Muslim bin Uqbah al-Murri (bahasa Arab: مسلم بن عقبة المري) adalah seorang jenderal dari Kekhalifahan Umayyah pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan (661–680) dan putranya Yazid bin Muawiyah (680–683). Yazid menunjuk Muslim, yang memiliki reputasi sebagai loyalis Umayyah dan berpengalaman dalam Pertempuran Shiffin, sebagai pemimpin pasukan yang dikirim untuk menundukkan Madinah yang menolak memberi baiat (sumpah setia) kepada Yazid. Muslim mengalahkan pasukan Madinah dalam Pertempuran al-Harrah dan selanjutnya menduduki Madinah. Selanjutnya pasukannya melakukan kekerasan dan penjarahan di kota suci tersebut. Beberapa sejarawan Islam menganggap peristiwa ini sebagai salah satu kezaliman besar yang dilakukan dinasti Umayyah. Muslim sendiri meninggal tak lama setelah peristiwa ini.
Silsilah
Muslim bin Uqbah bin Rabah bin As'ad bin Rabi'ah bin Amir bin Malik bin Yarbu' bin Ghaizh bin Murrah bin Auf al-Murri.[1] Kunyahnya adalah Abu Uqbah.[1]
Biografi
Rincian tentang kehidupan awal dan karier Muslim sangat sedikit. Ia mengalami masa kenabian Muhammad[1] dan kemungkinan besar dilahirkan sebelum Hijrah yang terjadi pada tahun 622. Muslim merupakan putra Uqbah tertentu dari Bani Murrah, cabang suku Bani Ghathafan. Muslim pindah ke Suriah dari Arab selama penaklukan Muslim di wilayah tersebut pada tahun 630-an. Ia menjadi pendukung setia klan Umayyah dan gubernur provinsi tersebut, Muawiyah bin Abu Sufyan. Selama Fitnah Pertama, Muslim menjadi pemimpin kontingen infanteri Suriah di pasukan Muawiyah pada Pertempuran Shiffin di Al-Jazirah melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib (berkuasa 656–661) dan para pendukungnya. Pada pertempuran selanjutnya, ia tidak dapat merebut oasis Daumatul Jandal. Ketika Muawiyah menjadi khalifah pada tahun 661, ia memberi Muslim jabatan yang menguntungkan sebagai pemungut pajak tanah di Palestina, meskipun Muslim diketahui tidak memanfaatkan jabatan ini untuk memperkaya diri. Kemudian, ketika Muawiyah berada di ranjang kematiannya, dia mengangkat Muslim dan gubernur Damaskus, Adh-Dhahhak bin Qais al-Fihri, sebagai wakilnya sampai putranya dan penerusnya, Yazid bin Muawiyah (berkuasa 680–683), kembali ke Suriah dari medan perang melawan Bizantium di Anatolia.
Muawiyah meninggal pada tahun 680 dan Yazid menjadi khalifah, meskipun sistem warisan ini, yang hingga saat itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam kekhalifahan, tidak diakui oleh kaum Anshar (pendukung Nabi Muhammad di Madinah). Muslim diutus sebagai perwakilan Yazid untuk mengajak penduduk Madinah agar menaati pemerintahannya, namun usaha ini ditolak. Sebagai tanggapan, Yazid kembali mengirim Muslim sebagai jenderal pasukan, untuk menundukkan penduduk Madinah dan Makkah. Pada saat itu, Muslim sudah tua dan sakit-sakitan sehingga harus diangkut dengan tandu. Dalam perjalanan ke Madinah, Muslim bertemu dengan sekelompok Bani Umayyah di Wadi al-Qura yang telah diusir dari Madinah. Mereka membantunya dengan menginformasikan pertahanan Madinah. Ketika dia sampai di pinggiran kota, Muslim berkemah bersama pasukannya di Harrat Waqim, lalu memulai negosiasi selama tiga hari dengan kaum Anshar dan Quraisy yang menentang Yazid. Setelah negosiasi gagal, Muslim menyusun rencana pertempuran, yang pecah pada tanggal 26 Agustus 683 dan dikenal sebagai Pertempuran al-Harrah. Kaum Anshar pada awalnya mendapat keuntungan di awal pertempuran, namun akhirnya dikalahkan oleh pasukan Muslim Suriah, lalu mengejar mereka yang selamat hingga ke Madinah. Pasukan Muslim kemudian menjarah kota tersebut sebelum dia mengendalikan mereka keesokan harinya. Setelah itu, dia mengadili para pemimpin pemberontakan yang ditawan. Setelah kemenangannya, Muslim menempatkan salah satu wakilnya, Rauh bin Zinba' al-Judzami, untuk memimpin Madinah, sementara dia berangkat ke Makkah untuk menundukkan pemimpin pemberontakan, Abdullah bin az-Zubair. Dalam perjalanan, ia jatuh sakit di Mushallal dan menyerahkan kepemimpinan pasukan kepada wakilnya, Al-Hushain bin Numair As-Sakuni. Muslim meninggal segera setelah itu dan dimakamkan di Mushallal. Makamnya telah lama menjadi sasaran lemparan batu oleh orang yang lewat.
Penilaian
Dalam riwayat Islam, penjarahan Madinah, salah satu kota suci umat Islam, oleh pasukan Muslim adalah salah satu kezaliman besar yang dilakukan dinasti Umayyah. Muslim adalah satu-satunya orang yang secara terang-terangan dikutuk dalam karya sejarawan Sunni, Khalifah bin Khayyath, yang menyebut sang jenderal melakukan pembantaian dan kezaliman besar lainnya di Madinah.[7] Para sejarawan Islam yang sependapat dengan Syiah menjulukinya sebagai "Musrif" (orang yang melampaui batas), sebuah plesetan dari nama aslinya. Namun, sejarawan Orientalis abad ke-20 Henri Lammens menolak penggambaran Muslim dan kekejamannya di Madinah oleh riwayat Muslim abad pertengahan sebagai "berlebihan". Ia menganggap Muslim sebagai orang yang tidak fana dan merupakan salah satu jenderal Arab "yang bakatnya berkontribusi besar dalam membangun kekuasaan Bani Umayyah".
Ia lebih lanjut menyatakan bahwa karier Muslim menunjukkan bahwa ia adalah "seorang Muslim yang yakin akan kejujuran yang jarang terjadi pada periode kekacauan ini, yang menyaksikan begitu banyak perubahan nasib yang luar biasa dan kesetiaan yang goyah”.
Referensi
Daftar pustaka