Rumah betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat diberbagai penjuru Kalimantan dan dihuni oleh masyarakat Dayak terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat permukiman suku Dayak.[1]
Di Kalimantan Barat, rumah betang biasa disebut rumah panjang, rumah radakng, atau rumah panjai. Di Kalimantan Tengah, ada yang menyebutnya lewu. Di Kalimantan Timur, ada yang menyebutnya lou atau lamin. Di Kalimantan Utara, rumah betang dikenal dengan lamin atau baloi. Sedangkan di Kalimantan Selatan di sebut Balai.
Ciri-ciri
Ciri-ciri Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang.[2] Panjangnya bisa mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter.[3] Biasanya Betang dihuni oleh 100-150 jiwa, Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu.[2] Bagian dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang bisa dihuni oleh setiap keluarga.[2]
Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah Betang atau rumah panjang haruslah memenuhi beberapa persyaratan berikut di antaranya pada hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam.[2] Hal ini dianggap sebagai simbol dari kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari terbit hingga terbenam.Semua suku Dayak, terkecuali suku Dayak Punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah betang/rumah panjang, yang lazim disebut Lou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante.[4] Betang memiliki keunikan tersendiri, keunikan dari rumah betang bisa dijelaskan sebagai berikut
Rumah betang bentuknya memanjang serta terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalam betang.[4] Tangga sebagai alat penghubung pada betang dinamakan hejot.[4] Betang yang dibangun tinggi dari permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang datang melanda.[4] Hampir semua betang dapat ditemui di pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan.[4]
Bangunan betang biasanya berukuran besar, panjangnya dapat mencapai Betang di bangun menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin, selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun, kayu ini juga anti rayap.[4]
Pada halaman depan betang biasanya terdapat balai sebagai tempat menerima tamu maupun sebagai tempat pertemuan adat.[4] Pada halaman depan betang selain terdapat balai juga dapat dijumpai sapundu.[4]Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk manusia yang memiliki ukiran-ukiran yang khas.[4] Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikurbankan untuk prosesi upacara adat.[4] Terkadang terdapat juga patahu di halaman betang yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.[5]
Pada bagian belakang dari betang dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu.[4] Pada betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong.[5] Pada bagian depan atau bagian belakang betang biasanya terdapat pula sandung.[4] Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal serta telah melewati proses upacara tiwah.[4]
Makna dan Nilai Rumah Betang
Rumah Panjang/Rumah Betang bagi masyarakat Dayak tidak saja sekadar ungkapan legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial serta sistem kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral kehidupan warganya.[4] Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; soal hubungan dengan sesama.[4] Dapat dikatakan bahwa rumah betang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Dayak.[4] Rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena disanalah seluruh kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan dari waktu ke waktu.[4]
Rumah betang memang bukan sebuah hunian mewah dengan aneka perabotan canggih seperti yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini.[4] Rumah betang cukuplah dilukiskan sebagai sebuah hunian yang sederhana dengan perabotan seadanya.[4] Namun, dibalik kesederhanaan itu, rumah betang menyimpan sekian banyak makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang unggul.[4] Tak dapat dimungkiri bahwa rumah telah menjadi simbol yang kukuh dari kehidupan komunal masyarakat Dayak.[4] Dengan mendiami rumah betang dan menjalani segala proses kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak menunjukkan bahwa mereka juga memiliki naluri untuk selalu hidup bersama dan berdampingan dengan warga masyarakat lainnya.[4] Mereka mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis sehingga mereka berusaha keras untuk mempertahankan tradisi rumah betang ini.[4] Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan setiap kepentingannya dengan kepentingan bersama.[4] Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya.[4]
Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat.[4] Apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat non-formal. Rumah betang menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak untuk membina keakraban satu sama lain.[4] Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan satu sama lain.[4] Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu atap.[4] Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara lisan kepada generasi penerus.[4] Dalam suasana kehidupan rumah panjang, setiap warga selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam memberikan petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu.[4] Kesempatan seperti itu juga terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.[4]
Kehidupan Komunal Di Rumah Betang
Rumah betang yang tersisa pada masyarakat Dayak merupakan contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan.[4] Kiranya perlu diungkapkan lebih jauh faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Dayak dapat mempertahankan rumah betang mereka.[4]
Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama secara berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya.[4] Mereka gemar hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha terus bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan bersama.[4] Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya.[4] Dengan mempertahankan rumah betang, masyarakat Dayak tidak menolak perubahan, baik dari dalam maupun dari luar, terutama perubahan yang menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan rohaniah dan jasmaniah mereka.[4]
Pola permukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-sumber makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan untuk berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni binatang buruan.[4] Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara bertahap sudah mulai berkurang.[4] Masyarakat Dayak telah mulai mengenal perkebunan dan peternakan.[4] Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga dan pada masyarakat.[4]
Seni Tradisional
Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat.[4] Apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non formal.[4]
Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni tradisional.[4] Kaum pria terampil dalam ngamboh (pandai besi), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus.[4]
Dalam kelompok yang relatif kecil lebih mudah bagi setiap warga untuk berusaha menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mereka dapat berguna dalam masyarakat, sebab apabila mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai mereka dianggap pemalas.[4]
Beberapa Aspek Penting Rumah Betang
Meski terbilang sangat sederhana dan jauh dari kesan mewah, rumah betang tetaplah menjadi hunian yang bernilai tinggi bagi masyarakat Dayak.[4] Oleh karena itu sangat penting kiranya bagi kita untuk mencermati lebih jauh pandangan masyarakat Dayak mengenai rumah betang yang tercermin dalam beberapa aspek berikut ini:[4]
Aspek penghunian. Rumah betang merupakan struktur multi-keluarga permanen dan terutama berfungsi sebagai tempat tinggal utama di samping rumah pondok di ladang.[4]
Aspek hukum dan hak milik. Rumah panjang mempunyai aspek kepemilikan yang jelas.[4] Terutama adalah hak kepemilikan semua keluarga secara bersama menguasai semua tanah diwilayah rumah panjang.[4] Hak wilayah rumah panjang merupakan hak sekunder, sedangkan hak primer dipegang oleh tiap-tiap keluarga atau kelompok keluarga kecil yang memiliki ikatan kekerabatan.[4] Rumah betang juga merupakan unit peradilan yang sangat penting.[4] Acap kali pertikaian antar anggota rumah betang dapat diselesaikan oleh tetua adat secara internal.[4] Satu hal yang menonjol adalah wewenang seseorang atau satu keluarga tertentu relatif kecil, yang jauh lebih penting adalah wewenang rumah panjang secara keseluruhan.[4] Hal itu disebabkan adanya egalitarisme yang kuat dalam masyarakat Dayak.[4]
Aspek ekonomi. Rumah panjang memegang peranan penting dalam distribusi arus tenaga kerja dan hasil kerja antar keluarga.[4] Pemakaian tenaga kerja tambahan dari keluarga lain, merupakan kunci dari sistem perladangan yang mereka jalankan.[4]
Bagian-bagian Rumah Betang
Berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan khusus dalam peletakan ruang pada Rumah Betang yaitu:[4]
Pusat atau poros bangunan di mana tempat orang berkumpul melakukan berbagai macam kegiatan baik itu kegiatan keagaman, sosial masyarakat dan lain-lain maka ruang los, harus berada ditengah bangunan.[4]
Ruang tidur, harus disusun berjajar sepanjang bangunan Betang.[4] Peletakan ruang tidur anak dan orang tua ada ketentuan tertentu di mana ruang tidur orang tua harus berada paling ujung dari aliran sungai dan ruang tidur anak bungsu harus berada pada paling ujung hilir aliran sungai, jadi ruang tidur orang tua dan anak bungsu tidak boleh diapit dan apabila itu dilanggar akan mendapat petaka bagi seisi rumah.[4]
Bagian dapur harus menghadap aliran sungai, menurut mitos supaya mendapat rezeki.[4]
Tangga. Tangga dalam ruangan rumah adat Betang harus berjumlah ganjil, tetapi umumnya berjumlah 3 yaitu berada di ujung kiri dan kanan, satu lagi di depan sebagai penanda atau ungkapan rasa solidaritas menurut mitos tergantung ukuran rumah, semakin besar ukuran rumah maka semakin banyak tangga.[4]
Pante adalah lantai tempat menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainnya.[4] Posisinya berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar.[4] Lantai pante terbuat dari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.[4]
Serambi adalah pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga.[4] Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarit halus menyerupai jumbai-jumbai ruas demi ruas.[4]
Sami berfungsi ruang tamu sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan warga yang memerlukan.[4]
Jungkar. Tidak seperti raungan yang pada umumnya harus ada.[4] Sementara Jungkar sebagai ruan tambahan di bagian belakang bilik keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah panjang atau adakalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang.[4] Jungkar ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang.[4] Jungkar yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.[4]