Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Tubuh kemuliaan Yesus

"Resurrection of Christ"karya oleh Noel Coypel, 1700, Yesus dengan tubuh kemuliaanNya.

Tubuh Kemuliaan Yesus adalah suatu konsep teologis yang diperlihatkan oleh Injil Yohanes. Tubuh kemuliaan Yesus adalah tubuh Yesus pada saat Ia menunjukan kemuliaan Allah dan juga menunjukan kemuliaan dirinya sebagai manusia. Injil Yohanes banyak memperlihatkan kisah penampakan Yesus setelah kebangkitan dalam bentuk fisik, tetapi juga menyatakan bentuk lain yaitu bentuk spiritual.[1] Tubuh kemuliaan menyatakan posisi teologis menurut Injil Yohanes, yakni bahwa Yesus telah memperbaiki hubungan yang rusak antara Tuhan dan manusia.[1] Tubuh kemuliaan yang utuh adalah bukti dari rekonsiliasi antara Tuhan dan manusia.[1] Konsep ini diangkat oleh Injil Yohanes guna menentang pemahaman dari aliran doketisme.[1] Dengan konsep tubuh kemuliaan, Yesus digambarkan tidak sekadar berwujud rohaniah saja sebagaimana dipercayai kaum doketis, melainkan benar-benar sebagai manusia yang utuh.[1]

Latar Belakang

Keunikan Injil Yohanes

Injil Yohanes oleh beberapa ahli dipandang sebagai Injil kemuliaan.[2] Hal ini dapat dilihat dengan jelas melalui isi injil tersebut, yakni penggunaan kata “doxa”, yang artinya kemuliaan, yang amat ditekankan dan sering dimunculkan oleh penulis injil ini.[2] Alasan mengapa injil ini ditulis dengan penekanan kepada kemuliaan adalah untuk menentang aliran-aliran yang ada pada masa injil ini ditulis, khususnya kaum Gnostik.[2] Kaum Gnostik amat menentang kemanusiaan Yesus karena melihat segala sesuatu yang bersifat jasmaniah sebagai buruk.

Kontra Doketisme

Istilah doketisme merupakan istilah yang berasal dari kata kerja Yunani dokein yang artinya: tampak, kelihatan, rupa.[2] Istilah ini dipakai untuk menunjuk kepada mereka yang mengedarkan Injil Petrus, salah satu kitab apokrif yang ditulis sekitar pertengahan abad kedua Masehi.[2] Aliran ini memiliki ajaran yang bervariasi mengenai Kristologi Yesus:

  • Basilides, salah satu tokohnya, berpendapat bahwa pada kisah penyaliban Yesus, orang yang disalib di kayu salib bukanlah Yesus melainkan Simon orang Kirene.[2]
  • Valentinus, tokoh yang lainnya, menyatakan bahwa Yesus yang diceritakan dalam Injil-injil itu hanya bersifat roh (tubuh bayangan) dam kelahiran Yesus tidak pernah terjadi. Dengan demikian, Yesus bukanlah manusia yang sungguh-sungguh.[2]

Doketisme merupakan salah satu aliran dari Gnostisisme yang ada pada saat itu.[2] Kehadiran Injil Yohanes adalah untuk membela pandangan yang menyatakan bahwa Yesus adalah manusia seutuhnya, yang ditentang oleh kaum Gnostik.[3] Dalam Injil Yohanes, Yesus dinyatakan bukan hanya sebagai manusia samar-samar, tetapi manusia sesungguhnya, walau ia juga digambarkan sebagai Tuhan.[2]

Logos menjadi daging

Di dalam pembukaan Injil Yohanes, diperlihatkan gambaran Yesus sebagai logos yang menentang kaum doketis. Di sana ditekankan bahwa logos telah menjadi daging, artinya Yesus adalah seorang manusia sejati.[3] Di ayat yang ke 14, kata “kai” ('dan') pada kalimat kai ho logos sarx egeneto mengindikasikan bagaimana Yesus adalah firman Allah yang selalu bersama Allah namun kemudian berinkarnasi menjadi manusia.[4]

Tubuh Kemuliaan

Keberadaan Yesus sebagai manusia oleh aliran doketisme merupakan bentuk perendahan dari sosok Tuhan, yang tidak mungkin terjadi.[2] Tuhan yang mulia tidak mungkin hadir sebagai manusia, maka dapat dikatakan hal yang dituntun oleh doketisme adalah masalah kemuliaan, bahwa Tuhan adalah sosok yang mulia yang tidak mungkin dan tak dapat ditunjukan oleh Yesus sebagai seorang manusia.[2] Maka dari itu, Yohanes menegaskan dalam prolognya dan dalam isi Injil tersebut, Logos yang menjadi manusia, melalui kemanusiaanNya memperlihatkan kemuliaan Allah.[3]

Kemuliaan

Pada Perjanjian Lama, kemuliaan Tuhan dihadapkan dengan sosok yang hebat yang dapat memunculkan hal-hal yang menajubkan dan dapat menunjukan kekuatan yang luar biasa, dan kemuliaan tersebut hanya dapat dilihat dan dirasakan oleh orang-orang tertentu saja, layaknya para Nabi.[2] Selain daripada itu, dalam Perjanjian Lama kemuliaan juga tidak hanya menampakan suatu yang hebat dan menimbulkan rasa terpesona tetapi juga sesuatu yang mengerikan yang datang daripada Tuhan.[2] Yesaya mengatakan, pada hari penghukuman Tuhan orang akan ngeri terhadap kedahsyatan Tuhan dan semarak kemegahanNya, yakni pada waktu ia bangkit menakuti-nakuti bumi (Yesaya 2:21).[2] Pada pernyataan itu, dengan jelas Yesaya mengatakan bahwa kedasyatan Tuhan tersebut penyebab orang merasa ngeri.[2] Lalu dalam kisah pernyataan Tuhan di gunung Sinai (Ul 5:24), dalam kisah tersebut kemuliaan Tuhan digambarkan dengan api yang dapat menghanguskan orang sehingga orang dilarang untuk memandangNya.[2] Kemuliaan Tuhan dihadapkan dengan suatu kengerian tetapi sekalipun demikian kengerian tersebut bukanlah hal utama yang diangkat dalam kemuliaan Tuhan yang dikatakan membawa kengerian itu, akan tetapi hal yang sebenarnya diangkat adalah bahwa kemuliaan yang mengerikan itu merupakan sebuah bukti kehadiran Allah di tengah umat-Nya.[2]

Kemuliaan Yesus

Yesus sebagai manusia yang utuh juga memperlihatkan kemuliaan itu. Menurut Yohanes, seluruh kehidupan Yesus adalah perwujudan kemuliaan Allah.[2] Kasamenn berpendapat Yesus bukanlah manusia pada umumnya, hal ini dapat dilihat melalui gambaran Kristologi yang dipaparkan oleh Injil Yohanes, bahwa Yesus adalah Firman yang menjadi daging yang memilki ketaatan yang tidak sama seperti manusia lainnya.[2] Ketaatan tersebut dapat terlihat paling besar ketika kisah Yesus berdoa di taman getsemani.[5] Ketaatan Yesus yang luar biasa yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia memperlihatkan Yesus sebagai sosok manusia yang mulia.[5] Tubuh Kemuliaan merupakan sebutan yang cocok, kepada Yesus yang menjadi tubuh itu.[5] Tujuan utama dari teologi Yohanes adalah Kristologi. Maka Kemuliaan juga diperlihatkan pada kepada Yesus.[5] Hal yang membuat kitab Injil Yohanes berbeda dengan kitab Injil lainnya adalah penekanannya atas kesatuan antara Allah dan manusia, suatu persatuan penekanan yang berarti suatu interpenetrasi keberadaan.[6] Keberadaan Yesus yang menjadi tubuh adalah keberadaan kemuliaan Allah yang hadir di dunia, maka dapat dikatakan tubuh yang menghadirkan kemuliaan Tuhan itu merupakan Tubuh kemuliaan.

Yesus yang baru bangkit, menampakan dirinya kepada Maria Magdalena dan Maria Ibu Yesus.

Mujizat-mujizat

Tubuh kemuliaan ini, identik juga dengan tanda atau mujizat yang dilakukan oleh Yesus, sebab seluruh mujizat yang Yesus lakukan selama masa pelayananNya adalah pernyataan kemuliaan Allah dan kemulian manusia.[2] Menurut Riga, penulis injil Yohanes menghubungkan konsep kemuliaan dengan tanda-tanda Yesus dengan maksud memproklamasikan kemuliaan Allah. Jadi saat Yesus melakukan mujizat-mujizatnya, ia menunjukan tubuh kemuliaan, karena pada saat itu Yesus sedang menghadirkan dan memproklamasikan kemuliaan Allah.[2] Menurut Kaseman, tanda-tanda Yesus adalah bukti kuasa ilahi dalam dunia yang dimanifestasikan melalui Yesus, tetapi belum secara utuh dinyatakan sampai pada penyaliban Yesus.[2] Maka dapat dikatakan bahwa tanda-tanda mujizat yang dilakukan oleh Yesus belum dapat memperlihatkan tubuh kemuliaan yang utuh, tubuh kemuliaan itu akan menjadi utuh sampai pada saat Yesus disalib.[2] Titik puncak dari kemuliaan itu adalah salib. Gagasan ini merupakan ciri Yohanes yang sangat kuat menekankan hubungan antara kematian dan kebangkitan Yesus, antara penderitaan dan pemuliaan Anak manusia.[2]

Tubuh kebangkitan

Kebangkitan adalah kehadiran sempurna Yesus.[7] Tubuh kemuliaan itu menjadi utuh pada saat Yesus menunjukan hasil ketaatanNya dalam menjalankan kehendak Allah.[7] Ketaatan Yesus yang paling besar yaitu ketaatan untuk membiarkan diriNya dan menerima diriNya disalibkan.[1] Tubuh kemuliaan itu akan menjadi utuh pada saat Yesus menampakan kemuliaan Allah yang besar pada diriNya melalui mujizat yang paling besar Ia tampakan.[1] Mujizat Yesus yang paling besar dari diriNya yaitu mujizat Ia bangkit dari kematian. Jadi tubuh kemuliaan yang utuh itu adalah tubuh kebangkitan.[1] Adapun berbagai penggambaran yang diberikan oleh Yohanes mengenai tubuh kebangkitan itu: Tubuh kebangkitan adalah tubuh lama yang diubah, bukannya penciptaan tubuh baru yang sama sekali berlainan.[8] Menurut Yohanes 20:25-29, tubuh kebangkitan Kristus juga mengandung bekas luka pada lambungNya ketika Ia sedang disalibkan.[8] Layaknya tubuh kebangkitan merupakan hasil kelanjutan dari tubuh Yesus yang ada sejak Yesus dilahirkan, kelanjutan tubuh yang banyak melakukan mujizat-mujizat pelayanan, kelanjutan tubuh yang melalui penderitaan yang hebat sewaktu disalib, kelanjutan tubuh dari tubuh yang telah mati dan telah berhasil bangkit dari kematian.[8] Tubuh kebangkitan Kristus mempunyai sifat materi yang dapat diraba dan dirasakan, contoh dalam Yohanes 20:17, rupanya Maria memeluk Dia erat-erat, sehingga mendorong Kristus berkata kepadanya” Janganlah engkau memegang Aku”.[8] Hal ini menunjukan gambaran dari tubuh kebangkitan sebagai layaknya tubuh normal yang dapat disentuh dan dapat dilihat, bukanya sosok roh atau tubuh bayang-bayang seperti yang diungkapkan oleh doketisme. Menurut Yohanes 20:22, tubuh kebangkitan Kristus mempunyai kesanggupan untuk bernapas dan dalam hal ini sesuai dengan sebuah tubuh biasa.[8] Hal ini menunjukan bahwa tubuh kemuliaan itu melakukan aktivitas tubuh seperti layaknya tubuh pada manusia biasa.[8] Keadaan bernapas menunjukan bahwa tubuh kemuliaan itu benar-benar tubuh yang hidup dan tubuh manusia yang utuh.[8]

Kebangkitan Lazarus

Kebangkitan Yesus dan Kebangkitan Lazarus

Ada pun kisah yang lain dari kebangkitan selain dari kebangkitan Yesus yaitu kebangkitan Lazarus. Kisah Lazarus adalah kisah seseorang yang telah mati dan telah dikuburkan tetapi dibangkitkan lagi, tetapi sekalipun demikian kisah Lazarus tersebut tidak menunjukan Lazarus sebagai tokoh yang memiliki tubuh kemuliaan yang serupa seperti Yesus.[9] Dalam kisah kebangkitan Lazarus, Yesus membangkitkan Lazarus tetapi sebagai manusia yang akan mati kembali. Tujuan dari kebangkitan Yesus dan kebangkitan Lazarus, sangatlah berbeda.[9] Yohanes layaknya ingin memaparkan kisah kebangkitan Lazarus sebagai bukti dari kemuliaan Tuhan yang ada pada Yesus.[9] Pada kebangkitan Lazarus, bukan menunjukan kemuliaan dari Lazarus tetapi menunjukan kemuliaan Yesus.[9] Layaknya kebangkitan Lazarus merupakan salah satu dari mujizat pelayanan yang Yesus lakukan.[9] Kebangkitan Lazarus adalah hasil dari perwujudan tubuh kemuliaan Yesus yang dapat melakukan mujizat.[9] Tubuh kebangkitan Lazarus ada karena ada tubuh kemuliaan Yesus. Tubuh kebangkitan Lazarus adalah bukti tubuh kemuliaan Yesus.[9]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h (Inggris) Riemer Roukema. Jesus, Gnosis and Dogma. 2010. New York: I and I Clark. Hal. 98-99.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x (Indonesia) Samuel Hakh. Melihat Kemuliaan Tuhan'. 2003. Jakarta:UPI. Hal. 17-83.
  3. ^ a b c (Indonesia) Road Sagala. Firman Menjadi Daging. 2009. Jakarta: Perkantas. Hal. 32-33.
  4. ^ (Inggris) Rudolf Schnackenburg. The Gospel According to Saint John. 1990. New York: Cross. Hal. 266.
  5. ^ a b c d (Indonesia) D. Guthrie. Yohanes dalam buku Tafsiran Alkitab Masa kini 3: Matius-Wahyu. 2008. Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Hal. 261-321.
  6. ^ (Indonesia) Linwood Urban. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. 2009. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 47.
  7. ^ a b (Indonesia) Guido Tisera. Firman Telah Menjadi Daging. 1992. Jogyakarta: Kanisius. Hal. 109.
  8. ^ a b c d e f g (Indonesia) John F. Walvoord. Yesus Kristus adalah Tuhan Kita (terj.). 1969. Surabaya:Yakin. Hal. 189-190.
  9. ^ a b c d e f g (Inggris) Andrew T. Lincoln. The Lazarus Story: A Literary Perspective dalam buku The Gospel of John and Christian Theology. 2008. United Kingdom: William B. Eermans Publishing Company. Hal. 216-237.
Kembali kehalaman sebelumnya