Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Orbit Bulan

Orbit Bulan adalah jalur lintasan Bulan sebagai satelit alami terhadap Bumi. Masa sekali pengorbitan Bulan berlangsung selama 27,321661 hari dan dipengaruhi oleh gravitasi. Letak orbit Bulan dikenali dengan Matahari karena mengapit orbit Merkurius dan Venus. Orbit Bulan merupakan bagian penting yang menyebabkan terjadinya fenomena gerhana matahari dan gerhana bulan.

Penyebab

Periode Bulan untuk melakukan satu kali pengorbitan atas Bumi disebut periode sideris. Durasinya dalam sekali pengorbitan adalah 27,321661 hari.[1] Dalam mekanika benda langit yang dikemukakan oleh Isaac Newton, dinyatakan bahwa pergerakan pergerakan Bulan terhadap Bumi dipengaruhi oleh gravitasi. Pengertian dari gravitasi adalah gaya yang diasumsikan memberikan gaya jatuh terhadap objek benda. Gaya gravitasi ini berlaku di alam semesta sehingga menjadi landasan bagi sintesis pertama atas teori jagad raya.[2]

Pengenalan

Posisi orbit Bulan mengapit orbit Merkurius dan orbit Venus bersama dengan Matahari.[3] Orbit Bulan dapat dikenali karena keberadaan Matahari. Daya yang dimiliki oleh Matahari sangat besar sehingga mampu menjadi pembeda antara orbit-orbit dari satelit alami dan planet. Besarnya daya Matahari adalah 1026 watt dan terkumpul menjadi bola gas raksasa yang berpijar. Karena daya yang besar ini, gravitasi pada Matahari mampu membuat Bumi yang diorbit oleh Bulan menjadi mengorbit Matahari.[4]

Fenomena

Gerhana

Fenomena gerhana tidak dapat terjadi ketika orbit Bulan berimpit dengan ekliptika. Kondisi ini memungkinkan hanya jika tidak ada perbedaan sudut ketika Bulan memasuki masa bulan baru atau masa bulan purnama. Saat bulan baru, terjadi gerhana matahari, sedangkan saat bulan purnama terjadi gerhana bulan. Pada kenyataannya kondisi ini tidak terjadi, karena di bidang ekuator terbentuk sudut sebesar 5º. Akibatnya, syarat agar gerhana dapat terjadi ialah ketika Bulan berada pada titik simpul dari orbitnya, Kondisi-kondisi ini kemudian membentuk siklus Saros yang mengulang terjadinya gerhana setiap 18 tahun 10 hari sekali.[5]

Terjadinya gerhana bulan hanya ketika pusat Bulan memiliki sudut oposisi di titik orbit yang lebih kecil dari 9º. Syarat terjadinya ialah titik pusat di Bulan lebih kecil dari 12,5º dari titik simpulnya. Pemenuhan syarat ini akan menimbulkan fenomena gerhana bulan total ataupun gerhana bulan sebagian secara geometri. Durasi terjadinya gerhana bulan yang paling lama ialah 1 jam 45 menit.[5] Sementara itu, gerhana matahari dapat terjadi ketika titik pusat Matahari memiliki sudut yang lebih kecil dari 13,5º terhadap salah satu titik simpul dari orbit Bulan. Kondisi ini hanya terpenuhi ketika titik pusat Matahari lebih kecil dari 18,5º dari titik simpulnya. Pada kondisi ini dengan jarak Bumi jauh dari Matahari namun dekat dengan Bulan, maka jenis gerhana yang terjadi adalah gerhana matahari total. Sementara ketika Bumi dekat dengan Matahari dan jauh dari Bulan maka yang akan terjadi ialah gerhana matahari cincin. Namun, kemungkinan lain yang dapat terjadi di kedua kondisi tersebut ialah terjadinya gerhana matahari sebagian. Durasi maksimum terjadinya gerhana Matahari selama 7 menit.[5]

Referensi

  1. ^ Sopwan, N., dan Raharto, M. (2019). "Distribusi Periode Sinodis dalam Penanggalan Masehi". Prosiding Seminar Nasional Fisika 5.0: 372. ISBN 978-602-74598-3-0. 
  2. ^ Purwanto, Agus (Agustus 2012). Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan AI-Quran sebagai Basis Konstruksi llmu Pengetahuan. Bandung: Penerbit Mizan. hlm. 41. ISBN 978-979-433-730-1. 
  3. ^ Ramadhani, Sulistyani Puteri (Desember 2018). Yiesa Media Karya, ed. Bumi dan Antariksa: Konsep dan Panduan Pengajar Inovatif (PDF). Depok: Penerbit Yiesa Rich Foundation. hlm. 123. ISBN 978-623-925-003-4. 
  4. ^ Raharto, M., dan Sopwan, N. (2019). "Fenomena Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari dalam Sistem Kalendar" (PDF). Prosiding SNIPS 2019: 120. ISBN 978-602-61045-7-1. 
  5. ^ a b c Siregar, Suryadi (2017). Fisika Tata Surya (PDF). Bandung: Penerbit Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. hlm. 10. 
Kembali kehalaman sebelumnya