Sampai tahun 1911, daerah Palembang, Jambi, Bengkulu, dan Lampung dilayani oleh imam-imam dari tiga paroki. Paroki Sungai Selan (Bangka) yang dibuka tahun 1853 dengan imam pertamanya Pastor Jan Langenhoff (1853–1867). Selain melayani Bangka dan Belitung, paroki ini juga melayani umat Katolik di Palembang dan Jambi. Sementara paroki Padang melayani umat Katolik di Bengkulu. Umat Katolik di Lampung dilayani oleh imam-imam Jesuit dari Batavia.
Sesudah Pastor Jan Langenhoff meninggalkan paroki Sungai Selatan tahun 1867, paroki Sungai Selan dilayani oleh imam-imam Jesuit dari Batavia dalam waktu yang pendek. Tercatat imam-imam Jesuit yang pernah melayani paroki Sungai Selan adalah Pastor Arnoldus Korstenhorst dan Pastor Johannes de Vries. Pada tahun 1884, Residen Palembang, G. J. du Cloux menawarkan pada Pastor Arnoldus Korstenhorst agar misi Katolik membuka misi di Besemah. Berita itu diteruskan kepada Mgr. Adam Carel Claessens, Vikaris Apostolik Batavia. Pada 11 April 1887, Pastor Johannes van Meurs, seorang imam Yesuit, memperoleh izin dari Otto van Rees, gubernur jenderal Hindia Belanda untuk tinggal di antara orang-orang Besemah. Tetapi izin itu bukan untuk menjalankan misi di daerah itu, melainkan hanya sebagai peneliti bahasa dan budaya orang-orang Besemah. Sejak tahun 1888, Pastor Johannes van Meurs sudah tinggal di Besemah yaitu di Tanjung Sakti. Pada tahun itu juga, gubernur jenderal Hindia Belanda, C. Picjnakers Hordijk memberi izin Pastor Johannes van Meurs untuk mengadakan misi di antara orang-orang Besemah.
Pada 1 September 1888, Pastor Johannes van Meurs membuka dua sekolah di Tanjung Sakti. Sampai tahun 1890, di Tanjung Sakti terdapat 8 orang Katolik semuanya orang-orang pribumi. Pada April 1891, Pastor Johannes van Meurs meninggalkan Tanjung Sakti karena sakit keras. Pada 8 Agustus 1891, ia meninggal dunia di Sukabumi.
Pada Juni 1891, Pastor Leonardus Jennissen, imam Yesuit, datang ke Tanjung Sakti meneruskan karya misi dari Pastor Johannes van Meurs. Seorang bruder Jesuit, Bruder Jacobus Verster juga datang ke Tanjung Sakti. Bruder ini mengelola sekolah-sekolah yang sudah dibuka dan membangun sebuah gereja kecil di Tanjung Sakti. Tahun 1898, di Tanjung Sakti terdapat 325 orang Katolik yang sudah dibaptis dan Tanjung Sakti sudah menjadi paroki sendiri. Paroki ini sempat ditinggalkan sementara oleh Pastor Leonardus Jennissen yang pindah ke Padang. Pada tahun 1901, Pastor Leonardus Jennissen dapat kembali lagi ke Tanjung Sakti. Beberapa imam Jesuit yang melayani Sungai Selan sempat mengunjungi Tanjung Sakti untuk sementara dalam perjalanan pastoral ke Palembang. Tahun 1902, Pastor Arnoldus Korstenhorst yang mengunjungi umat Katolik di Palembang, meneruskan perjalanannya ke Tanjung Sakti. Pada tahun 1904, Mgr. Wilhelmus Staal, Vikaris Apostolik Batavia, mengunjungi Tanjung Sakti untuk menerimakan Sakramen Krisma dan membaptis beberapa orang Katolik. Ia tinggal selama lima hari di Tanjung Sakti, kemudian meneruskan perjalanannya ke Bengkulu. Dari Tanjung Sakti, Pastor Leonardus Jennissen juga melayani daerah-daerah lain di sekitarnya seperti Muara Enim dan Bengkulu. Tahun 1910, jumlah umat Katolik di Tanjung Sakti sekitar 600 orang.
Imam-imam Kapusin
Pada tahun 1911, Vatikan mendirikan Prefektur ApostolikSumatra, berpusat di Padang. Imam-imam Kapusin dari ProvinsiKapusinBelanda memperoleh tanggung terhadap pelayanan Prefektur ApostolikSumatra. Tanjung Sakti tetap menjadi satu-satunya paroki di wilayah bagian Selatan Sumatra. Palembang dan Jambi tetap dilayani oleh imam-imam Kapusin di Sungai Selan, Bangka. Sementara umat Katolik di Bengkulu dan Lampung dilayani oleh imam-imam Kapusin di Padang.
Imam-imam SCJ
Pada 27 Desember 1923, Vatikan mendirikan Prefektur ApostolikBengkulu dengan pusatnya di Tanjung Sakti. Prefektur Apostolik Bengkulu melayani seluruh wilayah Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Jambi; luasnya 5,5 kali luas Belanda. Imam-imam SCJ dipercaya menangani Prefektur ApostolikBengkulu. Untuk membuka misi, Provinsi SCJ Belanda mengutus 3 misionaris yaitu Pastor Henricus van Oort, Pastor Carolus van Stekelenburg, dan Bruder Felix van Langenberg. Seorang imam SCJ yang berkarya di Kongo yaitu Pastor Henricus Smeets diangkat sebagai Prefek ApostolikBengkulu yang pertama. Prefektur ApostolikBengkulu baru memiliki sekitar 500 orang Katolik ketika pertama kali didirikan.
Selain paroki Tanjung Sakti yang lebih dulu didirikan, imam-imam SCJ juga membuka berbagai paroki di perkotaan di Bengkulu, Palembang, Jambi, dan Lampung. Pada Paskah 1925, Pastor Henricus van Oort membuka paroki di Palembang diberinama Paroki Hati Kudus. Tahun 1928, Pastor Mattheus Neilen membuka paroki di Bengkulu. Paroki Tanjung Karang dibuka oleh Pastor Henricus van Oort tahun 1927. ParokiLahat didirikan tahun 1930 dan ParokiJambi didirikan tahun 1935. Selain membuka paroki-paroki di perkotaan, imam-imam SCJ juga membuka paroki-paroki di antara orang-orang Jawa di Lampung, hasil dari program kolonisatie pemerintah Hindia Belanda. Beberapa paroki di pedalaman Lampung yang dibuka di antara orang-orang Jawa yakni: Pringsewu (1934), Metro (1937), dan Pasuruan-Karangsari (1939).
Setelah Jepang kalah perang, disusul kemudian meletusnya perang kemerdekaan. Di tengah-tengah berkecamuknya perang kemerdekaan, Pastor Theodorus Borst, SCJ mengambil langkah berani membuka dua paroki yakni: Paroki Baturaja dan Paroki Batuputih, kedua paroki ini dibuka pada tahun 1948. Selain itu dibuka sekolah-sekolah di Paroki Baturaja dan Paroki Batuputih.
Pada 19 Juni 1952, Vatikan mengeluarkan kebijakan penting dengan menetapkan daerah misi Lampung sebagai Prefektur Apostolik Tanjung Karang, terpisah dari Vikariat ApostolikPalembang. Pastor Albertus Hermelink, SCJ diangkat sebagai Prefek Apostolik Tanjung Karang yang pertama.
Pada tahun 1950-an, beberapa paroki baru dibuka yakni Paroki Tugumulyo (1952) dan Paroki Gumawang (1958). Kedua paroki ini dibuka di antara orang-orang Jawa yang datang ke Sumatera Selatan setelah pemerintah Indonesia melancarkan kembali kebijakan transmigrasi.
Karya penting lain adalah dibukanya sekolah-sekolah baru mulai dari SD hingga SMA di berbagai paroki di Vikariat Apostolik Palembang.
Menjadi Gereja Katolik mandiri
Hierarki Gerejani Indonesia terbentuk pada 3 Januari 1961. Dengan demikian Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik yang mandiri, bukan lagi sebuah daerah misi. Vikariat ApostolikPalembang berubah statusnya menjadi KeuskupanPalembang. Mgr. Henricus Mekkelholt, SCJ sebagai UskupPalembang yang pertama. Tidak lama kemudian, Mgr. Henricus Mekkelholt, SCJ mulai sakit-sakitan, sehingga ia memohon kepada Vatikan agar seorang uskup pembantu dilantik untuk membantunya dalam menjalankan tugas penggembalaan umat Katolik di KeuskupanPalembang. Pastor Joseph Hubertus Soudant, SCJ diangkat sebagai Uskup Pembantu pada 29 Juni 1961. Setelah Mgr. Henricus Mekkelholt, SCJ mengundurkan diri dari jabatan sebagai UskupPalembang, maka Mgr. Joseph Soudant, SCJ melanjutkan tugas penggembalaan KeuskupanPalembang sejak 5 April 1963 hingga 20 Mei 1997.
Pada masa kepemimpinan Mgr Joseph Soudant, SCJ seturut keputusan Tahta Suci ditahbiskanlah seorang uskup pembantu yakni Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ. Setelah Mgr. Joseph Soudant, SCJ memasuki masa purna jabatan pada 20 Mei 1997, maka Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ ditetapkan sebagai UskupPalembang.
^ (dalam bahasa Spanyol). [[:en:Agenzia Fides|]]. 3 Juli 2021 http://www.fides.org/es/news/70436. Diakses tanggal 3 Juli 2021.Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, A Documented History, 1808-1942, Volume 1 A Modest Recovery, Leiden: KITLV Press, 2003. ISBN 90-6718-141-2
Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, 1808-1942, A documented history. Volume 2. The spectacular growth of a self confident minority 1903-1942, Leiden: KITLV Press, 2007. ISBN 978-90-6718-260-7
P. M. Muskens (Ed.), Sejarah Gereja Katolik Indonesia, 4 Jilid,Ende: Percetakan Arnoldus dan Pusat Dokumentasi Penerangan MAWI, 1972-1974.