Muhammad Hasan Gayo (1923 – 26 Januari 1993) merupakan jurnalis dan politikusb asal Aceh. Ia aktif dalam grup pejuang gerilya selama masa Revolusi Nasional Indonesia dan kemudian bekerja sebagai jurnalis pada masa pemerintahan Soekarno.
Kehidupan awal dan pendidikan
Gayo berasal dari Desa Lukup, saat ini di Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, dimana ia lahir pada 1923. Ia bersekolah di sekolah dasar Belanda sebelum mengejar pendidikan di sekolah islam, dan setelah masa Kampanye Hindia Belanda menahan serangan Jepang, ia pindah ke Batavia untuk belajar di Institut Islam Jakarta milik Abdoel Kahar Moezakir. Pada masa tersebut, ia bergabung dengan grup pemuda nasionalis pimpinan Chaerul Saleh.[1]
Karier
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Gayo memimpin grup pemuda nasionalis untuk mengambil alih aset perusahaan kereta milik pemerintah, penjaga asal Jepang tidak melakukan perlawanan.[1] Gayo kemudian memimpin publikasi perusahaan, Suara Kereta Api, sebelum bergabung dengan Laskar Rakyat Djakarta Raya menjelang kedatangan tentara sekutur dan kemudian dia bergabung dengan perang gerilya di Jawa Barat dan Jawa Tengah.[2] Ia sempat ditahan oleh Tentara Nasional Indonesia saat menghapusan pasukan militer tidak resmi pada 1947.[3] Pada masa ini, ia ikut serta dalam publikasi majalah berbahasa Inggris Voice of Free Indonesia.[4]
Pasca berakhirnya Revolusi Indonesia, Gayo bekerja sebagai jurnalis di Harian Indonesia Raya. Ia kemudian menjadi salah satu pendiri Suluh Indonesia, koran terafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia bersama dengan Sayuti Melik dan Satya Graha.[5][1] Pada 1960, ia ditunjuk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang diketuai oleh Saleh.[1]
Ia wafat pada 26 Januari 1993 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak[6]. Pejabat Aceh menyuarakan dukungannya untuk menjadikan Gayo sebagai Pahlawan nasional Indonesia.[7][8] Sebuah arena pacuan kuda di Aceh Tengah menggunakan namanya sebagai nama arena.[2]
Referensi