Sepuluh partai politik berpartisipasi dalam pemilu legislatif tahun 1971, jumlah yang dianggap terlalu banyak oleh Presiden Soeharto. Soeharto ingin agar partai politik dikurangi menjadi dua atau tiga saja dan partai-partai tersebut dikelompokkan berdasarkan programnya.
Dengan dorongan dari Pemerintah, para pejabat dari keempat partai mengadakan pertemuan satu sama lain dan setelah menemukan titik temu, mereka menggabungkan keempat partai Islam di Indonesia ke dalam Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973. Meskipun demikian, partai-partai tersebut secara resmi bergabung, namun internal Politik PPP di bawah pemerintahan Suharto didominasi oleh perbedaan prioritas kelompok-kelompok awal yang membentuk partai tersebut.
Oposisi Orde Baru
Pada pertengahan tahun 1970-an, dukungan masyarakat terhadap rezim Soeharto dengan cepat berkurang. Ketika Soeharto merebut kekuasaan melalui kudeta militer berdarah pada tahun 1965 dan menggulingkan Presiden Soekarno, kelompok-kelompok Islam mendukung Soeharto dan membantu menganiaya lawan-lawan politiknya. Namun ketika rezim menjadi korup dan semakin otoriter, aliansi ini mulai runtuh. Pada tahun 1974, Zakaria bin Muhammad Amin diangkat sebagai anggota dewan dan menjabat hingga tahun 1986.[8] Menjelang pemilu legislatif tahun 1977, banyak orang mulai mencari pilihan lain selain Golkar yang didukung pemerintah.
Khawatir PPP akan memenangkan pemilu, Soeharto mempermainkan ketakutan masyarakat dengan meminta militer menangkap sekelompok orang yang mengaku terkait dengan Komando Jihad. Oleh karena itu, beberapa orang menjadi khawatir bahwa memilih PPP dan partainya yang berhaluan Islam berarti menyatakan dukungannya terhadap Komando Jihad. Dan dalam pemerintahan yang semakin otoriter, banyak yang menolak untuk dikaitkan dengan pihak yang salah. Golkar kemudian memenangkan pemilihan legislatif dengan 62% dan PPP berada di urutan kedua dengan 27% suara.
Namun PPP tidak tinggal diam dan menerima kekalahan. Pada Sidang Umum MPR tahun 1978, anggota PPP Chalid Mawardi melontarkan kritik pedas terhadap rezim Soeharto. Mawardi menuduh Pemerintah anti-Muslim, mengeluhkan tindakan keras yang dilakukan pemerintah terhadap perbedaan pendapat, dan menuduh bahwa Pemilu Legislatif tahun 1977 dimenangkan karena adanya kecurangan dalam pemilu.[9] Anggota PPP juga melakukan aksi mogok massal ketika Soeharto menyebut agama sebagai “aliran kepercayaan”.
PPP tampaknya semakin mengukuhkan statusnya sebagai partai oposisi terkuat. Namun hal itu tidak akan bertahan lama. Pada tahun 1984, NU, di bawah pimpinannya, Abdurrahman Wahid, menarik diri dari PPP, sehingga melemahkan partai. Perolehan suara PPP turun dari hampir 28% pada pemilu legislatif tahun 1982 menjadi 16% pada pemilu legislatif tahun 1987, PPP juga dipaksa oleh pemerintah untuk mengganti ideologi Islamnya dengan ideologi nasional Pancasila dan berhenti menggunakan simbol-simbol Islam. Akibatnya, partai tersebut mengganti logonya yang menunjukkan tempat suci Kabah di Makkah dengan bintang.[10] Elemen Nahdatul Ulama demikian kembali ke kancah politik nasional pada tahun 1999 sebagai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Suni (Solidaritas Umat Nahdliyin Indonesia), dan Partai Nahdlatul Ummah (PNU).[7]
Sidang Umum MPR 1988
Pada Sidang Umum MPR 1988, Ketua PPP Djaelani Naro dicalonkan sebagai wakil presiden. Soeharto, yang terpilih menjadi presiden untuk masa jabatan kelima pada Sidang Umum tersebut, melakukan intervensi. Ia mencontohkan keputusan MPR tahun 1973 yang salah satu kriteria seorang wakil presiden adalah bisa bekerja sama dengan presiden. Soeharto pun melakukan diskusi dengan Naro dan meyakinkannya untuk menarik pencalonan Naro.
Apa yang dilakukan Naro belum pernah terjadi sebelumnya karena baik Soeharto maupun wakil presidennya selalu terpilih tanpa lawan. Permasalahannya kali ini adalah pilihan Soeharto terhadap wakil presiden, Soedharmono. Pilihan Suharto telah menyebabkan perpecahan antara dirinya dan sekutu paling setianya, ABRI. Banyak anggota ABRI yang tidak menyukai Soedharmono karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya di belakang meja (Soedharmono adalah seorang pengacara militer) dibandingkan sebagai petugas lapangan. Melihat adanya celah yang bisa dieksploitasi, Naro mencalonkan dirinya mungkin dengan dukungan pribadi dari ABRI yang di depan umum telah menunjukkan dukungannya kepada Soedharmono.
PPP pada Masa Reformasi
PPP tetap menjadi partai terbesar kedua dari tiga partai yang diperbolehkan pada masa Orde Baru. Menjelang pemilihan legislatif tahun 1997, muncul fenomena Mega Bintang, dimana simpatisan PDI pro-Megawati Soekarnoputri bergabung dengan PPP untuk melawan Golkar.[11] Di masa kampanye Pemilu 1997, yang menonjol dari fenomena Mega-Bintang adalah berlangsungnya arak-arakan massa bersepeda motor di jalan-jalan dengan mengibarkan bendera PPP, atribut-atribut merah PDI-pro Megawati, foto Megawati, foto Mudrick Sangidu, serta atribut lain perpaduan merah dan hijau. Pemilu 1997 yang membuat kepercayaan diri PPP muncul lagi dengan peningkatan perolehan suara, hanya dirasakan sekejap saja.[7] Pada bulan Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya dan pemerintahan Orde Baru telah jatuh. PPP kembali ke ideologi Islamnya dan mempersiapkan diri untuk pemilihan legislatif tahun 1999, yang memenangkan 11% suara.
PPP seperti Golkar dan PDI setelah jatuhnya Soeharto juga mengalami perpecahan internal partai. Pada pemilu 1999, muncul pecahan pecahan PPP yang ikut berkontestasi. Mantan ketua PPP Djaelani Naro dan beberapa tokoh partai PPP mendirikan Partai Persatuan karena kecewa atas hasil Muktamar PPP 1998 yang menghasilkan Hamzah Haz sebagai ketua umum. Tujuan didirikannya Partai Persatuan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggembosi PPP, justru menampung kader PPP agar tidak lari ke partai lain. Banyaknya partai baru serta pergeseran ideologi dan tren elektoral membuat suara PPP turun. Menurut petinggi PPP Dimyati Natakusumah, seluruh partai Islam yang ada di Indonesia sejak 1999 adalah partai pecahan PPP.[12]
Pada Sidang Umum MPR 1999, PPP merupakan bagian dari Poros Tengah, yaitu koalisi politik partai-partai Islam yang dibentuk oleh Ketua MPR Amien Rais untuk melawan dominasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Sukarnoputri. PDI-P telah memenangkan pemilihan legislatif dan Megawati diperkirakan akan memenangkan kursi presiden. Namun, pada tahap ini MPR masih bertanggung jawab untuk memilih presiden dan wakil presiden, dan partai-partai Islam di Poros Tengah tidak menginginkan presiden perempuan. Sebaliknya, mereka mencalonkan dan berhasil mengamankan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Dalam pemilihan wakil presiden, Ketua PPP Hamzah Haz mencalonkan diri melawan Megawati dan dikalahkan.
PPP adalah sekutu politik Wahid pertama yang kecewa terhadapnya. Permasalahan utama PPP dengan Wahid adalah kunjungannya ke Israel dan kesan bahwa ia bersedia menjalin hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Hamzah Haz yang bertugas di Kabinet Persatuan Nasional sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, langsung mengundurkan diri dari jabatannya hanya sebulan setelah Wahid mengangkatnya. Banyak sekutu Wahid lainnya yang mengikuti dan pada bulan Juli 2001, PPP ikut serta dalam menyingkirkan Wahid dari kursi kepresidenan dan menunjuk Megawati sebagai presiden. Hamzah kemudian terpilih menjadi wakil presiden setelah mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Akbar Tanjung di pemilihan wakil presiden.
Pada tahun 2002, muncul gerakan untuk menggulingkan Hamzah Haz dari posisi ketua umum dengan alasan Hamzah tidak mampu mengelola posisi ketua umum dan Wakil Presiden secara efektif bersamaan. Gerakan ini dipimpin oleh Zainuddin M.Z., seorang pendakwah Islam dan ketua kepemimpinan pusat PPP. Zainuddin, bersama dengan anggota partai yang tidak puas, awalnya berencana untuk mendirikan partai baru bernama PPP Reformasi.[13][14] Upaya tersebut gagal dan pada tanggal 8 Januari 2002, Zainuddin secara resmi mengundurkan diri dari PPP dan mengumumkan pembentukan partai politik baru bernama PPP Reformasi pada tanggal 20 Januari 2002. Untuk mematuhi hukum pemilu yang melarang penggunaan nama dan simbol partai yang sudah ada, PPP Reformasi mengalami transformasi, menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR).
Pemilihan Umum 2004 dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
PPP memperoleh 8,1% suara pada pemilu legislatif tahun 2004, turun dari 10,7% perolehan suara pada tahun 1999, namun cukup untuk mempertahankan posisinya sebagai partai dengan perwakilan terbaik ketiga di legislatif, di belakang PDI-P dan Golkar. Dalam pemilihan presiden, PPP semula tidak memikirkan calon presiden pada pemilu presiden 2004. Mereka berharap Hamzah terpilih menjadi cawapres Megawati dan melanjutkan kemitraan Presiden/Wakil Presiden Megawati/Hamzah. Namun Megawati memilih Ketua NU Hasyim Muzadi sebagai cawapresnya.
PPP kemudian terus menunggu, masih berharap Hamzah Haz terpilih sebagai calon wakil presiden. Akhirnya, sehari sebelum pendaftaran calon presiden/wakil presiden ditutup, Hamzah maju dan menjadi calon presiden dari PPP.[15] Pasangannya adalah Agum Gumelar, yang menjabat Menteri Perhubungan pada Kabinet Megawati. Pencalonan Hamzah sebagai presiden tidak berhasil karena ia hanya memperoleh 3,1% suara dan berada di urutan kelima.
Pada bulan Agustus 2004, PPP mengumumkan bahwa mereka membentuk Koalisi Kebangsaan bersama dengan PDI-P, Golkar, Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Damai Sejahtera (PDS) untuk mendukung Megawati memenangkan pemilihan presiden melawan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun Yudhoyono akan muncul sebagai pemenang dan PPP akan membelot dari koalisi nasional ke kubu Yudhoyono. Mereka dihargai dengan diberi jabatan di kabinet.
PPP menyelenggarakan Muktamar Nasional ke-6 di Jakarta pada tanggal 30 Januari hingga 3 Februari 2007. Pada hari terakhir Muktamar, Suryadharma Ali muncul sebagai Ketua PPP baru menggantikan Hamzah. Suryadharma menjabat sebagai Menteri Negara Koperasi dan Usaha Menengah Negara pada Kabinet Presiden Yudhoyono. Ia mengumumkan akan tetap menjabat menteri sekaligus merangkap jabatan Ketua Umum PPP. Kepengurusan periode kepemimpinannya didampingi oleh Wakil Ketua Umum Chozin Chumaidy, Irgan Chirul Mahfiz (Sekretaris Jenderal), Suharso Monoarfa (Bendahara), Bachtiar Chamsyah (Ketua Majelis Pertimbangan Pusat), KH Maemoen Zubair (Ketua Majelis Syariah), dan Barlianta Harahap (Ketua Majelis Pakar).
Pemilihan Umum 2009
Pada pemilihan legislatif tahun 2009, partai ini menempati posisi keenam dengan perolehan 5,3 persen suara, dan meraih 37 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat.[16] Sepanjang pemilu, partai ini memperoleh suara dari para lelaki Muslim lansia di seluruh pedesaan dan perkotaan, di dalam dan di luar Pulau Jawa.[17]
Dalam pemilihan presiden, terjadi perbedaan dalam menentukan capres yang akan didukung. Ketua Majelis Pertimbangan Partai Bachtiar Chamsyah, yang juga berasal dari Parmusi, mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.[18] Padahal, pada saat yang sama, Ketua DPP PPP Suryadharma Ali tengah melakukan penjajakan dengan calon presiden lain dalam program PPP mendengar. Kondisi ini cukup menggambarkan keterbelahan dalam internal PPP.[19] Menurut Hasto Kristiyanto, PPP sempat menyatakan dukungan untuk bergabung dengan PDI-P dengan melakukan kerja sama politik, namun upaya tersebut dijegalkan oleh SBY.[20][21] Pada akhirnya, PPP mendukung pasangan SBY-Boediono pada 10 Mei 2009.[22] Suryadharma Ali kemudian dilantik sebagai Menteri Agama di Kabinet Indonesia Bersatu II sebagai perwakilan dari PPP.
Pemilihan Umum 2014 & Keretakan Partai
Pada pemilihan legislatif tahun 2014, PPP menargetkan mendapatkan 12% suara nasional[23] atau 13-15% suara di DPR.[24] Namun, PPP hanya bisa meraih 6.53% suara nasional dan sebanyak 39 kursi di DPR.[25] Konflik internal dalam menentukan calon presiden kembali terjadi menjelang pemilihan presiden 2014. Saat itu, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali hadir dalam kampanye Partai Gerindra di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 23 Maret 2014. Suryadharma Ali memberikan orasi dan dukungan kepada Prabowo Subianto.[19] Kehadiran Suryadharma Ali dalam kampanye Partai Gerindra dituding sebagai penyebab gagalnya PPP meraih target 12 persen suara dalam pemilu legislatif pada 9 April 2014. Pada 13 April 2014, sebanyak 26 dari 34 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP meminta Dewan Pimpinan Pusat PPP melaksanakan rapat pleno guna mendengarkan pertanggungjawaban Suryadharma Ali.
Tidak lama setelah permintaan pertanggungjawaban disuarakan, Suryadharma Ali pada 16 April 2014 menandatangani surat pemecatan untuk Wakil Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan lima unsur pimpinan DPW PPP. Suharso dipecat dengan alasan mengurus proses percalonan istrinya sebagai caleg, sementara lima unsur pimpinan DPP PPP tersebut dipecat karena mengurus pemilihan capres pada saat kader sedang memperjuangkan suara di pemilu legislatif.[19] Setelah pemecatan, Suryadharma mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo di kantor DPP PPP dan ditanggapi oleh Wakil Ketua Umum DPP PPP Emron Pangkapi yang menegaskan bahwa koalisi partainya dengan Gerindra adalah ilegal.[19] Untuk menyelesaikan masalah tersebut, PPP menggelar rapat pimpinan nasional pada 19-20 April 2014 yang melahirkan keputusan pemberhentian sementara Suryadharma Ali sebagai ketua umum.[19] Namun pada akhirnya, konflik internal berakhir dengan damai setelah Suryadharma meminta maaf[19] dan PPP secara resmi mendukung Prabowo Subianto pada 12 Mei 2014.[26] PPP sempat mengusulkan Suryadharma Ali sebagai calon wakil presiden Prabowo[27] namun Prabowo memilih Hatta Rajasa sebagai wakilnya.
Dualisme Kepemimpinan
Walaupun konflik internal dalam Pilpres 2014 berakhir dengan damai, konflik internal kembali terjadi[19] setelah Suryadharma Ali dinyatakan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana haji pada 23 Mei 2014.[28] Internal partai saat itu kembali mulai bergejolak terkait rencana pemberhentian Suryadharma sebagai ketua umum. Pada 10 September 2014, PPP memutuskan untuk memecat Suryadharma sebagai ketua umum[29] namun keputusan itu ditolak oleh Suryadharma.[19] Sebagai tindakan balasan, Suryadharma Ali memecat Emron Pangkapi, Suharso Monoarfa, dan Lukman Hakim Saifuddin, serta Sekretaris Jenderal PPP Muhammad Romahurmuziy (Romy) pada 12 September 2014.[30] PPP kemudian menyelenggarakan Muktamar VIII di Surabaya pada 15-18 Oktober 2014 dan menentukan bahwa Romy ditunjuk sebagai Ketua Umum baru.[31] Hasil muktamar tersebut disahkan oleh pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Joko Widodo melalui Surat Keputusan (SK) Menkumham Nomor M.HH.07.AH.11.01 Tahun 2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP PPP.[19]
Keputusan tersebut digugat oleh Suryadharma Ali yang menggugat hasil muktamar tersebut dan menyelenggarakan muktamar tandingan di Jakarta. Pada 2 November 2014, kubu Suryadharma Ali memilih Djan Faridz untuk menggantikan Suryadharma Ali.[32] Ketegangan ini meledak di ruang publik pada 2 Desember 2014. Mirip dengan peristiwa 27 Juli 1996,[19] masa yang mengatasnamakan kubu Romy geruduk kantor DPP PPP dengan tujuan merebut dan menguasai kantor tersebut.[33] Perebutan kantor DPP PPP berujung pada kesepakatan pemanfaatan kantor bersama-sama oleh kedua kubu.[34] Sejak 2015, kedua kubu tersebut melakukan upaya hukum demi memperoleh legitimasi.
Pada 25 Februari 2015, PTUN Jakarta mengabulkan gugatan Suryadharma Ali tentang pengesahan kepengurusan DPP PPP kubu Romy oleh pemerintah dengan hasil status Romy sebagai ketua umum PPP batal secara hukum dan Menkumham Yasonna Laoly melakukan intervensi internal partai.[35][36] Namun demikian, Kubu Romy menyatakan banding sehingga dualisme dalam internal PPP masih jauh dari selesai.[35] Harapan damai sempat mencuat dalam Muktamar Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) 13 Maret 2015, dimana Ketua Umum versi Muktamar Jakarta Djan Faridz dan Wakil Ketua Umum versi Muktamar Surabaya Emron Pangkapi hadir dan sepakat mengakhiri konflik internal tersebut.[37] Bahkan, kedua kubu tersebut mendukung pemerintahan Joko Widodo.[38][39] Namun hanya tiga hari berselang, kubu Djan Faridz kembali mendesak Yasonna Laoly untuk mematuhi keputusan PTUN.[40] Pada 26 Oktober 2015, Makhamah Agung RI menangkan gugatan Partai Persatuan Pembangunan kubu Djan Faridz.[41]
Menyikapi putusan MA, pemerintah mengesahkan kembali kepengurusan PPP hasil Muktamar VII Bandung tahun 2011, atau muktamar terakhir sebelum pelaksanaan muktamar oleh kedua kubu pada 2014. Kepengurusan ini juga memiliki wewenang untuk membentuk panitia penyelenggara muktamar atau muktamar luar biasa PPP. PPP akhirnya kembali melakukan muktamar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada April 2016.[42]Romy secara aklamasi dipilih sebagai ketua umum dalam pertemuan ini[43] namun kepengurusan PPP berdasarkan muktamar ini kembali digugat oleh PPP kubu Djan Faridz.[44] Pada 22 November 2016, PPP kubu Djan Faridz kembali memenangi gugatan yang diajukan ke PTUN.[45] Menkumham diperintahkan untuk membatalkan surat keputusan yang mengesahkan kepengurusan DPP PPP pimpinan Romy. Keputusan ini kembali direspons oleh PPP kubu Romahurmuziy dengan mengajukan banding. PPP pimpinan Romahurmuziy akhirnya memenangi banding terkait kepengurusan partai. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) pada Juni 2017 memutuskan untuk membatalkan putusan PTUN pada 22 November 2016 yang memenangkan gugatan PPP kubu Djan Faridz.[19] Ketegangan di antara kedua kubu berlanjut meskipun putusan banding telah dibacakan. Pada 16 Juli 2017, tragedi perebutan kantor DPP PPP kembali terulang. Pendukung kedua kubu terlibat bentrokan yang menyebabkan kaca gedung pecah dan seorang penjaga keamanan terluka.[46]
Memasuki tahun 2018, ketegangan di antara kedua kubu mulai mereda.[47]Humphrey Djemat menggantikan posisi Djan Faridz sebagai pemimpin sementara PPP kubu Muktamar Jakarta. Pada kepengurusan Humphrey, niat islah akhirnya dikemukakan.[48] Niat ini ditunjukkan dengan keputusan Humphrey untuk menemui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj. Humphrey, yang datang bersama Suharso Monoarfa, meminta Said Aqil untuk menjadi mediator islah di antara kedua kubu PPP. Niat islah ini secara resmi disampaikan oleh Humphrey pada 18 November 2018 dalam Musyawarah Kerja Nasional PPP kubu Djan Faridz. Dalam pertemuan ini, Humphrey dikukuhkan sebagai Ketua Umum PPP menggantikan Djan Faridz.[49] Niat islah tersebut dilontarkan karena konflik internal yang tidak kunjung selesai mengancam partisipasi PPP dalam Pemilihan Umum 2019.[50]
Pemilihan Umum 2019 dan Berakhirnya Dualisme
Pada Pemilu 2019, PPP kembali mengalami penurunan suara. PPP hanya dapat meraih 4,5 persen suara atau sebanyak 19 kursi di DPR.[51] Secara persentase, raihan suara ini adalah yang terendah sepanjang sejarah keikutsertaan PPP dalam pemilu.[19] Arah dukungan PPP terhadap calon presiden pilihan juga terpecah. Ketua Umum hasil Muktamar Jakarta Humphrey Djemat mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden[52][53] sementara Ketua Umum versi Muktamar Surabaya Muhammad Romahurmuziy mendukung Joko Widodo.[54] Secara resmi, PPP mendukung percalonan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin untuk Pilpres 2019.[55]
Menjelang Pemilu 2019, Ketua PPP versi Muktamar Surabaya Muhammad Romahurmuziy terjerat kasus dugaan suap jabatan di Kementerian Agama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.[56] Sebagai langkah untuk menyelamatkan partai, Romy resmi diberhentikan sebagai ketua umum PPP versi Muktamar Surabaya dan digantikan oleh Suharso Monoarfa.[57] Penetapan tersangka terhadap Romy menjadi peringatan keras proses alih generasi politik di Indonesia.[7]Suharso Monoarfa mengatakan pihaknya membuka pintu untuk bersatu atau islah dengan kubu PPP pimpinan Humphrey Djemat. Suharso pun mengaku telah bertemu Humphrey untuk membahas persoalan islah.[58]
Pada Desember 2019, DPP PPP menegaskan tidak ada muktamar islah karena kepengurusan PPP sudah resmi diakui negara.[59] Ketua Panitia Pengarah Mukernas V PPP Achmad Baidowi menyatakan jika kubu Humphrey Djemat ingin bergabung, mereka harus mengikuti hasil Mukernas V PPP dan ketentuan AD/RT yang ada.[60] Dualisme partai PPP pun berakhir dengan penyelenggaraan Muktamar IX PPP 2020 dengan Suharso Monoarfa ditetapkan sebagai Ketua Umum PPP[61] dan Djan Faridz kembali bergabung dengan kepengurusan PPP sebagai anggota Majelis Kehormatan Partai.[62]
Konflik Singkat & Pemilu 2024
Pasca konflik kubu Djan Faridz dan Romahurmuziy, konflik internal partai kembali terjadi. Hal ini berawal dari 15 Agustus 2022, dimana Suharso Monoarfa memberikan pernyataan kontroversial mengenai 'amplop' kiai.[63] Walaupun Suharso Monoarfa sudah meminta maaf, pernyataan ini dinilai kontroversial karena dianggap menghina kalangan pesantren dan para kiai hingga terjadi aksi protes yang meminta Suharso Monoarfa untuk mundur dari ketua umum PPP.[64][65][66] Pernyataan kontroversial ini juga ditentang oleh kader PPP karena dianggap bisa mengancam eksistensi partai untuk kontestasi pemilu 2024 dan kader PPP menuntut agar Suharso Monoarfa untuk mundur kalau tidak mau dipecat secara tidak terhormat.[67][68] Pada 3-5 September 2022, PPP menyelenggarakan musyawarah kerja nasional (Mukernas) di Serang, Banten yang menetapkan pemberhentian Suharso Monoarfa sebagai ketua umum dan pengangkatan Muhammad Mardiono sebagai pelaksana tugas ketua umum untuk sisa masa bakti 2020-2025.[69]Suharso Monoarfa justru melawan balik keputusan tersebut dan mengerahkan kader loyalis untuk membatalkan keputusan tersebut.[70] Pakar politik menilai konflik kali ini justru berbeda karena konflik sebelumnya berkaitan dengan arah politik sementara konflik diantara Suharso Monoarfa dan Muhammad Mardiono terjadi karena 'keseleo lidah' (slip of tongue) dan menilai konflik ini hanya berlangsung singkat.[71][72]
Pada pemilu legislatif 2024, untuk pertama kalinya suara partai PPP menurun secara signifikan dan akhirnya partai PPP tidak dapat lolos di DPR-RI. [80]
Identitas politik
Ideologi
Partai ini meyakini agama Islam mempunyai peran penting sebagai pedoman moral dan inspirasi dalam kehidupan berbangsa. Berkomitmen untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi, terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik serta upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Mendukung konsep sistem ekonomi kerakyatan, keadilan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, penguasaan negara terhadap sektor-sektor perekonomian yang mempunyai pengaruh pengontrolan terhadap hajat hidup orang banyak, peranan besar negara. perusahaan yang dimiliki, dan kemandirian ekonomi.[81]
^Al-Hamdi, Ridho. (2017). Moving towards a Normalised Path: Political Islam in Contemporary Indonesia. Jurnal Studi Pemerintahan (Journal of Government & Politics). Vol. 8, No. 1, February 2017. p. 53, pp. 56-57, p. 62.
^Aspinall, Edward; Fossati, Diego; Muhtadi, Burhanuddin; Warburton, Eve (24 April 2018). "Mapping the Indonesian political spectrum" (dalam bahasa Inggris). New Mandala. Diakses tanggal 2021-06-17.
^Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 (Indonesian Political Parties: Ideologies and Programs 2004-2009 Kompas (1999) ISBN979-709-121-X pp328-338
^Tempo magazine No. 0931/March 31-April 06, 2009, p. 20
^Hwang, Julie Chernov. (2014). “Patterns of normalization: Islamist parties in Indonesia”, in Quinn Mecham and Julie Chernov Hwang (Eds.), Islamist parties and political normalization in the Muslim world. Philadelphia:University of Pennsylvania Press. p.68.