi yang berhubungan dengan berbagai versi gen ini. Kompleksitas seperti ini mengizinkan parasit secara terus menerus mengubah permukaannya, sehingga dapat lolos dari sistem immun melalui variasi antigenik.[6]
Secara umum, tumbuhnya kompleksitas dapat didorong oleh koevolusi antara suatu organisme dengan ekosistem predator, mangsa, dan parasit, yang mana organisme berusaha bertahan hidup dengan beradaptasi. Ketika salah satu bagian ekosistem ini menjadi lebih kompleks untuk menandingi keberagaman ancaman ekosistem yang disebabkan oleh organisme lainnya, organisme yang lain juga harus beradaptasi menjadi lebih kompleks, menyebabkan persaingan evolusioner yang terus menerus menuju kompleksitas.[7] Tren ini diperkuat oleh fakta bahwa ekosistem sendiri cenderung menjadi lebih kompleks seiring berlangsungnya waktu dikarenakan oleh peningkatan keanekaragaman spesies bersamaan dengan meningkatnya kompleksitas hubungan antar spesies.
Lihat pula
Referensi