Parameswara (1344–1414) atau Iskandar Syah (aksara Jawi: إسكندر شه) adalah raja terakhir dari Singapura yang memerintah dari tahun 1389 sampai 1398. Dia melarikan diri dari Palembang setelah invasi angkatan laut Majapahit pada tahun 1398, dan ia kemudian mendirikan benteng barunya pada muara Sungai Melaka pada tahun 1402. Dalam buku The History of Malaya A.D. 1400-1959, disebutkan bahwa Parameswara melarikan diri ke Malaka sebab invasi dari Kerajaan Siam yang salah satu pemimpinnya dibunuh oleh Parameswara.[1] Dalam beberapa dekade, kota baru tersebut tumbuh pesat menjadi ibukota Kesultanan Melaka.
Pada awalnya Melaka bukanlah sebuah Kerajaan beragama Islam. Hal ini berubah ketika Parameswara menikah dengan Putri Ratna Kemala, Putri Sultan Zainal Abidin dari Samudera Pasai dan masuk Islam pada tahun 1406, ia mengubah namanya menjadi Sultan Iskandar Syah [2].
Dengan masuk dan berkembangnya Islam di Kesultanan Melaka merupakan cikal bakal berkembangnya agama Islam di kawasan Nusantara, hal ini karena Kesultanan Melaka merupakan aspek penting dalam kehidupan masyarakat di Nusantara. Karena dari kawasan Melaka pemakaian bahasa dan penyebaran kebudayaan
Melayu Islam tersebar dihampir keseluruh kawasan Nusantara. Apa yang kita gunakan sebagai alat komunikasi di Nusantara saat ini merupakan hasil yang positif dari keagungan Melaka sebagai jantung kebudayaan Melayu Islam di Nusantara [2].
Etimologi
Parameswara (Dewanagari: परमेश्वर; , परमेश्वर, परमेश्वर) adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Parama berarti "paling berkuasa", dan Iswara berarti "raja". Parameswara juga merupakan nama lain untuk Siwa, salah satu dewa utama dalam agama Hindu.
Hanya satu catatan yang secara rinci menulis tentang Kerajaan Singapura dan Melaka, yakni kitab Sulalatus Salatin (Malay Annals) yang ditulis pada masa kejayaan Melaka dan kembali disusun pada tahun 1612 oleh pengadilan Johor. Inilah kitab yang menulis secara terperinci mengenai pendirian Melaka, suksesi penguasa, dan masa-masa kejatuhannya. Catatan penting lainnya ialah Suma Oriental yang ditulis setelah penaklukan Portugis atas Melaka. Keduanya, Suma Oriental dan Sulalatus Salatin memang mengandung cerita serupa tentang seorang pangeran Sriwijaya yang melarikan diri dan tiba di Singapura, serta tentang raja terakhir dari Singapura yang melarikan diri ke pantai barat Semenanjung Melayu dan tiba di Melaka. Namun kedua catatan tersebut sangat berbeda, Suma Oriental mengatakan bahwa pangeran yang melarikan diri dan raja terakhir Singapura sebagai orang yang sama yang dikenal sebagai Parameswara. Di sisi lain, Sulalatus Salatin lebih rinci mengidentifikasi pangeran yang melarikan diri dan raja terakhir Singapura sebagai dua orang yang berbeda, dipisahkan oleh lima generasi. Suma Oriental mencatat bahwa pangeran Sriwijaya yang melarikan diri itu merebut tahta Singapura dari raja muda Siam bernama Temagi yakni sekitar tahun 1390-an. Namun hal ini dibantah oleh satu-satunya penulis Tiongkok pada abad ke-14, Dao Yi Zhi Lue yang kemudian ditulis oleh Wang Dayuan, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa pada masa itu Singapura diperintah oleh pemerintah lokal.[3]
Terlepas apakah Parameswara merupakan pendiri Kesultanan Melaka, ada dua penguasa lain dari garis keturunan yang sama yang menggunakan Parameswara sebagai gelar mereka. Mereka ialah Sang Nila Utama, pendiri Singapura kuno (dengan gelar "Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana") dan Abu Syahid Shah, Sultan keempat Melaka (dengan gelar "Raja Sri Parameswara Dewa Shah").
Asal usul keturunan
Berdasarkan kronik Tiongkok masa Dinasti Ming disebutkan pendiri Melaka (Malaka) adalah Pai-li-mi-su-la (Parameswara), mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan 1409. Sementara dalam Sulalatus Salatin, tidak dijumpai nama tokoh ini, tetapi kemudian beberapa sejarawan merujuk tokoh ini dengan Raja Iskandar Syah, dalam Sulalatus Salatin disebutkan sebagai pendiri Melaka. Sebelumnya Raja Iskandar Syah adalah Raja Singapura, namun karena serangan Jawa dan Siam menyebabkan Raja Singapura memindahkan pusat pemerintahannya ke Melaka.[4]
Sang Nila Utama, keturunan Raja-Raja Sriwijaya,[5] memiliki putra bernama Sri Wikrama Wira. Sri Wikrama Wira kemudian memiliki putra bernama Sri Rana Wikrama. Sri Rana Wikram kemudian memiliki putra bersama Sri Maharaja. Parameswara adalah putra dari Sri Maharaja.[6]
Kehidupan
Jatuhnya Singapura
Pada tahun 1389, Sri Maharaja digantikan oleh putranya, Parameswara. Meskipun menggunakan gelar Persia, tetapi tidak ada bukti yang mengatakan bahwa ketika itu dia telah memeluk agama Islam. Namun dalam catatan Malay Annals, pengaruh Islam di Singapura telah ada sejak masa pemerintahan Sri Rana Wikrama, ketika ia pertama kali menjalin hubungan dengan kerajaan muslim Sumatra, Perlak.[7] Salah satu sumber mengklaim bahwa Parameswara memiliki istri seorang wanita muslim dan kemudian ia mengubah agamanya menjadi muslim.[8]
Seperti disebutkan dalam Sejarah Melayu, kisah jatuhnya Singapura dan larinya raja terakhir, disebabkan atas tuduhan Iskandar Syah kepada salah satu selirnya yang melakukan perzinaan. Sebagai hukuman, raja menelanjangi selir itu di depan umum. Untuk membalaskan dendamnya, ayah selir itu, Sang Rajuna Tapa yang juga seorang pejabat di pengadilan Iskandar Shah, diam-diam mengirim pesan kepada Wikramawardhana dari Majapahit, untuk menyerang Singapura. Pada tahun 1398, Majapahit mengirimkan armadanya yang terdiri dari tiga ratus kapal perang utama dan ratusan kapal kecil, membawa tidak kurang dari 200.000 orang. Awalnya, tentara Jawa bertempur di luar benteng dengan penduduk Singapura. Sebelum akhirnya memaksa mereka untuk mundur ke belakang tembok. Kekuatan invasi Jawa terus melakukan pengepungan kota dan berulang kali mencoba untuk menyerang benteng, tetapi benteng tak dapat ditembus.[7][9][10]
Setelah sekitar satu bulan, makanan di dalam benteng mulai kehabisan dan pihak yang bertahan berada di ambang kelaparan. Sang Rajuna Tapa kemudian diminta untuk mendistribusikan biji-bijian milik kerajaan kepada masyarakat yang bertahan. Sebagai bentuk balas dendam, menteri berbohong kepada raja, dan mengatakan bahwa gudang kerajaan sedang kosong. Akhirnya orang-orang yang bertahan mengalami kelaparan. Serangan terakhir Majapahit terjadi setelah gerbang akhir dibuka atas perintah seorang menteri. Para prajurit Majapahit bergegas masuk ke benteng dan pembantaian yang mengerikan terjadi.[10] Menurut Malay Annals, "darah mengalir seperti sungai" dan noda merah di tanah Singapura disebut-sebut berasal dari darah pembantaian itu.[11] Mengetahui kekalahan sudah dekat, Iskandar Shah dan para pengikutnya melarikan diri dari Singapura.
Mendirikan Malaka
Setelah jatuhnya Singapura karena serangan Majapahit, Iskandar Shah atau Parameswara melarikan diri ke utara untuk menemukan sebuah pemukiman baru. Di Muar, Parameswara merenung untuk mendirikan kerajaan baru. Mengetahui bahwa lokasi itu tidak cocok, ia melanjutkan perjalanan ke utara. Dalam perjalanannya dia mengunjungi Sungai Ujong sebelum akhirnya mencapai sebuah desa nelayan di muara Sungai Malaka. Daerah ini kemudian berkembang dari waktu ke waktu menjadi lokasi Kota Malaka sekarang ini. Menurut Malay Annals, ketika sedang beristirahat di bawah pohon Malaka raja melihat seekor kancil sedang mengecoh anjing. Melihat kecerdikan kancil, dia berpikir bahwa tempat ini adalah tempat yang terbaik untuk mendirikan kerajaan. Saat ini, kancil merupakan salah satu dari lambang Malaka modern. Nama "Malaka" itu sendiri berasal dari nama sebuah pohon (bahasa Melayu: Pokok Melaka) yang disebut Phyllanthus Emblica.[12] Berdasarkan catatan lain, nama Malaka berasal dari bahasa Arab, malakat (jemaat pedagang). Yang mana selama pemerintahan Muhammad Shah (1424 - 1444), kerajaan ini menjadi rumah bagi banyak komunitas dagang.
Memerintah di Malaka
Setelah pemukiman baru di Malaka terbentuk, Parameswara memprakarsai pengembangan tempat dan memerintahkan anak buahnya untuk menggarap tanah dengan menanam pisang, tebu, ubi, dan tanaman pangan lainnya. Letaknya yang strategis, yakni terlindungi oleh bukit dan bahaya pasang, Parameswara kemudian mendirikan pelabuhan dan pasar sebagai titik pertukaran barang. Orang Laut, yang cukup setia kepada penguasa Melayu sejak zaman Singapura dan Sriwijaya, membantu Parameswara berpatroli di lautan serta mengusir para bajak laut di sekitar Malaka. Dalam beberapa tahun, berita tentang keramaian Malaka menyebar ke seluruh dunia timur dan bahkan sampai ke Tiongkok. Kaisar Yongle dari Dinasti Ming yang memerintah dari tahun 1402 sampai 1424, mengirim utusannya Ying Ching ke Malaka pada tahun 1405. Kunjungan Yin Ching, membuka jalan bagi pembentukan hubungan persahabatan antara Malaka dan Tiongkok. Setelah hubungan itu, para pedagang Tiongkok mulai mendirikan basis perdagangan mereka di Malaka, dan mereka bisa dikatakan sebagai salah satu pedagang awal yang mendirikan basis di sini. Selain dari Tiongkok, pedagang asing lainnya yang berdagang di Malaka berasal dari Jawa, India, dan Burma. Sehingga selama pemerintahan Parameswara, penduduk Malaka telah melonjak hingga 2.000 jiwa.
Pada tahun 1411, Parameswara, beserta istri dan anaknya, yang juga diikuti oleh 540 orang kerajaan, berangkat ke Tiongkok bersama Laksamana Cheng Ho. Keberangkatan itu untuk memberi penghormatan kepada Kaisar Yongle. Ketika utusan dari Malaka memberi penghormatan kepada Kaisar Tiongkok, kaisar memuji Parameswara dan mengakuinya sebagai penguasa sah di Malaka. Kaisar Yongle kemudian memberikan Parameswara tanda kehormatan, sutra dan payung kuning sebagai simbol kerajaan, dan juga surat penunjukan Parameswara sebagai penguasa Malaka. Malaka kemudian diakui sebagai kerajaan oleh Kaisar Tiongkok. Utusan kembali ke Malaka bersama-sama armada Laksamana Cheng Ho, orang China pertama yang berlayar dan menjelajahi daerah di wilayah selatan.
Sejarah Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1414, putra penguasa pertama Malaka mengunjungi Ming untuk memberitahu mereka bahwa ayahnya telah meninggal. Parameswara telah digantikan oleh putranya, Megat Iskandar Syah yang kemudian memerintah Malaka sampai tahun 1424.
Warisan
Beberapa dekade setelah berdirinya Kerajaan Malaka, kota itu berkembang menjadi pelabuhan perdagangan internasional yang digembar-gemborkan sebagai masa keemasan Bangsa Melayu. Ketika itu ada 80 bahasa yang digunakan di Malaka. Kota itu menjadi pelabuhan penting di timur jauh selama abad ke-16. Sehingga penulis Portugis Tome Pires pernah mengatakan: "Siapapun yang menguasai Malaka maka dia akan memiliki Venesia".[13] Malaka merupakan Kesultanan Melayu yang baru, sebagai basis utama dalam melanjutkan perjuangan bersejarah pendahulunya: Singapura dan Sriwijaya, terhadap musuh mereka yang berbasis di Jawa. Pada pertengahan abad ke-15, Majapahit tak mampu lagi mengontrol naiknya kekuatan Malaka yang mulai mengendalikan Selat Malaka dan memperluas pengaruhnya ke Sumatera. Malay Annals mencatat bahwa pada puncak kekuatannya, setelah pengangkatan Sultan Mansur Shah pada tahun 1459, wilayah Malaka menguasai sebagian besar Semenanjung Malaya, Kepulauan Riau, dan sebagian pantai timur Sumatera yaitu Indragiri, Kampar, Siak, Rokan, Haru, dan Siantan. Malaka terus memperluas wilayahnya hingga akhir tahun 1506 ketika mereka menaklukkan Kelantan.[14]
Kemakmuran Malaka sebagai pelabuhan internasional telah mengubah konstelasi politik di seluruh Kepulauan Melayu, dan keberhasilannya dikagumi oleh raja-raja dari kerajaan tetangga. Sebagai tempat penyaluran barang terbesar, Malaka menarik pedagang muslim dari berbagai belahan dunia dan kemudian menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh Kepulauan Melayu. Proses Islamisasi di wilayah sekitar Malaka secara bertahap terjadi secara intensif antara abad ke-15 dan 16 melalui pusat studi di Upeh, di tepi utara Sungai Malaka. Islam menyebar dari Malaka ke Jambi, Kampar, Bengkalis, Siak, Aru, dan Kepulauan Karimun di Sumatera, di banyak Semenanjung Melayu, Jawa, dan bahkan Filipina. Malay Annals bahkan mengungkapkan bahwa pada masa itu pengadilan Malaka dan Pasai saling mengajukan pertanyaan teologis dan masalah satu sama lain. Berdasarkan catatan sejarah dua di antara sembilan orang penyebar Islam di tanah Jawa (Wali Songo), yakni Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, pernah belajar di Malaka.[15] Ekspansi Islam ke pedalaman Jawa pada abad ke-15, menyebabkan menurunnya kekuasaan musuh lama Malaka, yakni Hindu-Majapahit, sebelum akhirnya menyerah pada pasukan muslim lokal yang muncul di awal abad ke-16.
Biografi
- 1344 - Lahir sebagai Dharmaraja (Desia Raja), putra Paduka Sri Rana Wira Kerma, Raja Singapura (1386 - 1399). Ibunya adalah putri Tun Perpatih Permuka Berjayar, Bendahara kerajaan Singapura.[16]
- 1399 - Menjadi Raja Singapura menggantikan ayahnya Sri Maharaja.
- 1401 - Terusir dari Singapura.
- 1402 - Mendirikan Kesultanan Melaka.
- 1405 - Mengunjungi Dinasti Ming di Tiongkok.
- 1406 - Menikah dengan Putri Ratna Kemala dari Samudera Pasai.
- 1411 - Mengunjungi Dinasti Ming di Tiongkok.
Lihat pula
Referensi
- ^ Andaya, Leonard Y. (2019). Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Depok: Komunitas Bambu.
- ^ a b Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu (1976) "Pengaruh Islam Dalam Sastra Melayu" Seminar
Kebudayaan Islam Dan Kebudayaan Melayu. UKM.
- ^ Taylor 2000, hlm. 199
- ^ Raffles, T.S., (1821), Malay annals, (translated from the Malay language, by the late Dr. John Leyden)
- ^ Singapore. Ministry of Culture, Singapore. Ministry of Communications and Information. Information Divisionl (1973). Singapore facts and pictures. Ministry of Culture. hlm. 9. ISBN 9971750295.
- ^ Buyers, Christopher. "The Ruling House of Malacca - Johor". Diakses tanggal 2009-06-13.
- ^ a b Tsang & Perera 2011, hlm. 120
- ^ "Parameswara". Sejarah Melayu. Diakses tanggal 21 Mei 2013.
- ^ Sabrizain, hlm. Palembang Prince or Singapore Renegade?
- ^ a b A. Samad 1979, hlm. 69–70
- ^ Windstedt 1938, hlm. 32
- ^ "Origin of Malacca". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-12. Diakses tanggal 2014-09-26.
- ^ Cortesao 1990, hlm. lxxv
- ^ Ahmad Sarji 2011, hlm. 119
- ^ Ahmad Sarji 2011, hlm. 116
- ^ Buyers, Christopher. "The Ruling House of Malacca - Johor". Diakses tanggal 2009-12-17.
Bacaan lanjutan
- Krom, Nicolaas Johannes (1931). Hindoe-javaansche geschiedenis. 's-Gravenhage, M. Nijhoff. ISBN 90-73084-08-3.
Pranala luar