Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Pepper v Hart


Pepper (Inspector of Taxes) v Hart [1992] UKHL 3 adalah keputusan House of Lords Britania Raya yang terkait dengan penggunaan sejarah legislatif dalam interpretasi undang-undang. Keputusan ini menetapkan asas bahwa ketika undang-undang bersifat ambigu, dalam keadaan tertentu pengadilan dapat merujuk pada pernyataan yang dibuat dalam House of Commons atau House of Lords untuk membantu interpretasi makna suatu undang-undang. Sebelum keputusan ini dirumuskan, tindakan semacam itu dianggap sebagai pelanggaran hak istimewa parlemen.[1]

Dalam kasus ini, Hart dan sembilan orang lain bekerja sebagai pengajar di Malvern College dan anak-anak mereka dapat belajar di lembaga tersebut dengan biaya hanya seperlima dari biaya murid pada umumnya. Inland Revenue mencoba memajaki konsesi tersebut berdasarkan Finance Act 1976. Kemudian muncul sengketa mengenai interpretasi undang-undang yang benar. Komisioner Khusus yang bertugas menaksir pajak mendukung Hart, namun High Court of Justice dan Court of Appeal Inggris dan Wales mendukung Inland Revenue. Kasus ini kemudian dibawa ke House of Lords dan mendukung Hart dengan menggunakan pernyataan parlemen seperti yang tercatat dalam Hansard. Lord Mackay menentang keputusan ini dan menyatakan bahwa Hansard sebaiknya tidak boleh diterima sebagai bukti karena waktu dan biaya yang diperlukan pengacara untuk melihat setiap perdebatan dan diskusi mengenai suatu undang-undang saat memberi nasihat hukum atau menyiapkan kasus.

Keputusan ini ditanggapi dengan baik dan juga menuai kritikan. Sementara para hakim dengan hati-hati menerima keputusan ini, beberapa akademisi hukum menyatakan bahwa keputusan ini melanggar peraturan mengenai bukti, merusak pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan parlemen, serta manambah biaya dalam penyelesaian kasus. Keputusan ini ditentang oleh Lord Steyn dalam ceramahnya pada 16 Mei 2000 yang berjudul "Pepper v Hart: A Re-examination". Semenjak Lord Steyn mengantarkan ceramahnya, penggunaan kasus Pepper mulai dibatasi oleh pengadilan; menurut Stefan Vogenauer, hasil dari perubahan tersebut adalah berkurangnya lingkup Pepper v Hart hingga keputusan tersebut hampir menjadi tak bermakna.[2]

Keputusan

Menurut keputusan ini, pengadilan boleh melihat sejarah legislatif untuk menginterpretasi suatu undang-undang bila:

  • Undang-undang bersifat ambigu atau tidak jelas atau dapat menyebabkan absurditas
  • Materi yang dipakai terdiri dari pernyataan oleh seorang menteri atau promotor rancangan undang-undang lainnya
  • Pernyataan yang dipakai untuk membantu interpretasi dirumuskan secara jelas

Kritik

Pernyataan House of Lord mengenai hak khusus parlemen diperiksa oleh Komite Gabungan Hak Khusus Parlemen yang merekomendasikan agar parlemen tidak membalas keputusan dalam Pepper v Hart, tetapi memperingati bahwa keputusan ini sebaiknya tidak menyebabkan pelemahan hak khusus parlemen lebih lanjut.[3] Akan tetapi, akademisi pada umumnya mengutuk keputusan ini dan pemikiran di baliknya. Akademisi Aileen Kavanagh mempertanyakan logika yang digunakan; House of Lords pada dasarnya menyatakan bahwa ketika seorang menteri membuat pernyataan mengenai tujuan dari suatu undang-undang yang tidak dipertanyakan oleh parlemen, pernyataan tersebut dapat digunakan sebagai bukti. Namun, terdapat banyak alasan mengapa anggota parlemen tidak mempertanyakan suatu pernyataan, dan diam bukan berarti menyetujui; misalnya, dalam kasus Finance Act, mungkin saja karena pernyataan tersebut tidak akan dimasukkan ke dalam undang-undang, mereka tidak memiliki alasan untuk menentangnya secara aktif.[4] Pada saat yang sama, masing-masing anggota parlemen memiliki alasan tersendiri dalam menyetujui suatu undang-undang. Fakta bahwa seorang menteri memberi beberapa alasan untuk memasukkan suatu pasal tidak menunjukkan bahwa parlemen setuju, tetapi bahwa parlemen juga merasa (untuk alasan apapun) bahwa pasal tersebut perlu dimasukkan.[5] Keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai pemisahan kekuasaan; para kritikus sering kali menekankan bahwa parlemen-lah yang dapat membuat undang-undang dan bukan eksekutif. Jika pengadilan menerima bahwa pernyataan yang dibuat oleh eksekutif dapat menentukan arti dari hukum tanpa perlu dimasukkan ke dalam undang-undang yang perlu disetujui oleh parlemen, hal ini melanggar prinsip pemisahan kekuasaan karena membiarkan eksekutif membuat hukum.[6]

Terkait dengan masalah-masalah ini, Kavanagh berargumen bahwa terdapat beberapa dampak. Pertama-tama, jika hakim mengganti teks suatu undang-undang dengan arti yang diberikan oleh seorang menteri di parlemen, terdapat risiko bahwa mereka akan mengatribusikan makna yang tidak didukung oleh anggota parlemen; interpretasi yang didasarkan pada pandangan para menteri lebih merefleksikan maksud dari eksekutif daripada parlemen. Kavanagh juga menyatakan bahwa hal ini dapat memengaruhi tindakan para menteri; daripada repot-repot menambahkan suatu klausus dalam undang-undang, mereka cukup membuat pernyataan di parlemen mengenai tujuan dari suatu undang-undang.[7] Kekhawatiran Lord Mackay bahwa keputusan ini dapat menambah biaya litigasi juga dipertimbangkan; berdasarkan kasus Pepper, setiap pengacara harus melihat semua perkataan yang diutarakan di parlemen untuk memastikan bahwa mereka memberi nasihat terbaik kepada klien mereka. Akademisi juga khawatir akan keterandalan Hansard sebagai sumber karena perdebatan mengenai undang-undang sering kali dilakukan di bawah tekanan yang besar.[8]

Keputusan ini juga bertentangan dengan kasus-kasus sebelumnya. John Baker menyatakan bahwa keputusan ini melanggar peraturan yang melarang penggunaan bukti tertulis untuk menginterpretasi suatu dokumen, kecuali bila bukti tersebut dapat ditemui di dokumen terkait.[9] Baker juga berargumen bahwa pernyataan menteri sebaiknya tidak digunakan sebagai bukti karena tidak relevan, dan bahwa tidak ada anggota parlemen yang berwenang untuk menyatakan apa tujuan dari satu undang-undang atau mewakili mayoritas yang diam terkait dengan hal tersebut. Menurutnya, satu-satunya pernyataan maksud bersama adalah teks yang disepakati oleh Ratu dan parlemen. Selain itu, pernyataan seorang anggota parlemen (baik seorang menteri maupun bukan) mungkin didasarkan pada pemahaman hukum yang salah.[10]

Catatan kaki

  1. ^ Littleboy & Kelly (2005) p. 1
  2. ^ Vogenauer (2005) hal. 635
  3. ^ Littleboy & Kelly (2005) hal. 3
  4. ^ Kavanagh (2005) hal. 98
  5. ^ Kavanagh (2005) hal. 99
  6. ^ Kavanagh (2005) p. 100
  7. ^ Kavanagh (2005) hal. 101
  8. ^ Kavanagh (2005) p. 102
  9. ^ Baker (1993) hal. 354
  10. ^ Baker (1993) hal. 356

Bibliografi

Sumber primer

Sumber sekunder

  • Baker, John (1993). "Statutory Interpretation and Parliamentary Intention". Cambridge Law Journal. Cambridge University Press. 52 (3). ISSN 0008-1973. 
  • Bates, T. (1995). "The Contemporary Use of Legislative History in the United Kingdom". Cambridge Law Journal. Cambridge University Press. 54 (1). ISSN 0008-1973. 
  • Bradley, Anthony Wilfred; Ewing, Keith (2007). Constitutional and administrative law (edisi ke-14th). Pearson Education. ISBN 1-4058-1207-9. 
  • Brudney, James J. (2007). "Below the Surface: Comparing Legislative History Usage by The House of Lords and The Supreme Court". Washington University Law Review. Washington University School of Law. 85 (1). ISSN 0043-0862. 
  • Davies, Denzil (1993). "Pepper v. Hart". British Tax Review. Sweet & Maxwell. 1993 (2). ISSN 0007-1870. 
  • Duff, David G. (1999). "Interpreting the Income Tax Act — Part 1: Interpretative Doctrines". Canadian Tax Journal. Canadian Tax Foundation. 47 (3). ISSN 0008-5111. 
  • Duff, David G. (1999). "Interpreting the Income Tax Act — Part 2: Toward a Pragmatic Approach". Canadian Tax Journal. Canadian Tax Foundation. 47 (4). ISSN 0008-5111. 
  • Dyson, Jacqueline (1990). "Pepper v Hart". British Tax Review. Sweet & Maxwell. 1990 (3). ISSN 0007-1870. 
  • Girvin, Stephen D. (1993). "Hansard and the Interpretation of Statutes". Anglo-American Law Review. Tolley Publishing. 22 (497). ISSN 0308-6569. 
  • Healy, Michael P. (1999). "Legislative Intent and Statutory Interpretation in England and the United States: An Assessment of the Impact of Pepper v Hart". Stanford Journal of International Law. Stanford University Press. 35 (231). ISSN 0731-5082. 
  • Jenkins, J.C. (1994). "Pepper v Hart: A Draftsman's Perspective". Statute Law Review. Oxford University Press. 15 (1). ISSN 0144-3593. 
  • Kavanagh, Aileen (2005). "Pepper v Hart and matters of constitutional principle". Law Quarterly Review. Sweet & Maxwell. 121 (1). ISSN 0023-933X. 
  • Klug, Francesca (1999). "The Human Rights Act 1998, Pepper v. Hart and all that". Public Law. Sweet & Maxwell. 43 (2). ISSN 0033-3565. 
  • Littleboy, Charlotte (2005). "Pepper v Hart" (PDF). Library of the House of Commons. Diakses tanggal 25 February 2010. 
  • Millett, Peter (1999). "Construing Statutes". Statute Law Review. Oxford University Press. 1999 (20). ISSN 1464-3863. 
  • Nyman, Bernard M. (1993). "Interpretation: courts may refer to Hansard as an aid to interpretation in ambiguous cases". Entertainment Law Review. Sweet & Maxwell. 4 (3). ISSN 0959-3799. 
  • Scott, Colin (1993). "Pricing offences and statutory interpretation after Pepper v Hart". Journal of Business Law. Sweet & Maxwell. 1993 (3). ISSN 0021-9460. 
  • Stallworthy, Mark (1993). "Construing Acts of Parliament in the United Kingdom: reference to Parliamentary debates – Pepper v Hart". International Company and Commercial Law Review. Sweet & Maxwell. ISSN 0958-5214. 
  • Steyn, Johan (2001). "Pepper v Hart; a re-examination". Oxford Journal of Legal Studies. Oxford University Press. 21 (1). ISSN 0143-6503. 
  • Styles, Scott C. (1994). "The Rule of Parliament: Statutory Interpretation after Pepper v Hart". Oxford Journal of Legal Studies. Oxford University Press. 14 (158). ISSN 1464-3820. 
  • Vogenauer, Stefan (2005). "A retreat from Pepper v Hart? A reply to Lord Steyn". Oxford Journal of Legal Studies. Oxford University Press. 25 (4). ISSN 0143-6503. 
Kembali kehalaman sebelumnya