Islam di Sumatera Barat adalah Islam Sunni. Orang Minangkabau, penduduk asli Sumatera Barat dan terdiri dari 88% penduduk Sumatera Barat saat ini, secara historis memainkan peran penting dalam komunitas Muslim di Indonesia.[1] Hingga saat ini wilayah tersebut dianggap sebagai salah satu benteng Islam di Indonesia. Islam adalah agama yang paling dianut di Sumatera Barat, sebuah provinsi di Indonesia, yang dianut oleh 97,42% dari seluruh penduduk. Populasi Muslim meningkat menjadi 99,6% jika tidak termasuk Kepulauan Mentawai, di mana mayoritas non-Muslim (Protestan) Sumatera Barat tinggal.[2]
Agama Islam pertama kali memasuki Sumatera Barat pada abad ke-7, di mana pada tahun 674 telah didapati masyarakat Arab di pesisir timur pulau Sumatra. Selain berdagang, secara perlahan mereka membawa masuk agama Islam ke dataran tinggi Minangkabau atau Sumatera Barat sekarang melalui aliran sungai yang bermuara di timur pulau Sumatra, seperti Batang Hari.
Perkembangan
Perkembangan agama Islam di Sumatera Barat menjadi sangat pesat setelah kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, yang berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatra. Sehingga pada abad ke-13, Islam mulai memasuki Tiku, Pariaman, Air Bangis, dan daerah pesisir Sumatera Barat lainnya. Islam kemudian juga masuk ke daerah pedalaman atau dataran tinggi Minangkabau yang disebut "darek". Di kawasan darek pada saat itu berdiri kerajaan Pagaruyung, di mana kerajaan tersebut mulai mendapat pengaruh Islam sekitar abad ke-14. Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat yang ada di sekitar pusat kerajaan dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha dan Hindu terutama sebelum memasuki abad ke-7.
Sejak abad ke-16, agama Islam telah dianut oleh seluruh masyarakat Minangkabau baik yang menetap di Sumatera Barat maupun di luar Sumatera Barat. Jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam atau murtad, secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau. Namun hingga akhir abad ke-17, sebagian dari mereka terutama yang ada di lingkungan kerajaan, belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam dengan sempurna dan bahkan masih melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Mengetahui hal tersebut, ulama-ulama Minangkabau yang saat itu disebut Kaum Padri dalam suatu perundingan mengajak masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung terutama Raja Pagaruyung untuk kembali ke ajaran Islam. Namun perundingan tersebut pada tahun 1803 berujung kepada konflik yang dikenal sebagai Perang Padri.
Perang Padri melibatkan sesama masyarakat Minang, yaitu antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Setelah 20 tahun konflik belangsung, pada tahun 1833 terjadi penyesalan di Kaum Adat[3] karena telah mengundang Belanda 12 tahun sebelumnya,[4] yang selain mengakibatkan kerugian harta dan mengorbankan jiwa raga, juga meruntuhkan kekuasaan Pagaruyung. Saat itu, Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol mulai merangkul Kaum Adat, dan terjadilah suatu kesepakatan di antara kedua pihak untuk bersatu melawan Belanda. Tidak hanya itu, Kaum Adat dan Kaum Padri juga mewujudkan konsesus bersama, yaitu "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat berlandaskan ajaran Islam, ajaran Islam berlandaskan Al-Qur'an).[5]
Demografi
Tempat ibadah
Menurut BPS Sumatera Barat (2016-2019), terdapat 4.974 masjid dan 12.444 musholla di Sumatera Barat. Berikut merupakan jumlah masjid dan musholla per kota/kabupaten di Sumatera Barat[6].
Islam menempati bagian inti identitas di kalangan masyarakat Minangkabau. Orang Minangkabau dianggap sebagai Muslim yang paling saleh dalam menjalankan ritual dalam Rukun Islam.[8] Sebagaimana dicontohkan oleh pepatah mereka Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah ("Adat berdasarkan ajaran Islam, ajaran Islam berdasarkan Al-Qur'an"), budaya Minangkabau dianggap menghubungkan langsung dengan ajaran agama Islam, di mana otoritas yang pertama ditopang oleh yang terakhir. Dengan demikian, meninggalkan Islam (murtad) dianggap sama saja dengan meninggalkan masyarakat Minangkabau secara lahir dan batin.[9]
Pendidikan
Surau adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang berasal dari sekitar wilayah Sumatera Barat dan Selatan, di gedung pertemuan untuk tujuan keagamaan, budaya, dan perayaan, mirip dengan Zawiya Arab.[10] Tradisi surau mendahului pendidikan Islam formal, yang menggunakan teori dan metode ortodoks yang dibawa dari luar negeri, dan dianggap memiliki akar pra-Islam, yang dapat ditelusuri kembali ke sebuah vihara yang didirikan di dekat Bukit Gombak pada tahun 1356 oleh Adityawarman.[11]
Tokoh Islam
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya.
Arsitektur
Masjid bergaya vernakular di Sumatera Barat dibedakan dengan atapnya yang berlapis-lapis yang terbuat dari serat yang menyerupai Rumah Gadang, bangunan tempat tinggal orang Minangkabau. Contoh masjid yang menonjol dengan desain vernakular Minangkabau adalah Masjid Bingkudu,[12] yang didirikan pada tahun 1823 oleh kaum Padri, dan Masjid Jami Taluak, yang dibangun pada tahun 1860. Lembaga keagamaan penting lainnya, surau juga sering dibangun dengan gaya vernakular Minangkabau, dengan tiga atau lima atap tingkat dan ukiran kayu di bagian depan.
^Abdullah, Taufik (1966). "Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau". 2 (2): 1–24. doi:10.2307/3350753.
^Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
^Jones, Gavin W.; Chee, Heng Leng; Mohamad, Maznah (2009). "Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira". Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 51. ISBN978-981-230-874-0.
^Keddie, Nikki R. (1987). Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East: Comparative Reflections. Journal of Social Issues in Southeast Asia. app.1
M.D. Mansoer et al. (1970). Sejarah Minangkabau. Jakarta, Bhratara.
Dobbin, Christine. (1992). Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847. Inis.
Jones, Gavin W. et al. (2009). Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies.
Hamka, (1967) Ayahku, Riwayat Hidup Dr H. Abd. Karim Abdullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta.
Dobbin, Christine (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. Curzon Press. ISBN0-7007-0155-9.
Ma'mur, Ilzamudin (1995). Abul Ala Mawdudi and Mohammad Natsir's Views on Statehood: A Comparative Study Montreal: McGill University. Retrieved 28 October 2011.