Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Ketidakkekalan (Buddhisme)

Ketidakkekalan (Pali: anicca; Sanskerta: अनित्य, anitya), juga dikenal sebagai perubahan, merupakan suatu ajaran penting dalam Buddhisme.[1][2][3] Ajaran ini menyatakan bahwa semua realitas yang berkondisi (saṅkhāra), tanpa kecuali, bersifat "sementara, cepat berlalu, tidak kekal".[1]

Ketidakkekalan merupakan satu dari trilaksana (tiga karakteristik keberadaan)—dua yang lainnya adalah penderitaan (dukkha) dan tanpa-atma (anatta).[4]

Anicca berbeda dengan Nirwana, yaitu realitas yang bersifat nicca, atau tidak mengenal perubahan, pembusukan, atau kematian.[1]

Theravāda

Trilaksana

Ketidakkekalan dipahami sebagai satu dari tiga karakteristik keberadaan (tilakkhaṇa), dua lainnya adalah dukkha ('kegelisahan', dari Sanskerta dushta, "berdiri tidak stabil") dan anatta (tanpa diri, tanpa jiwa, tanpa roh, tanpa hakikat).[2][3][5][6] Ini muncul dalam kitab-kitab Pali sebagai, "sabbe saṅkhārā aniccā, sabbe saṅkhārā dukkhā, sabbe dhammā anattā", yang diterjemahkan oleh Szczurek sebagai, "semua hal yang berkondisi tidak kekal, semua hal yang berkondisi menyakitkan, semua dhamma tidak memiliki Atma."

Semua peristiwa fisik dan mental, menurut ajaran Buddha, muncul dan lenyap.[1][7][8][9] Kehidupan manusia merupakan perwujudan dari ketidakkekalan dalam proses penuaan dan siklus kelahiran dan kematian yang berulang (saṁsāra); tak ada yang abadi, dan semuanya dapat rusak. Ketidakkekalan juga berlaku bagi semua makhluk dan lingkungannya, termasuk makhluk yang terlahir di loka surga dan loka neraka.[10][11]

Segala sesuatu, baik fisik maupun mental, adalah suatu bentukan berkondisi (saṅkhāra) yang memiliki asal muasal yang saling bergantung dan tidak kekal. Sesuatu tersebut muncul, berubah, dan lenyap.[12][13] Menurut Buddhisme, segala sesuatu dalam kehidupan manusia, semua benda, juga semua makhluk baik di alam apa pun dalam kosmologi Buddhis, selalu berubah, tidak kekal, mengalami kelahiran kembali dan kematian kembali (saṁsāra).[10][11]

Saṅkhāra vs dhamma

Lima gugusan atau pāncakkhandha juga tunduk pada corak ketidakkekalan. Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan gugusan (khandha) dalam skema:[14]

Hubungan nāmarūpa, khandha, dan Abhidhamma[15]
Kelompok Khandha
(gugusan)
Abhidhamma Theravāda
Āyatana
(landasan indra)
Paramattha-sacca
(realitas hakiki)
Internal Eksternal
dhamma
saṅkhāra
rūpa
(materi)
rūpa-
(materi)
cakkhu
(mata)
rūpa/vaṇṇa
(materi/warna)
28 rūpa
(materi)
4 unsur pokok
24 unsur turunan
sota
(telinga)
sadda
(suara)
ghāna
(hidung)
gandha
(ganda/bau)
jivhā
(lidah)
rasa
(rasa)
kāya
(tubuh)
phoṭṭabba
(sentuhan)
-
dhamma
(objek batin)
nāma
(batin)
vedanā-
(perasaan)
-
52 cetasika
(faktor mental)
7 universal
6 sesekali
14 tidak baik
25 indah
saññā-
(persepsi)
saṅkhāra-
(formasi mental)
viññāṇa-
(kesadaran)
mana
(batin)
-
89/121 citta
(kesadaran)
81 duniawi
8/40 adiduniawi
-
-
Nibbāna
(Nirwana)

Seluruh gugusan (khandha) termasuk dalam kategorisasi saṅkhāra, sedangkan Nirwana tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup saṅkhāra dan asaṅkhāra (bukan saṅkhāra, seperti Nirwana) disebut sebagai dhamma.

Hubungannya dengan anatta

Ketidakkekalan berkaitan erat dengan ajaran anatta (tanpa-atma) yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak memiliki hakikat, diri yang kekal, roh yang kekal, atau jiwa yang tidak berubah.[16][17] Memahami anicca dan anatta merupakan langkah-langkah dalam kemajuan spiritual umat Buddha menuju kecerahan.[8][18][19]

Hubungannya dengan dukkha

Ketidakkekalan ini adalah sumber dukkha. Sang Buddha mengajarkan bahwa karena tidak ada objek fisik atau mental yang bersifat kekal, keinginan atau keterikatan terhadap keduanya menyebabkan penderitaan (dukkha).

Rupert Gethin menjelaskan tentang Empat Kebenaran Mulia:[20]

Selama masih ada kemelekatan terhadap hal-hal yang tidak stabil, tidak dapat diandalkan, berubah-ubah, dan tidak kekal, maka akan ada penderitaan–ketika hal-hal tersebut berubah, ketika hal-hal tersebut tidak lagi menjadi apa yang kita inginkan.
(...)
Jika nafsu kehausan adalah penyebab penderitaan, maka penghentian penderitaan pasti akan mengikuti 'memudarnya dan berhentinya nafsu kehausan itu sendiri': meninggalkannya, menyerahkannya, melepaskannya, membiarkannya berlalu.

Referensi

  1. ^ a b c d Thomas William Rhys Davids; William Stede (1921). Pali-English Dictionary. Motilal Banarsidass. hlm. 355, Article on Nicca. ISBN 978-81-208-1144-7. 
  2. ^ a b Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. , Quote: "All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, suffering and lack of soul or essence."
  3. ^ a b Robert E. Buswell Jr.; Donald S. Lopez Jr. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. hlm. 42–43, 47, 581. ISBN 978-1-4008-4805-8. 
  4. ^ Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change. 
  5. ^ Anatta Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013);
  6. ^ Phra Payutto (1995). Buddhadhamma: Natural Laws and Values for Life. Diterjemahkan oleh Grant Olson. State University of New York Press. hlm. 62–63. ISBN 978-0-7914-2631-9. 
  7. ^ Anicca Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013)
  8. ^ a b Ray Billington (2002). Understanding Eastern Philosophy. Routledge. hlm. 56–59. ISBN 978-1-134-79348-8. 
  9. ^ Robert E. Buswell Jr.; Donald S. Lopez Jr. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. hlm. 47–48, Article on Anitya. ISBN 978-1-4008-4805-8. 
  10. ^ a b Damien Keown (2013). Buddhism: A Very Short Introduction. Oxford University Press. hlm. 32–8. ISBN 978-0-19-966383-5. 
  11. ^ a b Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 32–33, 38–39, 46–49. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  12. ^ Paul Williams (2005). Buddhism: Buddhism in China, East Asia, and Japan. Routledge. hlm. 150–153. ISBN 978-0-415-33234-7. 
  13. ^ Damien Keown (2004). A Dictionary of Buddhism. Oxford University Press. hlm. 15. ISBN 978-0-19-157917-2. 
  14. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  15. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  16. ^ Anatta Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013)
  17. ^ [a] Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN 978-1-136-22877-3.  [b] Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN 978-0-521-85241-8. , Quote: "(...) anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps - the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering." [c] Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. , Quote: "(...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon."
  18. ^ Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51–53. ISBN 978-0-521-85241-8. 
  19. ^ John Whalen-Bridge (2011). Writing as Enlightenment: Buddhist American Literature into the Twenty-first Century. State University of New York Press. hlm. 154–155. ISBN 978-1-4384-3921-1. 
  20. ^ Rupert Gethin (1998). The Foundations of BuddhismPerlu mendaftar (gratis). Oxford University Press. hlm. 74. ISBN 978-0-19-160671-7. 

Lihat pula

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya