Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Percobaan pada hewan

Tikus putih sering digunakan untuk uji coba hewan.

Percobaan pada hewan (bahasa Inggris: animal testing) merupakan kegiatan yang melibatkan hewan sebagai objek dari percobaan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan uji coba hewan antara lain eksperimen pada hewan, penelitian pada hewan, uji coba in-vivo dan vivisection. Uji coba hewan dilakukan pada penelitian dasar dan terapan (biomedis), pengujian obat-obatan, pengujian zat-zat biologis, serta bertujuan sebagai sarana pendidikan.[1] Hewan yang dapat dijadikan sebagai objek pengujian adalah hewan yang bebas dari mikroorganisme patogen, memiliki reaksi imunitas yang baik, kepekaan pada suatu penyakit, dan performa atau anatomi tubuh hewan percobaan dikaitkan dengan sistem genetiknya. Hewan yang banyak digunakan pada percobaan ialah mencit (Mus musculus) sekitar 40%, tikus putih (Rattus norvegicus), kelinci (Oryclolagus cunucilus), hamster, dan primata.[1][2]

Terdapat konsep 3Rs yaitu replacement (penggantian), reduction (pengurangan), dan refinement (perbaikan) sebagai parameter penggunaan hewan dalam penelitian.[1] Uji coba pada hewan perlu dilakukan sesuai etik antara lain cara memperoleh hewan percobaan, transportasi, perkandangan, kondisi lingkungan, makanan, perawatan, pengawasan oleh dokter hewan, dan teknik pelaksanaan uji coba dengan anastesi agar tidak menimbulkan rasa nyeri.[3]

Tujuan[4]

Berikut ini adalah beberapa tujuan dari dilakukannya animal testing yaitu sebagai berikut:

  1. Memastikan bahwa bahan baku yang digunakan dalam suatu produk benar-benar aman.
  2. Memastikan bahwa senyawa-senyawa yang digunakan dalam suatu produk tidak mempunyai efek fisiologis yang negatif terhadap jaringan tubuh manusia.
  3. Memastikan keamanan produk kosmetik yang digunakan.
  4. Mengetahui fototoksisitas (iritasi yang berhubungan dengan cahaya, biasanya terjadi setelah kulit dikenai cukup cahaya) bahan baku maupun produk terhadap kulit.
  5. Mengetahui potensi iritasi bahan baku atau produk terhadap kulit dan mata.
  6. Mengetahui komedogenitas kemampuan untuk merangsang tumbuhnya jerawat dan gangguan lain) pada kulit.

Teknis[4]

Biasanya hewan yang digunakan pada animal testing merupakan hewan utuh atau hanya bagian tertentu dari tubuh hewan tersebut. Namun demikian, tidak jarang juga hewan hidup sehat digunakan sebagai objek penderita. Berikut ini adalah salah satu contoh langkah-langkah animal testing untuk mengetahui potensi bahan atau produk dalam menimbulkan komedo/jerawat (comedogemity):

  1. Hewan yang digunakan dalam pengujian tersebut yaitu kelinci.
  2. Bahan atau produk yang akan diteliti diaplikasikan pada salah satu telinga kelinci sebanyak setengah mililiter. Sedangkan telinga lainnya sebagai kontrol.
  3. Uji coba ini dilakukan selama 5 hari dalam 1 minggu dan dilakukan selama 2 minggu berturut-turut.
  4. Setelah itu dilakukan observasi berdasarkan gejala yang muncul pada objek penelitian.

Larangan pengadaan[4]

Meskipun uji coba hewan ini memiliki tujuan yang baik berupa memastikan bahwa produk yang diproduksi dari suatu industri aman bagi kulit, tetapi beberapa negara melarang hal tersebut. Animal testing dianggap menjadi salah satu metode pengujian yang bertentangan dengan bioetika. Mereka mendorong supaya lembaga-lembaga penelitian menemukan metode pengujian yang lebih ramah dan beretika.

Pihak yang banyak menentang uji coba hewan yaitu Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup dan kelompok pecinta satwa. Seperti dimaklumi, uji coba hewan menggunakan hewan sebagai objek penderitanya.Tak jarang hewan yang digunakan dalam penelitian tersebut dibunuh guna menghindari interaksi terhadap hewan lainnya. Hewan-hewan yang biasanya digunakan dalam animal testing yaitu hewan-hewan pengerat seperti tikus, kelinci, dan marmut. Hewan-hewan tersebut diperoleh dari pembiakan atau penangkaran. Selain hewan pengerat, hewan-hewan dari kelompok karnivora dan primata juga sering digunakan dalam animal testing. Hewan golongan ini pada umumny amasih banyak yang diperoleh dari alam liar.

Ada beberapa alasan para penggiat LSM lingkungan hidup dan kelompok pecinta satwa melarang uji coba hewan untuk menguji keamanan produk:

  1. Hewan-hewan yang tidak bersalah harus menanggung efek samping penggunaan dosis bahan-bahan kimia yang digunakan dalam kosmetik pada animall testing.
  2. Hewan-hewan yang digunakan pada animal testing terkadang diperlakukan secara tidak layak. Bahkan tidak jarang juga kebutuhan nutrisi mereka diabaikan atau kurang diperhatikan.
  3. Bahan-bahan yang dinyatakan lolos melalui uji coba ini terkadang memberikan efek yang berbeda apabila diaplikasikan kepada manusia. Jadi, bahan yang dinyatakan aman pada saat animal testing belum tentu aman digunakan pada manusia, begitu pula sebaliknya.

Referensi

  1. ^ a b c Popa V. I., Lascar I., Valcu M., Ioana Teona Sebe, Caraban B., Arina Cristiana Margina (2015). "Bioethics in animal experimentation". ARS Medica Tomitana. 4 (21): 169–177. 
  2. ^ Intan Tolistiawaty, Junus Widjaja, Phetisya Pamela F. Sumolang, Octaviani (2014). "Gambaran Kesehatan pada Mencit (Mus musculus) di Instalasi Hewan Coba". Vektor Penyakit. 8 (1): 27–32. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-10. Diakses tanggal 2019-11-28. 
  3. ^ Hanafiah, M. Jusuf (1999). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC. hlm. 116–117. ISBN 979-448-459-8. 
  4. ^ a b c Muliyawan, Dewi dan Neti Suriana (2013). A-Z tentang Kosmetik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-02-1389-7. 
Kembali kehalaman sebelumnya