Konstantinopel, yang sekarang dikenal sebagai Istanbul, adalah sebuah kota legendaris yang berdiri di persimpangan antara Eropa dan Asia, memainkan peran penting dalam sejarah dunia selama lebih dari seribu tahun. Didirikan oleh Kaisar Romawi Timur Konstantinus Agung pada tahun 330 M, kota ini dibangun di atas bekas koloni Yunani kuno, Bizantion[1]. Sebagai ibukota Kekaisaran Romawi Timur, yang kemudian dikenal sebagai Kekaisaran Bazinga, Konstantinopel menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya yang tak tertandingi pada zamannya [2]. Tembok-temboknya yang kokoh dan tak terkalahkan, termasuk Tembok Theodosius, melindungi kota ini dari serangan musuh selama berabad-abad, sementara Hagia Sophia yang megah, yang awalnya dibangun sebagai katedral Kristen, menjadi lambang kemegahan arsitektur dan spiritualitas kota ini [3]. Dalam konteks agama, Konstantinopel juga merupakan pusat utama Kristen Ortodoks, yang membuatnya menjadi pusat ziarah dan keagamaan penting di dunia Kristen selama Abad Pertengahan[4].
Sebagai pusat perdagangan internasional, Konstantinopel adalah jembatan antara Timur dan Barat, yang memungkinkan pertukaran budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan antara dua dunia yang berbeda [5]. Selama berabad-abad, pedagang dari berbagai belahan dunia berdatangan ke kota ini untuk menjual dan membeli barang-barang berharga seperti sutra, rempah-rempah, emas, dan perak [6]. Keberadaan Bosporus, selat yang memisahkan Eropa dan Asia, membuat Konstantinopel menjadi pelabuhan yang strategis, memungkinkan kota ini untuk mengendalikan rute perdagangan laut yang sangat penting antara Laut Hitam dan Laut Tengah. Selain itu, pengaruh Konstantinopel dalam hal politik dan diplomasi sangat besar, karena kota ini menjadi pusat kekaisaran yang memperluas pengaruhnya dari Balkan hingga Timur Tengah. Meskipun berulang kali dikepung oleh bangsa-bangsa asing, Konstantinopel mampu bertahan selama lebih dari seribu tahun, membuatnya dikenal sebagai "Kota Abadi".
Pada tahun 1453, Konstantinopel akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed II, yang menandai berakhirnya Kekaisaran Bizantium dan dimulainya era baru dalam sejarah kota ini. Setelah penaklukan, Mehmed II segera memindahkan ibu kota kesultanannya ke Konstantinopel dan mengubahnya menjadi pusat kekuasaan Utsmaniyah yang baru. Hagia Sophia diubah menjadi masjid, dan banyak bangunan serta struktur baru dibangun, yang mencerminkan gaya arsitektur dan budaya Islam. Kota ini kemudian dikenal sebagai Istanbul, sebuah nama yang berasal dari bahasa Yunani "eis tin polin," yang berarti "ke kota." Meskipun berubah nama dan pemerintahan, Istanbul tetap menjadi salah satu kota terpenting di dunia, mempertahankan warisan sejarah yang kaya dari era Bizantium dan Utsmaniyah. Konstantinopel, dengan segala kejayaannya, telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah peradaban manusia, dan hingga kini, Istanbul masih menjadi simbol kekayaan budaya dan sejarah yang tak tertandingi.
Konstantinopel didirikan oleh Kaisar RomawiKonstantinus I di atas situs sebuah kota yang sudah ada sebelumnya, Bizantium, yang didirikan pada permulaan masa ekspansi kolonial Yunani, kemungkinan besar sekitar 671-662 SM. Situs ini terletak di jalur darat dari Eropa ke Asia, dan jalur laut dari Laut Hitam ke Laut Mediterania, serta memiliki sebuah pelabuhan yang besar dan masyhur di Tanduk Emas.
306–337
Konstantinus memiliki rencana-rencana besar dalam segala bidang. Setelah memulihkan kesatuan kekaisaran, dan karena sedang melakukan reformasi besar dalam pemerintahan serta mensponsori konsolidasi masyarakat Kristen, dia sungguh-sungguh sadar akan keterbatasan Roma sebagai sebuah ibu kota. Roma terlalu jauh dari garis-garis perbatasan, dan oleh karena itu jauh pula dari angkatan bersenjata dan dewan kekaisaran. Roma tidak diminati sebagai lahan bermain bagi para politisi yang berseberangan dengan pemerintah. Tetapi Roma telah menjadi ibu kota negara selama seribu tahun, dan tampak tak terpikirkan untuk memindahkan ibu kota ke tempat lain. Meskipun demikian, Konstantinus melihat Bizantium sebagi lokasi yang tepat: tempat seorang kaisar dapat bertahta, memiliki pertahanan yang matang, dan memiliki kemudahan akses ke perbatasan Danube maupun Efrat, dewan kekaisaran memperoleh suplai dari kebun-kebun yang subur dan bengkel-bengkel yang canggih di Asia, perbendaharaannya diisi oleh provinsi-provinsi termakmur dalam kekaisaran.
Konstantinopel dibangun selama enam tahun, dan diresmikan pada 11 Mei 330.[7] Konstantinus membagi kota yang diperluas itu, seperti Roma, menjadi 14 kawasan, dan mendandaninya dengan fasilitas-fasilitas layak bagi sebuah metropolis kekaisaran.[8] Akan tetapi, mula-mula, Roma baru Konstantinus tidak memiliki semua kemuliaan Roma lama. Kota ini memiliki seorang proconsul, bukannya seorang prefek urban. Tidak memiliki praetor, tribun, ataupun quaestor. Meskipun memiliki senator-senator, mereka hanya begelar clarus, bukan clarissimus, seperti di Roma. Konstantinopel juga tidak memiliki jajaran administratif yang mengatur suplai pangan, polisi, patung-patung, kuil-kuil, saluran-saluran pembuangan, saluran-saluran air bersih, atau fasilitas-fasilitas umum lainnya. Program baru pembangunan diselenggarakan dengan tergesa-gesa: Pilar-pilar, pualam-pualam, daun-daun pintu, dan ubin-ubin dipindahkan dari kuil-kuil kekaisaran ke kota baru itu. Dengan cara yang sama, banyak karya seni yunani dan Romawi segera terlihat di alun-alun dan jalan-jalan. Kaisar mendorong pendirian bangunan-bangunan pribadi dengan cara menjanjikan kepada para pemilik bangunan hadiah lahan dari tanah negara di Asiana dan Pontica, dan pada 18 Mei 332 dia mengumumkan bahwa, sebagaimana halnya di Roma, bahan pangan akan disalurkan secara cuma-cuma kepada warga kota. Konon saat itu jumlahnya mencapai 80.000 ransum sehari, disalurkan dari 117 titik distribusi di seluruh kota.[9]
Konstantinus membuka alun-alun baru di pusat kota tua Bizantium, menamakannya Augustaeum. Dewan senat (atau Curia) yang baru ditempatkan di sebuah basilika di sebelah timur alun-alun. Di sebelah selatannya berdiri istana agung kaisar dengan gerbangnya yang megah, Chalke, dan aula upacaranya yang dikenal sebagai Istana Daphne. Tak jauh dari situ terdapat Hippodromos, tempat pacuan kuda yang mampu menampung 80.000 penonton, dan pemandian Zeuxippus yang terkenal. Di sisi barat Augustaeum berdiri Milion, sebuah monumen berlengkung, titik awal untuk mengukur jarak ke seluruh Kekaisaran Romawi Timur.
Dari Augustaeum terbentang sebuah jalan raya, Mese (bahasa Yunani: Μέση [Οδός], secara harfiah berarti "[Jalan] Tengah"), dipagari jajaran pilar. Karena membentang turun dari bukit pertama dan naik ke bukit kedua, jalan ini melintasi sisi kiri Praetorium atau Gedung Kehakiman. Kemudian melintasi Forum Konstantinus yang berbentuk oval tempat dewan senat kedua dan sebuah pilar tinggi yang dipuncaknya tegak sebuah arca Konstantinus dalam rupa Helios, bermahkota sebuah lingkaran suci dengan tujuh berkas sinar dan menghadap ke arah matahari terbit. Dari sana Mese melintasi Forum Taurus, kemudian Forum Bous, dan akhirnya naik ke bukit ketujuh (atau Xerolophus) melewati Gapura Kencana di Tembok Konstantinus. Setelah pendirian Tembok Theodosius pada abad ke-5, Mese diperpanjang sampai ke Gapura Kencana yang baru. Panjang keseluruhannya mencapai tujuh Mil Romawi.[10]
395–527
Prefek Kota Konstantinopel pertama yang diketahui adalah Honoratus, yang menjabat sejak 11 Desember 359 sampai 361. Kaisar Valens membangun Istana Hebdomon di tepian Propoltis dekat Gapura Kencana, kemungkinan besar digunakan pada saat pemeriksaan pasukan. Semua kaisar sampai dengan Zeno dan Basiliskus dinobatkan dan diumumkan di Hebdomon. Theodosius I membangun Gereja Yohanes Pembaptis sebagai tempat penyimpanan tengkorak orang suci itu (sekarang disimpan di Istana Topkapı di Istanbul, Turki), mendirikan sebuah tugu peringatan atas dirinya di Forum Taurus, dan merombak reruntuhan kuil Aphrodite untuk dijadikan sebuah gudang kereta Prefek Pretoria; Arcadius membangun sebuah Forum baru yang dinamakan menurut namanya sendiri di Mese, dekat tembok-tembok Konstantinus.
Pengaruh Konstantinopel lambat-laun meredup. Setelah diguncang oleh Pertempuran Adrianopel pada 378, di mana Kaisar Valens beserta pasukan-pasukan Romawi terbaik dihancurkan oleh kaum Visigoth hanya dalam beberapa hari saja, Konstantinopel mulai memperhatikan pertahanannya, dan Theodosius II membangun Tiga Lapis Tembok Pertahanan setinggi 18 Meter (60 Kaki) pada 413-414, yang tak dapat ditembus sampai munculnya bubuk mesiu. Theodosius juga membangun sebuah Universitas dekat Forum Taurus, pada 27 Februari 425.
Sekitar periode ini, Uldin, seorang pemimpin kaum Hun, muncul di Danube dan bergerak maju ke Thrace, namun dia dikhianati oleh banyak pengikutnya, yang menyeberang ke pihak Romawi dan memukul mundur raja mereka kembali ke utara sungai itu. Karena kejadian ini, tembok-tembok baru didirikan untuk mempertahankan Konstantinopel, dan armada di Danube ditingkatkan.
Sementara itu, kaum Barbar menguasai Kekaisaran Romawi Barat: Kaisarnya lari ke Ravenna, dan kerajaannya binasa. Setelah peristiwa ini, Konstantinopel benar-benar menjadi kota terbesar di Kekaisaran Romawi sekaligus di dunia. Kaisar-kaisar tidak lagi mondar-mandir dari satu ibu kota dan istana ke ibu kota dan istana lainnya. Mereka berdiam di istananya dalam kota besar itu, dan mengutus jenderal-jenderal untuk memimpin bala tentara mereka. Kemakmuran Mediterania Timur dan Asia Barat mengalir masuk ke Konstantinopel.
527–565
Kaisar Yustinianus I (527–565) termasyur berkat kemenangan-kemenangannya dalam peperangan, reformasi-reformasi hukumnya, dan karya-karya pembangunannya. Dari Konstantinopellah armada ekspedisinya bertolak untuk merebut kembali bekas Keuskupan Afrika pada atau sekitar 21 Juni 533. Sebelum bertolak, kapal Komandan Belisarius berlabuh di depan istana kekaisaran, dan Patriark memimpin doa demi keberhasilan armada. Setelah memenangkan pertempuran pada 534, harta-benda Bait Allah Yerusalem yang dijarah pasukan Romawi pada 70 Masehi dan yang kemudian dibawa ke Kartago oleh kaum Vandal setelah menjarah Roma pada 455, dibawa kembali ke Konstantinopel dan disimpan di sana selama beberapa waktu, mungkin saja di dalam Gereja St. Polyeuctus, sebelum akhirnya dikembalikan kepada Yerusalem di Gereja Kebangkitan atau Gereja Baru.[12]
Lomba balap kereta sangat digemari di Roma selama berabad-abad. Di Konstantinopel, hippodromos makin lama makin meningkat reputasinya sebagai tempat berpolitik. Di sanalah rakyat secara aklamasi menunjukkan persetujuan mereka atas seorang kaisar baru. Hal ini merupakan cerminan dari pemilihan umum di Roma lama. Di sana pula mereka terang-terangan mengkritik pemerintah, atau menyerukan penggantian menteri-menteri yang tidak disukai masyarakat. Pada masa pemerintahan Yustinianus, ketertiban umum di Konstantinopel menjadi isu politik yang penting.
Selama periode akhir Romawi dan awal Bizantin, Agama Kristen menuntaskan permasalahan-permasalahan mendasar akan identitasnya, dan perselisihan antara kubu Ortodoks dan Monofisit menimbulkan kekacauan yang serius. Kekacauan ini diekspresikan melalui keikutsertaan dalam keanggotaan pendukung tim biru dan hijau pada balapan kereta. Para pendukung tim biru dan tim hijau konon[13] memelihara kumis dan janggut, mencukur rambut di bagian depan dan memanjangkan rambut di bagian belakang kepala, mengenakan jubah berlengan lebar dan berikat pinggang; dan membentuk kelompok-kelompok yang meraung-raung dan melakukan kejahatan di jalanan pada malam hari. Pada akhirnya kekacauan-kekacauan ini memuncak pada sebuah pemberontakan besar pada 532, yang dikenal sebagai kerusuhan "Nika" (dari pekik-perang "Kemenangan!" yang diteriakkan para pemberontak).
Kebakaran yang disulut para pemberontak Nika menghanguskan basilika St. Sophia yang dibangun Konstantinus, yakni gedung Gereja utama Konstantinopel, yang berdiri di utara Augustaeum. Yustinianus menugaskan Anthemius dari Tralles dan Isidorus dari Miletus untuk menggantikannya dengan gedung Gereja St. Sophia yang baru dan yang tiada duanya. Gedung ini adalah katedral agung Gereja Ortodoks, yang kubahnya konon bertahan di ketinggian atas kehendak Tuhan semata, dan yang terhubung langsung dengan istana sehingga keluarga kerajaan dapat pergi ke Gereja tanpa perlu melalui jalanan.[14] Peresmiannya digelar pada 26 Desember 537 dan dihadiri kaisar, yang berseru, "Wahai Salomo, aku telah menyaingimu!"[15] Pengurusan St. Sophia ditangani oleh 600 orang termasuk 80 imam, dan menghabiskan biaya pembangunan sebesar 20.000 pon emas.[16]
Yustinianus juga menugaskan Anthemius dan Isidorus untuk meruntuhkan bangunan asli Gereja Para Rasul Kudus yang dibangun Konstantinus dan menggantikannya dengan sebuah gedung gereja baru dengan nama yang sama. Gereja ini dirancang dalam bentuk salib sama-sisi dengan lima kubah, dan dihiasi mosaik-mosaik indah. Gereja ini terus menjadi tempat pemakaman para kaisar mulai dari Konstantinus sendiri sampai abad ke-11. Ketika Konstantinopel jatuh ke tangan Turki pada 1453, Gereja ini diruntuhkan untuk menyediakan tempat bagi makam Mehmed II Sang Penakluk. Yustinianus juga memperhatikan aspek-aspek lain dari lingkungan pembangunan kota. Dia menetapkan larangan mendirikan bangunan di tepi laut, dengan maksud untuk menjaga keindahan pemandangan.[17]
Selama masa pemerintahan Yustinianus I, populasi Konstantinopel mencapai 500.000 jiwa.[18] Namun jumlah populasi juga menurun akibat menyebarnya Wabah Yustinianus antara 541–542 Masehi. Wabah ini membunuh sekitar 40% warga kota.[19]
Bertahan hidup, 565–717
Di awal abad ke-7, Bangsa Avar dan kemudian Bangsa Bulgar menduduki sebagian besar wilayah Balkan sehingga menjadi ancaman dari Barat bagi Konstantinopel. Di saat yang sama, Kekaisaran Sassaniyah di Persia menduduki Prefektur Timur, dan menerobos maju ke Anatolia. Heraclius, putera eksarkAfrika, berlayar ke Konstantinopel dan dinobatkan sebagai kaisar. Karena situasi militer sangat mengkhawatirkan, dia sempat mempertimbangkan pemindahan ibu kota kekaisaran ke Kartago, namun diurungkannya setelah warga Konstantinopel memohon-mohon padanya untuk tetap tinggal. Konstantinopel kehilangan haknya atas gandum gratis pada 618, setelah Heraclius sadar bahwa kota itu tak lagi dapat memperoleh pasokan dari Mesir akibat peperangan dengan Persia. Populasi Konstantinopel menurun drastis karenanya, dari 500.000 menjadi 40.000-70.000 jiwa saja.[20]
Smentara kota besar itu dikepung musuh, Heraclius memimpin bala tentaranya memasuki wilayah Persia dan dalam waktu singkat berhasil memulihkan status quo pada 628, setelah Persia melepaskan seluruh wilayah taklukan mereka. Meskipun demikian, kekaisaran terus melemah karena gempuran-gempuran Bangsa Arab sehingga kehilangan provinsi-provinsinya di Afrika dan Tenggara Mediterania untuk selamanya. Pengepungan pertama Konstantinopel oleh Kaum Muslim berlangsung dari tahun 674 sampai 678, dan pengepungan kedua berlangsung dari tahun 717 sampai 718. Sementara Tembok-tembok Theodosius tak dapat ditembus oleh serangan darat, sebuah penemuan baru yang dikenal dengan julukan "Api Yunani" memampukan Angkatan Laut Bizantin menghancurkan armada Arab dan memungkinkan pasokan makanan tetap mengalir ke dalam kota. Pada pengepungan kedua, pertolongan yang sangat menentukan diulurkan oleh Bangsa Bulgar. Kegagalan pengepungan ini sangat merugikan Kekhalifahan Umayyah, serta memulihkan perimbangan kekuatan antara Bizantin dan Arab.
Krisis Ikonoklasme, 726-845
Leo III yang berhasil memukul mudur serangan bangsa Arab baik dari daratan maupun lautan memulai pemerintahannya dengan kontroversi religius terbesar dalam sejarah Byzantium; Ikonoklasme. Dimulai 726 ia memerintahkan pasukan kekaisarannya untuk melepaskan lukisan Kristus yang menggantung di gerbang Chalke, yang merupakan lukisan religius paling penting di kota. Dia meyakini bahwa pemujaan lukisan-lukisan ini adalah bentuk penyembahan berhala. Kaum Ikonodul, mereka yang memuja patung suci, mencoba mencegahnya dan membuat pimpinan pasukan kekaisaran terbunuh. Prajurit pun mengejar kaum Ikonodul dan membunuh pimpinannya putri Theodosia. Akhirnya Theodosia dikanonisasi sebagai pelindung para Ikonodul.
Kebijakan Ikonoklasme Leo ini diteruskan oleh Konstantin V yang memperbarui kampanye menentang penyembahan berhala pada tahun 754 dengan lebih ketat dibanding sebelumnya. Konstantin V meninggal pada 14 September 775, ia digantikan oleh putranya Leo yang juga meneruskan kebijakan Ikonoklasme ayahnya. Ia memiliki istri bernama Eiren yang berasal dari Athena, yang merupakan penganut Ikonodul yang taat namun merahasiakannya dari suaminya. Leo IV meninggal pada 8 September 780, digantikan putranya Konstantin yang belum berusia sepuluh tahun, dan ibunya, Eiren ditunjuk sebagai wali. Eiren langsung mengembalikan ikon-ikon dan memecat pendukung Ikonoklasme di pemerintahan yang digantikan dengan para Ikonodul. Pada 24 September 787 di Nicea diselenggarakan Konsili Ekumenis Ketujuh. Setelah mengadakan pertemuan selama satu bulan, dewan mengeluarkan keputusan untuk memulihkan ikon-ikon dengan penegasan boleh dimuliakan dan tak boleh disembah. Setelah Konstantin VI beranjak dewasa, ia berkuasa sendiri tanpa lagi perwakilan Eirene yang turun takhta. Namun, Eiren memutuskan merebut kekuasaanya, dan pada 15 Agustus 797 ia perintahkan pengawal pribadinya menangkap Konstantin dan memenjarakannya. Konstantin dihari yang sama dibutakan matanya dan dikirim ke sebuah biara di pulau Prinkip, dan tak lama meninggal dunia di sana. Eirene kemudian digulingkan dalam sebuah kudeta, dan pada 31 Oktober 802 Nicephorus menduduki singgasana, lalu Eirene diasingkan dari Konstantinopel dan tak pernah kembali. Necephorus terbunuh dalam perang dan digantikan putranya, Stauracius, yang meninggal pada 11 Januari 812 dan digantikan oleh Michael Rhangabe kaka iparnya. Michael mencoba mengembalikan perdamaian agama dan membuat murka para penganut Ikonoklasme. Michael I hanya berkuasa selama dua puluh bulan, dan pada 813 kaisar baru dinobatkan di Aya Sofya sebagai Leo V. Leo adalah penganut Ikonoklasme dan kembali memperbarui pelarangan lukisan suci. Dengan memimpin sebuah sinode pada tahun 815 di Aya Sofya; hal ini mencabut keputusan Konsili Ekumenis Ketujuh pada 787 dan mengonfirmasi sinode Ikonoklasme pada tahun 754. Leo yang terbunuh pada 820 digantikan oleh Michael, dan meninggal pada 2 Oktober 829. Michael II digantikan putranya Theopilus yang juga menganut Ikonoklasme namun cukup toleran seperti ayahnya. Theopilus yang meninggal pada 20 Januari 842 digantikan putranya, Michael III, yang baru berusia dua tahun dan diwakilkan oleh ibunya, Theodora.
Pada 845 mereka memimpin sebuah konsili yang mencabut keputusan sinode Ikonoklasme pada tahun 754 dan mengonfirmasi Konsili Ekumenis Ketujuh pada tahun 787. Dengan begitu, berakhirlah Krisis Ikonolasme.
Catatan kaki
^Wasson, Donald L. "Constantinople". World History Encyclopedia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-08-24.
^Koin-koin peringatan yang dikeluarkan pada era 330-an sudah menyebut kota itu Konstantinopolis (lihat, mis., Michael Grant, The climax of Rome (London 1968), hal. 133), atau "Kota Konstantinus". Menurut Reallexikon für Antike und Christentum, Jilid 164 (Stuttgart 2005), kolom 442, tidak ada bukti untuk tradisi bahwa Konstantinus secara resmi menjuluki kota ini "Roma baru" (Nova Roma). Mungkin saja sang kaisar menyebut kota ini "Roma kedua" (bahasa Yunani: Δευτέρα Ῥώμη, Deutéra Rhōmē) dengan dekret resmi, seperti yang dicatat oleh sejarawan Gereja abad ke-5 Socrates dari Konstantinopel: Lihat Nama-nama Konstantinopel.
^Margaret Barker, Times Literary Supplement 4 Mei 2007 hal. 26.
^Procopius' Secret History: lihat P Neville-Ure, Justinian and his Age, 1951.
^St. Sophia dialihfungsikan menjadi masjid setelah Konstantinopel ditaklukkan Utsmaniyah, dan kini berfungsi sebagai museum.
^Sumber kutipan: Scriptores originum Constantinopolitanarum, ed T Preger I 105 (Lihat A. A. Vasiliev, History of the Byzantine Empire, 1952, jilid I hal. 188).
^T. Madden, Crusades: The Illustrated History, 114.
Bizantium 1200, sebuah proyek yang bertujuan menciptakan reka-ulang komputer dari monumen-monumen Bizantium yang ada di Konstantinopel pada tahun 1200 Masehi.