Subspesies yang telah punah ini sempat diklasifikasikan sebagai Homo sapiens soloensis, tetapi sekarang dimasukkan ke dalam spesies Homo erectus. Oleh sebagian ahli, Homo soloensis dianggap segolongan dengan Homo neanderthalensis yang merupakan manusia purba dari Asia, Eropa, dan Afrika.
Di daerah tersebut, von Koenigswald banyak menemukan fosil-fosil dan artefak-artefak prasejarah, antara lain tengkorak anak-anak, hewan menyusui, dan aneka perkakas. Ia kemudian membagi lembah Kali Solo menjadi tiga lapisan:[3]
Lapisan Jetis (Pleistosen Bawah), tempat ditemukannya Pithecanthropus robustus, Homo mojokertensis, Meganthropus paleojavanicus
Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah), tempat ditemukannya Pithecanthropus erectus
Lapisan Ngandong (Pleistosen Atas), tempat ditemukannya Homo soloensis, Homo wajakensis
Untuk Homo e. soloensis, von Koenigswald menemukan 11 fosil tengkorak. Sebagian telah hancur, tetapi terdapat beberapa yang masih layak menjadi objek penelitian lebih lanjut, meskipun tulang rahang dan gigi kesebelas tengkorak itu sudah tidak ada.
Menurut von Koenigswald dan R. Weidenreich, manusia purba ini lebih tinggi tingkatannya dibanding Pithecanthropus erectus. Bahkan, mereka telah layak disebut sebagai homo (manusia). Diperkirakan, makhluk ini merupakan evolusi dari Pithecanthropus mojokertensis atau Homo mojokertensis.
Karena alat-alat yang ditemukan di dekat tulang hominid ini dan banyaknya fitur anatomi yang lebih rentan, para ahli pertama kali mengklasifikasikannya sebagai subspesies Homo sapiens (pernah juga disebut Javanthropus) dan dianggap sebagai nenek moyang orang Aborigin di Australia. Namun, studi yang lebih akurat menyimpulkan bahwa hal tersebut tidaklah terbukti.[4]
Analisis terhadap belasan tengkorak dari Sangiran, Trinil, Sambungmacan, dan Ngandong menunjukkan pengembangan kronologis dari Periode Bapang ke Periode Ngandong.[5] Pada 2011, para ahli memperkirakan H. e. soloensis sudah berusia antara 143.000 hingga 550.000 tahun.[6]
Ciri-ciri Fisik
Meskipun morfologinya sebagian besar khas dari Homo erectus, budaya Homo e. soloensis sudah sangat maju. Hal ini menimbulkan banyak masalah untuk teori terkini mengenai keterbatasan perilaku Homo erectus dalam hal inovasi dan bahasa.[4]
Homo erectus soloensis berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna. Diperkirakan, mereka memiliki tinggi badan antara 130 hingga 210 cm. Otot tengkuk mengalami penyusutan. Wajah tidak menonjol ke depan, tetapi dahinya miring ke belakang. Tengkoraknya menunjukkan tonjolan yang lebih tebal di dekat alis.[7] Kapasitas otaknya berkisar antara 1.013 sampai 1.251 cm³, menempatkan Homo erectus soloensis di antara anggota genus Homo berotak lebih besar.[8]
Kebudayaan dan Peradaban
Dengan volume otak yang sudah mendekati manusia, Homo erectus soloensis bersama dengan Homo wajakensis, diperkirakan mengawali sistem budaya yang kemudian kita kenal dengan Kebudayaan Ngandong. Kebudayaan ini dicirikan dengan penggunaan tulang binatang, duri ikan pari, dan batu-batuan serpih (flakes).[9] Bahan-bahan tersebut sudah berhasil diolah menjadi kapak, belati, tombak, dan sebagainya.
Sebagian flakes bahkan terbuat dari batu-batuan yang indah, seperti kalsedon, menandakan peradaban Homo e. soloensis telah mengenal citarasa seni. Alat-alat dari tulang binatang diduga digunakan untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Alat-alat seperti tombak yang bergerigi diduga dimanfaatkan layaknya harpun: untuk menangkap ikan besar.[3]
Masalahnya, semua perkakas dan senjata itu ditemukan di permukaan bumi, sehingga sulit memastikan asal lapisannya. Melalui penelitian yang mendalam, akhirnya diketahui benda-benda tersebut berasal dari Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah). Jadi, ada kemungkinan pemiliknya justru Pithencanthopus erectus.
Namun demikian, diyakini budaya menggunakan dan menciptakan alat semacam ini hanya berkembang di suatu kaum yang minimal bergenus Homo. Jadi, kemampuan Pithecanthropus erectus diragukan dalam hal ini. Apalagi makhluk-makhluk kera-manusia dari Lapisan Pleistosen Bawah (semacam Meganthropus paleojavanicus).
Permasalahan berikutnya, di antara semua penemuan dari zaman pleistosen di Indonesia, belum pernah ditemukan alat-alat yang letaknya berdekatan dengan fosil homo. Akibatnya, sulit menyimpulkan siapa pemilik sebenarnya dari alat-alat yang dikemukakan di atas.
Petunjuk untuk memecahkan kebuntuan ini datang dari penemuan di Beijing, Tiongkok. Di gua Choukoutien, sejumlah fosil Sinanthropus pekinensis (sekelas dengan Pithecanthropus erectus) ditemukan bersama perkakas bebatuan yang mirip dengan alat-alat di Situs Pacitan maupun Situs Ngandong. Maka kesimpulan sejauh ini, jika Sinanthropus pekinensis saja sudah memiliki budaya menggunakan dan menciptakan alat, boleh jadi Pithecanthropus erectus pun telah berbudaya.
Kesimpulan selanjutnya, jika makhluk seperti Pithecanthropus saja berbudaya dan mampu menciptakan Kebudayaan Pacitan lengkap dengan alat-alatnya, seharusnya Kebudayaan Ngandong yang dipelopori kaum homo, dalam hal ini Homo erectus soloensis, jauh lebih maju. Apalagi penelitian kemudian menunjukkan bahwa alat-alat tersebut memang berasal dari Pleistosen Atas, hasil kebudayaan Homo soloensis dan Homo wajakensis.[3]
Dari berbagai peralatan tersebut, para ahli berkesimpulan bahwa cara hidup masyarakat Homo erectus soloensis saat itu adalah berburu binatang, menangkap ikan, memanen keladi, ubi, buah-buahan, dan mengumpulkan makanan lainnya.[10] Namun, alat-alat tersebut tampaknya tidak cocok untuk bercocok tanam. Sehingga, hidup manusia paleolitikum itu diperkirakan masih menggunakan sistem nomaden, belum menetap.
Sistem Kepercayaan
Ada keyakinan dari sebagian ahli bahwa perkembangan budaya manusia diluvium sampai Homo sapiens diimbangi dengan perkembangan pemikiran dan perasaannya. Termasuk perkembangan kerohaniannya yang membuat mereka percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya.[3]
Menurut Karen Armstrong,[11] pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan penyebab pertama bagi segala sesuatu. Ia adalah penguasa langit dan bumi. Ia tidak terwakili oleh gambaran apapun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepada-Nya. Ia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai.
Wilhelm Schmidt, dalam buku The Origin of the Idea of God (1912-1954), juga menulis tentang monoteisme primitif ini. Menurutnya, jauh sebelum menyembah banyak dewa, manusia mengakui hanya satu Tuhan Tertinggi yang telah menciptakan dunia dan menata segalanya dari kejauhan. Schmidt mencontohkan suku pribumi Afrika yang meyakini keesaan Tuhan. Mereka mengungkapkan kerinduan melalui doa, percaya bahwa Tuhan selalu mengawasi dan menghukum setiap dosa. Namun Tuhan tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka, artinya tidak ada kultus khusus untuk-Nya. Tuhan tidak pernah ditampilkan dalam gambar-gambar.
Ini terjadi sebelum Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan pagan dan simbol-simbol keagamaan yang mewujud, misalnya dalam bentuk punden berundak, menhir, lukisan goa, kuil pemujaan, dan sebagainya.
Jadi, ada kemungkinan masyarakat Homo erectus soloensis juga mengenal dan membutuhkan kehadiran Tuhan. Sebab, sudah pasti setiap saat mereka berhadapan dengan peristiwa-peristiwa alam yang sulit dipahami karena di luar kendali dan nalarnya, wabah penyakit, binatang buas, fenomena-fenomena gaib, dan lain sebagainya.[7]
Ide tentang kehadiran Tuhan memang telah dan tetap hidup dari zaman dan kebudayaan apapun sampai kapan pun. Sebagaimana yang diungkap dalam The New Encyclopedia Britanica, bahwa sejauh penemuan para sarjana, tidak pernah ada orang, di manapun dan kapan pun, yang sama sekali tidak religius.
Teori Nusa Jawa Pusat Pesebaran Manusia
Alat-alat setipe dengan yang ada di Kebudayaan Ngandong juga terdapat di daerah-daerah Nusa atau Pulau Jawa. Kapak-kapak tangan berbentuk cakram sendiri sebenarnya menunjukkan ciri-ciri Australoid, tetapi juga dengan campuran ciri-ciri Mongoloid. Sebagian pakar paleoantropologi berpikir bahwa manusia-manusia Mongoloid dari daratan Asia, sedangkan manusia-manusia Australoid dari daratan Australia. Mereka datang dan bertemu di Jawa.[7]
Namun ada sebuah teori yang menyatakan bahwa justru Jawalah asal muasal mereka. Dari Jawa, Homo e. soloensis yang berciri fisik Mongoloid lalu menyebar ke Asia melalui Paparan Sunda, sedangkan Homo wajakensis yang berciri Australoid (Papua, Aborigin, dll.) menyebar ke Australia melalui Paparan Sahul.
Sedangkan Paparan Sahul atau Dataran Sahul adalah bagian dari lempeng landas kontinen benua Sahul (Benua Australia-Papua) yang terletak di lepas pantai utara Australia dan lautan selatan Pulau Papua. Paparan Sahul membentang dari Australia utara, meliputi Laut Timor menyambung ke timur di laut Arafura yang menyambung dengan Pulau Papua. Ketika permukaan air laut turun pada zaman esPleistosen, Paparan Sahul adalah dataran terbuka di atas permukaan laut.
Teori Jawa sebagai tempat asal peradaban purba bertolak dari fakta bahwa pulau ini berada di wilayah khatulistiwa dengan iklim yang sangat ideal bagi kehidupan manusia. Akan terasa janggal bila manusia-manusia itu justru lebih suka tinggal di lokasi yang memiliki empat musim, karena pada Musim Salju tentulah sangat dingin membeku. Terlebih pada zaman es sekitar dua juta tahun yang lalu. Maka tidak berlebihan bila sebagian ahli mengemukakan teori bahwa Paparan Sunda dan Paparan Sahullah sesungguhnya tempat kelahiran serta pertahanan hidup Ras Mongoloid dan Australoid. Terlebih bila mengingat di pulau ini juga hadir leluhur Homo erectus soloensis, yakni Pithecanthropus erectus, sang missing link yang oleh antropolog dan zoolog Jerman Ernst Haeckel dianggap peralihan sempurna antara kera dan manusia.[7]
Kepunahan Homo erectus soloensis
Tidak ada yang tahu persisnya mengapa Homo e. soloensis tidak lagi hidup di bumi. Hanya ada keterangan bahwa populasinya musnah di kala pleistosen.[14] Bagaimanapun, sebagai perbandingan, bolehlah kita menggunakan penelitian bertema serupa untuk kasus Neanderthal. Sebab, antara Homo erectus soloensis dan Homo neanderthalis memiliki kedekatan fisik.
Kemampuan Sosial yang Rendah
Sebuah teori menyebutkan, manusia-manusia primitif ini punah karena kurang pandai bersosialisasi. Hal itu, melalui penelitian yang panjang, disimpulkan terjadi pada satu spesies manusia purba, Neanderthal yang pernah hidup di wilayah Eropa, Asia Tengah, dan Timur Tengah selama kurang-lebih 300.000 tahun.
Para pakar dari Universitas Oxford dan Museum Natural History di London membandingkan 32 tengkorak manusia modern dengan 13 tengkorak Neanderthal. Para ilmuwan itu mendapati bahwa proporsi otak Neanderthal yang bertanggung jawab membangun hubungan sosial lebih kecil dibanding proporsi otak primata dan manusia saat ini. Riset tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan bertukar alias berdagang dari spesies ini sangat terbatas.
Dalam kondisi normal, keterbatasan tersebut barangkali bukanlah masalah besar. Namun dalam situasi sulit, seperti zaman es, keterbatasan semacam itu meminimalkan peluang untuk bekerja sama dengan grup lain, sehingga meminimalkan pula kesempatan untuk menjadi penyintas.[15]
Penyebaran Penyakit
Ada pula dugaan bahwa epidemi berperan besar dalam memusnahkan Homo erectus soloensis dan keturunannya. Pasalnya, kasus serupa juga menimpa Neanderthal.[16]
Menurut riset, Neanderthal memiliki kekebalan terbatas terhadap penyakit yang belum pernah mereka idap. Sementara Homo sapiens relatif lebih imun terhadap kuman, virus, bakteri, atau beragam paleopatologi. Jika relatif mudah bagi patogen tertentu untuk melompat antar dua spesies, mungkin karena mereka tinggal berdekatan, maka penularan sangat memungkinkan terjadi dan akibatnya fatal bagi manusia-manusia Neanderthal. Hal yang serupa pun dapat terjadi terhadap Homo soloensis.
Badai Meteor
Teori lain memaparkan, kepunahan manusia purba secara umum berkaitan dengan badai meteor yang pernah menghantam bumi sekitar 12.000 tahun lalu. Peristiwa alam ini diduga membinasakan para manusia purba, termasuk hewan-hewan raksasa seperti dinosaurus dan mammoth. Para peneliti yakin tragedi tersebut memicu perubahan suhu hingga mencapai 2.200 derajat celcius.[17]
Sulit bagi makhluk-makhluk pada zaman itu untuk bertahan, baik saat meteor menerjang maupun di saat kondisi alam mengalami kerusakan dan perubahan iklim yang ekstrem setelahnya.
Memang, penyebab punahnya Homo erectus soloensis secara pasti masih menjadi teka-teki dan perdebatan di kalangan ilmuwan. Bisa jadi karena mereka dimangsa predator, kalah bersaing dengan manusia modern (Homo sapiens), epidemi, faktor eksternal planet (seperti meteor), kurang pandai bersosialisasi, atau semua itu sekaligus.
^Schwartz, Jeffrey H.; Tattersall, Ian (2005). The Human Fossil Record, Craniodental Morphology of Genus Homo (Africa and Asia). John Wiley & Sons. hlm. 450. ISBN9780471326441.
^ abcdSoekmono, Dr. R. (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Penerbit Kanisius, Cetakan Ketiga. hlm. 28-33. ISBN9789794131749.
^ abPeter Brown: Recent human evolution in East Asia and Australasia. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Biological Sciences, Vol. 337, 235-242, 1992
^Kaifu, Y; Aziz, F; Indriati, E; Jacob, T; Kurniawan, I; Baba, H (Oct 2008). "Cranial morphology of Javanese Homo erectus: new evidence for continuous evolution, specialization, and terminal extinction". Journal of Human Evolution. 55 (4): 551–80. doi:10.1016/j.jhevol.2008.05.002. ISSN0047-2484. PMID18635247.
^Armstrong, Karen (2011). Sejarah Tuhan. Penerbit Mizan Bandung. hlm. 27. ISBN9789794336144.
^Zvi Ben-Avraham, "Structural framework of the Sunda Shelf and vicinity" Structural Geology (January 1973) abstract; Monk, K.A. (1996). The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 10. ISBN962-593-076-0.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^va Bemmelen, R.W. (1949). The Geology of Indonesia. Vol. IA: General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Matinus Nithoff, The Hague, 723 pp.