Token dagang Malaya Britania (merchant token of British Malay), dikenal pula dengan berbagai julukan seperti token dagang Singapura (Singapore merchant token), token dagang Hindia Timur Inggris (British East Indies merchant token), token tembaga Inggris (British copper tokens), dan sebagainya, adalah sekumpulan koin yang diterima sebagai alat tukar bernilai rendah di berbagai daerah Nusantara, terutama sekitar Selat Malaka, pada 1800an awal. Meski digunakan selayaknya uang, koin-koin ini dianggap sebagai "token" dan bukan "uang" dalam numismatik karena tidak dikeluarkan oleh otoritas keuangan negara manapun. Token ini diperkenalkan secara mandiri oleh saudagar Inggris yang beroperasi di sekitar Selat Malaka untuk meningkatkan suplai uang kecil. Meski tidak memiliki status resmi, dan peredarannya dilarang pada pertengahan abad 19, penggunaan koin ini menyebar cukup luas dan dapat ditemukan di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.[1]
Sejarah
Spesimen yang dipamerkan di Museum Uang Sumatera (dilabel sebagai Singapore Merchant Token).
Pada tahun 1600an, terdapat sejumlah mata uang yang beredar di Nusantara berkat jalur-jalur dagang internasional,[2] di antaranya koin yang dihasilkan oleh kerajaan lokal seperti Aceh, Jambi, Siak, Kesultanan Palembang, dan Banten, ditambah pula dengan koin Tiongkok. Namun pada paruh kedua abad 17 M, monopoli perdagangan Kompeni Hindia Belanda (VOC) mulai meningkat. Monopoli ini berpengaruh buruk pada jaring perdagangan serta ekonomi kerajaan-kerajaan lokal yang mulai menghentikan produksi uang masing-masing. Kecuali beberapa mata uang seperti Pitis Palembang yang terus diproduksi hingga 1800an awal, peran sebagian besar uang lokal semakin tergeserkan dengan uang keluaran asing seperti Belanda dan Spanyol.[3]
Memasuki 1800an, sebagian besar transaksi kecil di Nusantara difasilitasi oleh koin tembaga keluaran VOC yang dikenal sebagai Duit. Uang ini dicetak di Belanda kemudian diimpor ke Hindia Belanda.[4] Namun begitu, perdagangan di wilayah Selat Malaka yang berada dalam pengaruh Inggris memerlukan lebih banyak uang kecil untuk mendukung pertumbuhan ekonomi mereka sendiri.[5]Kompeni Hindia Timur Inggris (EIC) pernah mengeluarkan koin tembaga di Sumatra antar 1798 hingga 1804, namun koin tersebut hanya beredar dalam jumlah terbatas dan kurang populer.[6] Pada tahun 1826, Inggris menetapkan Rupee India sebagai satu-satunya mata uang resmi di wilayah jajahan Selat Malaka, namun Rupee juga sulit didapat dan kurang diterima oleh pedagang Nusantara sehingga berbagai mata uang asing (dari sudut pandang Inggris) terus digunakan.[7]
Untuk meningkatkan suplai uang kecil di wilayah mereka, perusahaan-perusahaan dagang di Singapura (yang baru didirikan pada tahun 1819) mulai memesan dan mengimpor koin tembaga mereka sendiri tanpa persetujuan pemerintahan. Hukum Inggris pada masa itu memperbolehkan percetakan pribadi untuk menghasilkan koin tembaga, dan token dagang Malaya Britania diduga dihasilkan oleh percetakan-percetakan di Manchester dan Birmingham. Setibanya di Singapura, token dagang ini digunakan selayaknya duit VOC (meski dihargai sedikit lebih rendah) kemudian menyebar ke berbagai tempat melalui jalur perdagangan. Berbagai desainnya menggunakan bahasa dan aksara lokal seperti Melayu, Bugis, dan Thai agar lebih mudah diterima oleh pedagang setempat. Diduga pada masa puncak produksi antar tahun 1841-1851, lebih dari 300 juta token dagang Malaya Britania diserap Nusantara melalui Singapura.[4][5][8]
Meski diterima oleh kebanyakan pedagang, keberadaan alat tukar yang seperti uang tidak resmi dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan Belanda di wilayah jajahannya. Keluhan dan tekanan diplomatik dari Belanda akhirnya mendorong pemerintahan Inggris pada tahun 1844 untuk menyita cetakan di Birmingham dan melarang produksi atau peredaran koin pribadi. Ini didukung pula oleh larangan peredaran yang dikeluarkan oleh EIC pada tahun 1848. Namun begitu larangan ini tidak mencakup sebagian token yang desainnya tidak menyerupai koin resmi manapun sehingga token tertentu, terutama yang bergambar ayam, terus dihasilkan dan diterima untuk waktu yang cukup lama di berbagai pelosok Nusantara.[4][5][1] Wilayah Sulawesi Tengah, misal, tercatat masih menggunakan token ayam hingga tahun 1928.[9] Peran token dagang berangsur-angsur digantikan oleh Dolar Selat di wilayah jajahan Inggris dan Gulden Hindia Belanda di wilayah jajahan Belanda.
Jenis
Rujukan yang membahas token dagang Malaya Britania memiliki sejumlah cara untuk mengklasifikasikan jenis-jenisnya. Namun patut diperhatikan bahwa koin bagal [en], yakni varian dengan kombinasi desain depan-belakang yang tidak "seharusnya," mudah ditemukan sehingga jumlah jenis yang tepat sulit diketahui. Ini juga menyebabkan angka tahun masehi dan hijriah di bagian depan-belakang koin kerap tidak selaras. Dengan mengabaikan sejumlah varian, Ellis (1895) membagi token dagang Malaya Britania ke dalam lima seri berdasarkan ciri utama dari gambar depan sebagaimana berikut:
Secara umum, harga token dagang dinilai lebih rendah dari mata uang resmi. Kadang, nilai tukar dapat dirujuk dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana terlihat pada sebuah tebak-tebakkan yang tercatat di masyarakat Palu, Sulawesi Tengah sekitar 1925:[11][12]
Seorang Belanda dan 40 orang Kaili diadukan, kedua pihak seimbang. Bagaimana bisa?
Karena 1 duit Belanda setara dengan 40 duit ayam.
Namun begitu, nilai tukar sangat bervariasi dari daerah ke daerah, bahkan dalam jarak yang relatif dekat. Sebagai gambaran, berikut adalah nilai tukar untuk token dagang bergambar ayam (dikenal sebagai doi manu) yang terdokumentasi di wilayah Pamona, Sulawesi Tengah pada tahun 1928:[13][9]
^Sultana di sini bermaksud Sumatra. Pelencengan kata Sultana kemungkinan disengaja untuk menghindari adanya tuntutan hukum.
^Tulisan C.R. Read yang berkuran kecil dapat terlihat pada pijakan ayam. Menurut Ellis (1835:147) ini adalah nama seorang saudagar di Singapura. Ellis mungkin merujuk pada Christopher Rideout Read, ayah dari saudagar William Henry Macleod Read [en] yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik Singapura antar tahun 1841 hingga 1887.
Kraneveld, Peter (March 1979). "Singapore Merchant Token". Numismatics International (dalam bahasa Inggris). 13 (3): 79-83.
Kruyt, Alb. C. (1929). "Raadsels en de dooden"(PDF). Feestbundel uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen bij gelegenheid van zijn 150-jarig bestaan 1778–1928 (dalam bahasa Inggris). Weltevreden: G. Kolf. 1: 383–392.
Reid, Anthony (March 1990). "Duit ayam (chicken coins)". Ecosea Newsletter (dalam bahasa Inggris). Canberra: Economic History of Southeast Asia Project, Research School of Pacific Studies, Australian National University (4): 5.