Eno Farihah (6 Oktober 1997 – 13 Mei 2016), yang kemudian dikenal sebagai Eno Cangkul, dia adalah seorang buruh pabrik asal Serang, Banten, yang menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan dengan menggunakan gagang cangkul terhadap tiga pemuda, Rahmad Arifin, Imam Hapriyadi, dan Rahmat Alim (pacar korban). Peristiwa pembunuhan ini menjadikan salah satu peristiwa, yang paling banyak diperbincangkan media dan masyarakat Indonesia saat itu.
Kehidupan
Eno Farihah dilahirkan pada 6 Oktober 1997 di Kampung Bangkir yang berada di Pegandikan, Lebak Wangi, sebagai putri dan anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Arif Fikri (lahir 1963) dan Mahpudoh.[1] Ia bekerja sebagai buruh pabrik di PT Polyta Global Mandiri yang berada di Kosambi, Tangerang.[1]
Eno tidak hadir bekerja pada 13 Mei 2016, ketiga orang temannya mencoba menghubunginya namun tidak mendapatkan respon.[1] Mereka kemudian mendatangi kamar Eno di mes karyawan Polyta Global Mandiri yang berada di Jalan Raya Perancis Pergudangan 8 Dadap, Kosambi, dan mendapati kamar tersebut dalam keadaan terkunci dari luar.[1] Karena tidak memiliki kunci cadangan, mereka meminta bantuan dari seorang karyawan pria untuk mendobrak pintu kamar tersebut, dan mendapati Eno dalam keadaan tewas tanpa busana dengan dengan kondisi berlumuran darah dan vaginanya tertancap gagang cangkul.[1]
Ketiga temannya kemudian melaporkan kasus pembunuhan tersebut ke polisi yang kemudian melacak para tersangka pembunuhan melalui ponsel Eno yang dibawa oleh pelaku, dan melakukan penangkapan pada 14 Mei 2016.[1] Polisi mengamankan tiga orang pelaku yaitu Rahmat Arifin (lahir 1992), Imam Hapriadi (lahir 1992), dan Rahmat Alim (lahir 2000) yang merupakan kekasih dari Eno.[1]
Kejadian pembunuhan itu berawal pada 12 Mei 2016, ketika Rahmat Alim dan Eno yang baru berpacaran selama sebulan bertemu di dalam kamar Eno, dimana Rahmat Alim memaksa Eno untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya setelah mengobrol selama 30 menit.[2] Eno kemudian menolak ajakan tersebut karena takut dirinya akan hamil, Rahmat Alim kemudian merasa kesal dan pergi keluar kamar meninggalkan Eno sendirian untuk bertemu dengan Rahmat Arifin.[2] Rahmat Arifin kemudian menginterogasi Rahmat Alim mengenai tujuannya berada di tempat tersebut, ditengah percakapan itu datanglah Imam Hapriadi yang juga menginterogasi Rahmat Alim yang kemudian mengatakan bahwa dia berada di tempat itu dengan tujuan menemui Eno.[2] Mereka bertiga kemudian masuk ke kamar Eno dan mendapati dirinya sedang dalam keadaan tertidur dengan hanya menggunakan pakaian dalam, Imam kemudian membekap wajah Eno menggunakan bantal dan menyuruh Rahmat Alim untuk mencari pisau di dapur.[2] Karena tidak menemukan pisau di dapur, Rahmat Alim pergi keluar kamar untuk mencari benda lain selain pisau.[2] Rahmat Arifin kemudian memperkosa Eno yang dalam kondisi dibekap dan dipegangi oleh Imam, Rahmat Alim kemudian kembali ke kamar Eno dengan membawa cangkul dan memberikannya kepada Rahmat Arifin.[2] Namun Rahmat Alim menyuruh Rahmat Arifin untuk memukuli Eno dengan cangkul tersebut, dimana Imam menyuruh Rahmat Arifin untuk memukulkan cangkul tersebut ke bagian wajah dan leher Eno yang kemudian menyebabkan Eno mengalami luka terbuka.[2] Rahmat Alim kemudian pergi keluar kamar karena merasa geli dengan percikan darah dari Eno, namun kemudian ia kembali masuk untuk memastikan apakah Eno masih hidup atau sudah meninggal.[2] Disaat yang bersamaan, Rahmat Alim melihat bahwa kepala Eno sudah digulung menggunakan kain dengan kondisi masih bernafas.[2] Imam kemudian mengangkat tangan Eno yang dimana Rahmat Alim langsung menggigit payudara Eno, Rahmat Arifin kemudian menyuruh Rahmat Alim untuk memegangi kaki kanan Eno sampai berada dalam posisi mengangkang.[2] Rahmat Arifin kemudian menancapkan gagang cangkul kedalam vagina Eno sehingga menyebabkan Eno tewas, lalu Rahmat Alim mengambil ponsel milik Eno dan menuju ke kamar mandi untuk mencuci tangannya.[2] Setelah melakukan pembunuhan tersebut, mereka bertiga kemudian keluar dan menggembok kamar tersebut lalu pulang ke kediaman masing-masing.[2]
Respon dan persidangan
Hasil visum Eno yang dilakukan di RSUD Tangerang pada 14 Mei 2016 menunjukkan bahwa Eno tewas akibat luka luar dan dalam yang cukup parah diantaranya luka terbuka pada pipi kanan, luka lecet pada pipi kanan, memar pada bibir atas dan bawah, dan luka lecet pada leher.[3] Eno juga mengalami pendarahan yang parah akibat ditusuk menggunakan gagang cangkul, dan luka lecet serta memar di bagian dada akibat gigitan pada bagian payudara dari Rahmat Alim.[3] Tim medis juga menemukan bahwa Eno mengalami patah tulang pada pipi dan rahang kanan, serta luka terbuka yang menembus lapisan penutup rongga panggul.[3] Organ hatinya juga mengalami luka robekan hingga menembus ke rongga dada kanan, serta juga mengalami robeknya paru-paru kanan ditambah dengan pendarahan pada rongga dada sebesar 200 cc dan rongga perut sebesar 300 cc.[3] Jenazah Eno kemudian dimakamkan di Lebak Wangi, Serang, pada 14 Mei 2016.[4]
Dalam sidang yang diadakan di Pengadilan Negeri Tangerang pada 16 Juni 2016, Rahmat Alim divonis dengan hukuman maksimal untuk anak dibawah umur yaitu 10 tahun penjara.[5] Sedangkan Rahmat Arifin dan Imam Hapriadi divonis dengan hukuman mati dimana Rahmat Arifin dituntut dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan, sedangkan Imam dituntut dengan pasal 340 KUHP.[5]