FOMO (akronim dari fear of missing out), takut ketinggalan kereta, takut ketinggalan bus, atau takut kudet merupakan perasaan cemas yang timbul karena sesuatu yang menarik dan menyenangkan sedang terjadi, sering disebabkan karena unggahan di media sosial.[1] FOMO didefinisikan sebagai rasa takut karena tertinggal atau tidak mengetahui peristiwa, informasi, atau pengalaman, dan orang lain mendapat pengalaman berharga dari sesuatu tersebut. Ditandai adanya keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan oleh orang lain.[2] FOMO juga terkait dengan rasa takut akan kehilangan kesempatan untuk mengambil peran dalam suatu peristiwa yang bisa meningkatkan popularitas.[3] FOMO terdiri dari dua komponen. Pertama, aspek takut kehilangan yang ditandai dengan perilaku untuk berusaha tetap terhubung dengan orang lain. Kedua, aspek sosial, yaitu FOMO yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memiliki dan pembentukan hubungan antarpribadi yang kuat.[4]
Sejarah
Fenomena ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1996 oleh ahli strategi pemasaran Dr. Dan Herman, yang melakukan penelitian untuk Adam Bellouch. Ia kemudian menerbitkan makalah akademis pertama tentang topik tersebut pada tahun 2000 di The Journal of Brand Management.[6] Dr. Dan Harmen juga percaya bahwa konsep tersebut sebenarnya telah berkembang pesat dan tersebar luas melalui penggunaan ponsel, SMS, dan media sosial. Beberapa hal tersebut juga membantu menyempurnakan konsep ketakutan akan kehilangan momen secara massal.[7] Sebelum adanya Internet, fenomena terkait seperti "mengikuti keluarga Jones", telah dialami secara luas. Fenomena FOMO menggeneralisasi dan mengintensifkan fenomena "mengikuti keluarga Jones" karena banyaknya kehidupan orang yang didokumentasikan secara publik dan mudah diakses. Hal yang menjadi sebab munculnya fenomena FOMO adalah kecenderungan umum untuk memposting pengalaman positif daripada yang negatif (kencan pertama yang buruk misalnya). Studi telah menemukan bahwa kemunculan fenomena rasa takut akan kehilangan momen memang berkaitan dengan kecemasan atau depresi.[2][8]
Penulis Patrick J. McGinnis menciptakan istilah FOMO[9] dan mempopulerkannya dalam op-ed tahun 2004 di The Harbus, majalah dari Harvard Business School. Artikel tersebut berjudul McGinnis' Two FOs: Social Theory at HBS, yang mana artikel ini juga merujuk pada fenomena terkait lainnya, yaitu Fear of a Better Option (FOBO), serta peran seorang siswa dalam kehidupan sosial sekolah.[10][11][12] Asal usul istilah FOMO juga dapat ditelusuri di artikel Harbus 2004 oleh seorang akademisi yang bernama Joseph Reagle.[13] Saat ini, istilah tersebut telah digunakan sebagai tagar di media sosial dan telah disebutkan dalam ratusan artikel berita, baik dari sumber dari seperti Salon hingga surat kabar cetak seperti New York Times.[7]
Gejala
Psiklogis
FOMO dikaitkan dengan efek psikologis negatif dalam suasana jiwa secara keseluruhan dan kepuasan hidup secara umum.[4] FOMO pada hari tertentu menyebabkan kelelahan yang lebih tinggi. Mengalami FOMO terus menerus sepanjang waktu juga dapat menyebabkan tingkat stres yang lebih tinggi. Seorang yang memliki rasa takut kehilangan juga dapat mengembangkan tingkat harga diri yang lebih rendah. Sebuah studi oleh JWTIintelligence menunjukkan bahwa FOMO dapat mempengaruhi pembentukan tujuan jangka panjang dan persepsi diri. Proses deprivasi relatif menciptakan FOMO dan ketidakpuasan.
Takut akan kehilangan momen sering dikaitkan dengan adanya kekurangan dalam kebutuhan psikologis.[14] Dalam teori penentuan nasib sendiri, orang-orang berpendapat bahwa kepuasan psikologis individu dalam kompetensi, otonomi, dan keterkaitan, terdiri dari tiga kebutuhan psikologis dasar bagi manusia.[15] Subjek uji yang memiliki tingkat kepuasan psikologis dasar yang lebih rendah dilaporkan memiliki tingkat FOMO yang lebih tinggi. FOMO juga sering dikaitkan dengan efek psikologi negatif yang ada dalam hati secara keseluruhan serta kurang terpenuhinya kepuasan hidup secara umum.[16] Sebuah penelitian yang dilakukan di kampus menemukan bahwa, apabila seseorang mengalami FOMO pada hari tertentu, maka orang itu dapat merasakan kelelahan yang sangat berat pada hari tersebut.[17] Seorang mahasiswa yang mengalami FOMO terus menerus sepanjang semester juga dapat mengakibatkan meningginya tingkat stres.[17] Seorang individu yang mengalami rasa takut akan kehilangan momen juga dapat membuat tingkat harga diri yang dimilikinya menjadi rendah.[18] Sebuah studi yang dilakukan oleh JWTIintelligence menunjukkan bahwa FOMO dapat mempengaruhi pembentukan tujuan hidup jangka panjang dan persepsi mengenai diri sendiri.[19] Dalam penelitian tersebut, sekitar setengah dari responden menyatakan bahwa mereka kewalahan oleh banyaknya informasi yang dibutuhkan untuk tetap up-to-date, dan tidak mungkin bagi mereka untuk tidak melewatkan sesuatu. Hal ini disebabkan karena proses deprivasi relatif dapat menciptakan FOMO serta ketidakpuasan. Hal ini juga yang bisa mengurangi tingkat kesehatan psikologis seseorang.[20] FOMO juga dapat menyebabkan pengalaman sosial dan emosional yang negatif, seperti kebosanan dan kesepian.[21] Sebuah studi pada tahun 2013 menemukan bahwa FOMO dapat berdampak negatif pada suasana hati dan kepuasan hidup,[17] mengurangi harga diri, serta mempengaruhi afeksi.[22] Empat dari sepuluh anak muda dilaporkan sering atau kadang-kadang mengalami FOMO.[19] FOMO ditemukan berkorelasi negatif dengan usia, meski di sisi lain, FOMO lebih sering ditemukan pada pria daripada wanita.[17]
Perilaku
Gejala dari ketakutan akan kehilangan momen yaitu adanya keinginan untuk mengetahui kegiatan orang lain secara terus-menerus.[23] Penderitanya tidak dapat melepaskan diri dari telepon genggam. Selain itu, timbul perasaan cemas jika belum mengecek akun media sosialnya. Gejala lain yang timbul adalah kecenderungan untuk berkomunikasi melalui media sosial dan adanya obsesi terhadap status dan postingan orang lain. Penderita ketakutan akan kehilangan momen juga akan cenderung membagikan informasi mengenai setiap kegiatan yang dilakukannya. Jika sedikit orang yang melihat informasi yang dibagikannya, ia juga akan mengalami depresi.[24]
FOMO berasal dari perasaan kehilangan koneksi sosial atau informasi. Keadaan seperti itu kemudian diikuti oleh kebutuhan atau dorongan untuk berinteraksi secara sosial guna meningkatkan koneksi. Rasa takut kehilangan tidak hanya menyebabkan efek psikologis negatif tetapi juga telah terbukti meningkatkan pola perilaku negatif. Rasa takut ketinggalan yang berasal dari koneksi digital berkorelasi positif dengan kebiasaan buruk terutama di kalangan anak muda. Kebiasaan negatif ini menyita peningkatan waktu nyala layar, memeriksa media sosial selama sekolah, atau mengemudi sambil mengirim SMS. Penggunaan media sosial di hadapan orang lain dapat disebut sebagai phubbing.[25]
FOMO dan media sosial
Perkembangan media sosial juga mempengaruhi fenomena FOMO.[26] Melalui media sosial, seseorang dapat melihat berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Adanya FOMO membuat seseorang termotivasi untuk sering membuka media sosial dan memeriksa interaksi dengan orang lain sesering mungkin.[3] Tujuannya agar terus terhubung dengan orang lain dan mencegah kehilangan pengalaman atau kesempatan yang berharga. Sebuah penelitian dalam Jurnal Psychiatry Research mengemukakan bahwa penggunaan telepon pintar dan media sosial yang bermasalah dapat memberikan pengaruh terhadap fenomena FOMO yang lebih besar pula, dan hal ini dapat dialami oleh semua orang di berbagai usia maupun jenis kelamin.[27]
Penyebab
Ketakutan akan kehilangan momen yang dialami oleh individu berkaitan dengan emosi, motivasi, dan perilaku dari penderitanya. Selain itu, ketakutan akan kehilangan momen juga berkaitan dengan kebutuhan psikologis.[28] Ketakutan akan kehilangan momen utamanya dipicu oleh pembaharuan kegiatan orang lain melalui media sosial.[29]
Varian
Kultural
FOMO sebagai fenomena sosial, memiliki varian budaya. Sebelum Amerika menemukan FOMO, Singapura lebih dulu mengenal istilah FOMO sebagai versi lain dari "kiasu", yang diambil dari dialkek China Hokkien, kiasu diartikan sebagai rasa takut kalah tetapi mencakup segala jenis perilaku kompetitif, pelit atau egois.[30]
Linguistik
Istilah FOMO mengilhami beberapa cabang seperti FOBO, FOMOMO, MOMO, FOJI, BROMO, NEMO, SLOMO dan JOMO.[3]
FOBO - berarti cemas dalam pilihan yang lebih baik - diciptakan oleh kapitalis ventura Amerika dan penulis Patrick James McGinnis saat dia masih menjadi mahasiswa di Harvard Business School.[31]
ROMO istilah yang diciptakan selama pandemi COVID-19 yang merupakan singkatan dari Reality of Missing Out. ROMO menggambarkan perasaan mengetahui bahwa Anda tidak kehilangan apa pun..[3]
FOMOMO merupakan singkatan dari Fear Of the Mystery Of Missing Out.[32] FOMOMO mengacu pada fenomena FOMO yang lebih ekstrim yang terjadi ketika perangkat seluler seseorang tidak dapat digunakan, mengakibatkan kecemasan yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk melihat apa yang hilang di media sosial.[32]
MOMO singkatan dari Mystery Of Missing Out, mengacu pada paranoid yang muncul ketika teman seseorang tidak memposting apa pun di media sosial yang mengakibatkan upaya untuk mengumpulkan apa yang mungkin terlewatkan.[33]
FOJI singkatan dari Fear Of Joining In, mengacu pada rasa takut memposting di media sosial dalam kekhawatiran bahwa tidak ada orang yang terhubung, mengikuti, atau berteman.[34]
BROMO mengacu padacontoh ketika teman seseorang (“bros”) melindungi dari kehilangan.[31]
NEMO singkatan dari Nearly but not fully Missing Out.[32] NEMO mengacu pada lingkuan orang-orang secara daring.[32]
SLOMO singkatan dari Slow to Missing Out, mengacu pada perasaan bertahap bahwa seseorang kehilangan[32]
JOMO singkatan Joy of Missing Out dan mengacu pada perasaan senang ketika kehilangan.[35] JOMO adalah keyakinan yang relatif positif bahwa memutus semua media sosial dan perangkat digital dapat membawa kebahagiaan.[31][32]
Dampak
Ketakutan akan kehilangan momen akan berdampak pada rendahnya kesejahteraan psikologis. Penderita ketakutan akan kehilangan momen cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang bernilai negatif. Hal ini karena ketakutan, kecemasan dan kekhawatiran yang ditimbulkannya membuat individu tidak mampu untuk menguasai lingkungan. Selain itu, individu juga menjadi tidak mampu menjalin interaksi sosial yang positif dengan orang lain dan tingkat penerimaan atas dirinya sendiri menjadi rendah.[36] Ketakutan akan kehilangan momen juga meningkatkan intensitas penggunaan media sosial. Peningkatan ini menandakan terjadinya kecanduan media sosial.[37]
^ ab"The History of FOMO". Boston Magazine (dalam bahasa Inggris). 2014-07-29. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-28. Diakses tanggal 2022-03-31.
^ ab"Fear of Missing Out (FOMO)"(PDF). web.archive.org. Maret 2012. Archived from the original on 2015-06-26. Diakses tanggal 2022-03-31.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)