Lembaga arkeologi pemerintah pertama secara resmi dibentuk pada tahun 1913 dengan didirikannya Oudheidkundige Dienst di Nederlandsch-Indië (Dinas Arkeologi di Hindia Timur Belanda) di bawah Profesor Dr. N.J. Kromm.[3](hlm.5)
Selama periode awal penemuan arkeologis di Indonesia, dari abad ke-16 hingga ke-18, patung-patung kuno, candi, reruntuhan, dan situs arkeologi lainnya, serta artefak biasanya dibiarkan utuh, tidak diganggu oleh penduduk setempat. Hal ini terutama karena pantangan lokal dan kepercayaan takhayul yang menghubungkan patung dan reruntuhan kuno dengan roh-roh yang mungkin menyebabkan kemalangan.
Sebagai contoh, dua babad Jawa kuno dari abad ke-18 menyebutkan kasus-kasus nasib buruk yang terkait dengan "gunung arca-arca", yang sebenarnya merupakan reruntuhan dari monumen Buddhis Borobudur. Menurut Babad Tanah Jawi, monumen itu merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, seorang pemberontak yang memberontak melawan PakubuwonoI, raja Mataram pada tahun 1709.[5] Tercatat bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam "Babad Mataram" (atau "Sejarah Kerajaan Mataram"), monumen ini dikaitkan dengan kemalangan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1757.[6]
Contoh lain: kompleks Candi Prambanan dan Sewu dihubungkan dengan legenda JawaRoro Jonggrang; cerita rakyat yang menakjubkan tentang banyak jin yang membangun hampir seribu candi, dan seorang pangeran yang mengutuk seorang putri yang cantik namun licik menjadi sebuah patung batu.[7] Meskipun demikian, beberapa Keraton Jawa mengumpulkan artefak-artefak arkeologis, termasuk arca-arca Hindu-Budha. Sebagai contoh, Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Praja Mangkunegaran mengumpulkan artefak-artefak arkeologis dalam museum-museum istana mereka.[8] Di daerah-daerah di mana kepercayaan Hindu bertahan, khususnya Bali, situs-situs arkeologi seperti cagar alam Goa Gajah masih menjalankan fungsi keagamaan yang awalnya sebagai tempat suci peribadatan.[9]
Zaman Hindia Belanda
Studi arkeologi secara formal di Indonesia dimulai pada abad ke-18 di Batavia, ketika sekelompok intelektual Belanda mendirikan lembaga ilmiah bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, (Perkumpulan Seni dan Sains Batavia) pada 24April 1778.[10] Badan swasta ini mempunyai tujuan untuk memajukan penelitian di bidang seni dan ilmu pengetahuan, khususnya sejarah, arkeologi, etnografi dan fisika,dan mempublikasikan berbagai temuannya.
Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Jawa Britania (1811 sampai 1816) memiliki ketertarikan pribadi terhadap sejarah, budaya, dan masa lalu Jawa kuno, dan menulis The History of Java, yang diterbitkan pada 1817.[11] Pada masa pemerintahannya, reruntuhan candi kuno Borobudur, Prambanan dan Trowulan terungkap. Hal ini memicu minat yang lebih luas terhadap arkeologi Jawa. Sejumlah temple ruinsdisurvei, dicatat dan dikatalogkan secara sistematis untuk pertama kalinya. Namun, pada abad ke-19, lonjakan minat terhadap seni rupa Jawa kuno menyebabkan penjarahan situs arkeologi oleh "pemburu suvenir" dan pencuri. Periode ini menyaksikan pemenggalan kepala Buddha di Borobudur. Dari 504 arca Buddha kuno asli di Borobudur, lebih dari 300 diantaranya rusak (kebanyakan tanpa kepala), dan 43 hilang. Kepala Buddha Borobudur yang dijarah sebagian besar dijual ke luar negeri, berakhir di koleksi pribadi atau dibeli dan menjadi koleksi museum Barat.[12] seperti di Tropenmuseum di Amsterdam dan British Museum di London.[13]
Pada tahun 1901, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek van Java en Madoera, yang dipimpin oleh Dr J. L. A. Brandes.[4]Secara resmi diakui pada 14Juni 1913, dengan pembentukan Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië (Dinas Arkeologi Hindia Belanda), sering disingkan sebagai "OD", di bawah Profesor Dr. N.J. Kromm.[3](hlm.5) Kromm dianggap berjasa sebagai perintis yang mendirikan landasan organisasi studi arkeologi di Hindia Belanda. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap penemuan, eksplorasi, dan studi arkeologi dilakukan dan dicatat dengan benar dan sesuai dengan kaidah ilmiah arkeologi modern. Selama kepemimpinan Kromm, sejumlah jurnal, buku, dan katalog disusun dan diterbitkan yang secara sistematis mencatat temuan arkeologis di koloni tersebut. Beberapa pekerjaan pemugaran awal di reruntuhan candi di Jawe juga dilakukan pada periode ini.[3](hlm.5)
Tokoh Arkeologi Indonesia
Jan Laurens Andries Bandres
Para arkeolog meletakkan dasar bagi perkembangan arkeologi Indonesia, khususnya di bidang teks kuno.
Orang asal Belanda ini mempelajari bahasa Jawa Kuno dan prasasti sehingga memudahkan pengerjaan prasasti Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wettenschapen.
Tujuan Brandes adalah melindungi peninggalan budaya masa lalu, seperti naskah kuno istana.
F. D. K. Bosch
Sejak tahun 1914, ia ditugaskan untuk mengelola pemerintahan kolonial, menggantikan pendahulunya.
Tugas pertama adalah menyelesaikan pekerjaan pendahulunya, memperbaruinya dan mempublikasikannya. Di bawah kepemimpinannya, Bosch memperkenalkan arkeologi melalui gagasan-gagasan prasejarah, seni, arsitektur, budaya dan prasasti, sehingga arkeologi menjadi ilmu yang tiada tara dengan ilmu-ilmu lainnya.
R. Soekomo
Seokomo menjadi arkeolog pertama yang meraih gelar sarjana dan doktor bersama para arkeolog Belanda yang memimpin ekspedisi ke Sumatera.
Ia meyakini pada masa Sriwijaya, garis pantai Sumatera Timur berada di pedalaman. Kesibukannya sebagai peneliti arkeologi dan sejarah kebudayaan Indonesia tidak membuatnya melupakan ilmu akademis serta pengetahuannya tentang candi-candi yang ada di Indonesia.
Tantangan Arkeologi Indonesia
Tantangan utama dalam dunia arkeologi terletak pada bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan serta mengandalkan ideologi dan nilai - nilai ekonomi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial budaya di masyarakat.
Arkeologi diperlukan untuk menciptakan banyak produk ilmiah yang bersifat baik. Perubahan teknologi yang terus maju akan dipandang sebagai ilmu yang mengalami kemunduran. Persiapan hukum untuk pendidikan dan peningkatan kehidupan belum lengkap namun telah disesuaikan dengan dokumen. Menghadapi tantangan yang harus dilalui oleh arkeologi, maka pelestarian wisata budaya bahari menjadi pertimbangan untuk dikembangkan. Peningkatan tersebut akan mencapai puncaknya dan akan dijiwai dengan semangat kebangsaan.
Besarnya tuntutan terhadap kemajuan dan perkembangan pendidikan menjadi tantangan bagi arkeologi Indonesia di masa depan, yaitu terletak pada kemampuannya menghasilkan bahan bacaan bagi generasi muda yang cerdas. Kondisi ini telah menjadi tanggung jawab yang melekat pada organisasi arkeologi sejak didirikan.
^ abcSoejono (R. P.) (2006). Archaeology: Indonesian Perspective : R.P. Soejono's Festschrift. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, International Center for Prehistoric and Austronesian Studies (Indonesia), Penerbit Yayasan Obor Indonesia (dalam bahasa Indonesian). ISBN9789792624991. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-10. Diakses tanggal 2017-09-10.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^ ab"Sejarah Pusat Arkeologi Nasional". Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-10. Diakses tanggal 2017-09-10.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Rosi, Adele (1998). Museum Nasional Guide Book. Jakarta: PT Indo Multi Media, Museum Nasional and Indonesian Heritage Society. hlm. 4.
^Sir Thomas Stamford Raffles: The History of Java; Black, Parbury and Allen for the Hon. East India Company 1817; reprinted in the Cambridge Library Collection, 2010
^Hiram W. Woodward Jr. (1979). "Acquisition". Critical Inquiry. 6 (2): 291–303. doi:10.1086/448048.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)