Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Butakala

Patung-patung butakala di suatu galeri di Museum Kriya dan Kerajinan Tangan, New Delhi, India.

Butakala atau Buta (Dewanagari: भूत; ,IASTbhūta,bahasa Jawa: buto) adalah bangsa makhluk halus, biasanya dipercaya sebagai hantu orang meninggal, menurut kebudayaan dan sastra kuno di Tanah Hindia.[1] Tafsir dan penjelasan tentang asal-usul butakala berbeda-beda tergantung daerah dan masyarakat, tetapi biasanya mereka dipercaya sebagai arwah gentayangan yang sulit untuk melanjutkan perjalanannya (entah bereinkarnasi, mencapai nirwana, menuju surga atau neraka, tergantung kepercayaan masing-masing). Hal tersebut bisa disebabkan oleh kematian yang mengenaskan, dendam semasih hidup yang belum terselesaikan, atau bisa jadi karena kelalaian kerabat dalam melakukan upacara pemakaman/kremasi terhadap jenazah mereka.[1]

Beberapa kepercayaan tentang buta menyatakan bahwa mereka bukanlah makhluk jahat atau hantu, melainkan roh yang diistimewakan atau dihormati, baik berwujud manusia atau hewan, dan dapat bersifat ramah serta melindungi. Meskipun dipercaya bahwa mereka bisa mencelakai manusia apabila murka, mereka juga dapat didamaikan dengan sesajen atau persembahan yang disebut Bhuta Aradhana.[2]

Etimologi

Patung Butakala asal Bali, koleksi Tropenmuseum, Belanda.

Bhūta adalah suatu kata dalam bahasa Sanskerta yang dapat bermakna "masa lalu" atau "makhluk" (bahasa Inggris: being)[3] dan karena masih memiliki hubungan dengan salah satu akar kata yang tersebar luas dalam rumpun bahasa Indo-Eropa — yaitu *bheu/*bhu-, maka kata bhūta memiliki kata kerabat seirama dalam berbagai cabang rumpun bahasa tersebut, misalnya: bha dalam bahasa Irlandia, be dalam bahasa Inggris, but dalam bahasa Latvia, dan budan dalam bahasa Persia.[4][5]

Kata itu tersebar sampai Asia Tenggara, seiring dengan penyebaran agama Hindu-Buddha di Nusantara. Dalam bahasa Jawa, kata itu diserap sebagai buta (buto), dan sering dimaknai sebagai roh jahat atau makhluk raksasa yang menghantui suatu tempat, serta dapat mengacu kepada golongan makhluk menyerupai raksasa dalam kisah pewayangan, contohnya "Buta Cakil". Istilah tersebut juga mengalami perubahan makna dalam bahasa Melayu, digunakan untuk menyebut golongan makhluk sejenis jin sebagaimana yang termaktub dalam Sulalatus Salatin;[6] ada pula legenda bahwa makhluk semacam itu menghuni daerah sungai Perak dan sebuah mukim di utara semenanjung Melayu dinamai Bota berdasarkan makhluk tersebut.[7]

Referensi

  1. ^ a b Britannica; Dale Hoiberg; Indu Ramchandani (2000), Students' Britannica India, Volumes 1-5, Popular Prakashan, 2000, ISBN 978-0-85229-760-5, ... Bhut also spelt bhoot, in Hindu mythology, a restless ghost. Bhoots are believed to be malignant if they have died a violent of premature death or have been denied funerary rites ... 
  2. ^ "Museums of India - National Handicrafts and Handilooms Museum, New Delhi" (ISBN 0-944142-23-0) by Jyontindra Jain and Aarti Aggarwala.
  3. ^ Henk W. Wagenaar; S. S. Parikh; D. F. Plukker; R. Veldhuijzen van Zanten (1993), Allied Chambers transliterated Hindi-Hindi-English dictionary, Allied Publishers, 1993, ISBN 978-81-86062-10-4, ... bhūt भूत (m.) a ghost; an evil spirit; ... the past tense (also bhūtkāl भूतकाल); (adj.) past, bygone ... 
  4. ^ Leon Stassen (2003), Intransitive Predication: Oxford Studies in Typology and Linguistic Theory, Oxford University Press, 2004, ISBN 978-0-19-925893-2, ... one of the most wide-spread roots in Indo-European - namely, *bheu/*bhu-. This root, which can be found in practically all branches of the family ... Welsh bod, Irish bha, Scottish Gaelic ba; English be ... Latvian but ... Russian byt' ... Modern Persian budan; Vedic bhu- ... 
  5. ^ William H. Snyder (2001), Time, Being, and Soul in the Oldest Sanskrit Sources, Global Academic Publishing, 2001, ISBN 978-1-58684-072-3, ... derived in Sanskrit from the two verb roots (Indo-European *es- and *bheu-) ... bhūtam n. "being, creature" ... 
  6. ^ Ahmat Adam (2016). Antara Sejarah dan Mitos: Sejarah Melayu & Hang Tuah dalam Historiografi Malaysia. hlm. 104. ISBN 978-967-2165-93-4. 
  7. ^ Maxwill, Sir William George (1925). In Malay Forests. Edinburgh: William Blackwood and Sons. ISBN 978-1-177-61260-9. 
Kembali kehalaman sebelumnya