Kebo-Keboan merupakan salah satu upacara adat yaitu berubah menjadi kebo Banyuwangi.[2] Sesuai namanya, Kebo-Keboan dilakukan dengan berubah menjadi kerbau. Namun, kerbau yang digunakan bukan kerbau sungguhan, melainkan manusia yang berubah menjadi kerbau.[2] Dengan dikutuk oleh masyarakat. Upacara adat tersebut sudah adat sejak 300 tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-18. Kebo-Keboan biasa dilakukan di awal bulan Suro, penanggalan Jawa. Tujuan dari upacara adat ini adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, atas hasil panen yang melimpah dan merupakan doa, agar proses tanam benih untuk tahun depan dapat menghasilkan panen yang melimpah. Terdapat dua desa di Banyuwangi yang masih melestarikan tradisi Kebo-Keboan. Desa tersebut adalah Aliyan dan Alasmalang. Tujuan dan fungsinya sama, yang membedakan adalah alur penyajiannya. Di desa Aliyan seluruh ritual masih dilakukan secara aturan adat, sedangkan Kebo-Keboan di desa Alasmalang merupakan imitasi yang dilakukan dengan tujuan pariwisata. Kerbau mempunyai simbol sebagai tenaga andalan bagi petani. Binatang kerbau merupakan binatang yang lekat dengan kebudayaan agraris. Dalam kehidupan agraris, kerbau dan sapi, merupakan binatang yang membantu petani dalam mengolah lahan sawahnya. Bahkan dalam mengolah sawah kerbau dianggap lebih kuat daripada sapi. Binatang kerbau di berbagai wilayah di Indonesia menjadi binatang penting dalam ritual adat.
Dari asalnya kebo kenanga ini sangat lah istimewa dalam tradisi Banyuwangi
Sejarah
Legenda tentang upacara adat Kebo-Keboan berasal dari kisah Buyut Karti yang mendapat wagsit untuk menggelar upacara bersih desa,[4] dengan tujuan agar bisa menyembuhkan wabah penyakit di Desa Alasmalang.[5] Penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan oleh kekuatan manusia. Bila terkena penyakit di malam hari, maka paginya akan mati. Selain wangsit tersebut, para petani juga diminta agar menjelma menjadi seperti kerbau. Hingga akhirnya upacara adat tersebut menjadi sebuah kebiasaan dan dianggap menjadi kearifan lokal di desa tersebut.[5] Bila melihat sejarah upacara Kebo-Keboan sudah ada sejak abad 18. Upacara adat ini pada zaman dahulu merupakan sebuah media untuk melestarikan tradisi luhur. Pada tahun 1960 tradisi ini mulai jarang dilaksanakan. Setelah reformasi tradisi kebo-keboan muncul kembali di Desa Alasmalang. Inisiator kembalinya Kebo-Keboan di masyarakat atas bantuan Sahuni. Selain di desan Alasmalang, tradisi ini juga berkembang di desa Aliyan.
Mbah Muradji (75) merupakan pelestari Tradisi Kebo-keboan di Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi. Saat ditanya kapan alasannya aktif melestarikan tradisi kesenian tersebut, Dia menjelaskan bahwa, Tradisi yang dijalaninya sejak tahun 1960 ini merupakan warisan budaya turun temurun dari Kakek Buyutnya yaitu Buyut Karti (alm) yang merupakan pendiri tradisi kebo-keboan di daerah tersebut pada awal Abad 18 Masehi.
"Pada saat Tahun 1994, Saya menjadi perwakilan Kabupaten Banyuwangi dalam Pekan Budaya Jawa Timur, yang saat itu berlokasi di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dalam ajang Nasional tersebut Alhamdulillah saya mampu membanggahkan Kabupaten Banyuwangi dengan berhasil masuk sebagai 10 Besar Budaya Lokal Terbaik Seluruh Indonesia." Lanjutnya dengan menunjukan foto saat melakonkan kebo-keboan.
Makna tradisi Kebo-Keboan berkaitan juga dengan ajaran Hindu dan Budha.[6] Di dalam kitab Purana, tokoh Dewi Durga digambarkan mempunyai tangan delapan. Tangan kanan berjumlah empat dengan posisi memegang cakra berapi, sara, serta seekor kerbau. Tangan kiri juga berjumlah empat, masing-masing memegang sangkha, dua pasa, dan rambut asura. Tangan kanan melambangkan kebajikan atau kebaikan yang diartikan sebagai penguasa tanaman dan kesuburan. Hal ini dilambangkan oleh seekor kerbau atau Sang Hyang Nandini, sedangkan tangan kiri sebagai lambang angkara murka, pembinasa asura, dan menguasai berbagai penyakit menular. Oleh karena Kebo-Keboan masih berkaitan dengan kerjaan Blambangan, pemilihan kerbau sebagai media dalam upacara adat merupakan simbol kebaikan bagi rakyat, khusunya dalam bidang pertanian.
Penyajian
Penyajian di Desa Alasmalang
Tradisi Kebo-Keboan di Alasmalang berfungsi sebagai daya tarik pariwisata.[2] Oleh karena itu penyajiannya banyak melalui proses modifikasi. Alur pelaksanaan upacara adat Kebo-Keboan di desa Alasmalang adalah sebagai berikut: pertama[2], melaksanakan syukuran dengan melakukan makan bersama di sepanjang jalanan desa. Sajian makanan terdiri dari 12 tumpeng dan lauk pauknya. Angka dua belas pada tumpeng melambangkan jumlah bulan pada satu tahun. Tumpeng tersebut dilengkapi dengan jenang Sengkolo sebanyak lima porsi. Angka lima pada porsi jenang Sengkolo merupakan simbol dari jumlah hari pasaran dalam kalender Jawa. Selain jenang Sengkolo, ada juga jenang Suro sebanyak tujuh porsi. Angka tujuh melambangkan jumlah hari dari satu minggu. Selain melakukan syukuran, para pawang adat melakukan meditasi di tempat-tempat yang diaggap keramat. Tempat-tempat tersebut di antaranya, Watu Laso, Watu Gajah, dan Watu Tumpeng. Kegiatan Kedua[2], mengarak tiga puluh manusia kerbau mengelilingi empat penjuru desa yang dipimpin oleh tokoh adat. Di setiap penjuru desa sudah disiapkan sesaji sebagai simblol peolak bala. Kegiatan arak-arakan tersebut biasa disebut ider bumi. Dalam kegiatan ider bumi, tokoh yang menjadi manusia kerbau yaitu para petani. Gerakan yang dilakukan menyerupai kerbau yang sedang membajak sawah. Selain asesoris tanduk, di pundak manusia kerbau juga dipasang peralatan untuk membajak. Di belakang arak-arakan manusia kerbau, ada sebuah kereta yang terbuat dari berbagai hasil bumi. Kereta tersebut adalah kendaraan yang digunakan oleh Dewi Sri, yang melambangkan dewi padi dan dewi kesuburan. Kegiatan ketiga[2], diakhiri dengan penanaman benih padi oleh manusia kerbau, yang diharapkan bisa memberikan panen yang melimpah. Selain itu, tokoh yang mempunyai peran sebagai Dewi Sri, mempunyai tugas untuk membagikan benih padi tersebut.
Penyajian di Desa Aliyan
Tradisi Kebo-Keboan di desa Aliyan masih kental dengan aturan adat yang terstruktur. Alur pelaksanaa upacara adat Kebo-Keboan di desa Aliyan adalah sebagai berikut: pertama[7], tahap persiapan dengan memasang umbul-umbul di sepanjang jalan desa. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa desa Aliyan akan melaksanakan tradisi Kebo-Keboan. Selain memasang umbul-umbul, masyarakat juga mendirikan gapura yang terbuat dari bambu sebagai pertanda pintu masuk daerah dilaksanakannya upacara adat. Masyarakat memberi nama gapura tersebut dengan istilah lawang kori atau pura bungkil. Kegiatan kedua[7] adalah membuat kubangan. Posisi kubangan disesuaikan dengan rute arak-arakan ider bumi. Makna kubangan melambangkan tempat persemaian padi tumbuh menjadi tanaman padi dan menghasilkan bulir padi sebagai tanaman panganyang penting bagi manusia. Kegiatan ketiga[7] membuat gunungan hasil bumi. Gunungan hasil bumi ini diisi oleh buah-buahan dan hasil bumi lainnya yang melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di desa Aliyan. Kegiatan keempat[7], yaitu ider bumi. Di mana para manusia kerbau diarak ke seleruh desa, sesuai rute yang telah dibuat. Dalam kegiatan ider bumi diperlukan singkal sebagai alat yang melekat dan menyatu dengan kerbau dan menjadi simbol petani ketika bekerja di sawah. Kegiatan kelima[7], diakhiri dengan ngurit. Pada kegiatan ini ada tokoh yang bernama Dewi Sri bertugas memberikan benih kepada ketua adat yang selanjutnya diberikan kepada masyarakat agar ditanam.
Referensi
^Bangun Saputro, Wisnu (29/02/2020). "keboan_Alasmalang,_Banyuwangi._07.jp". keboan_Alasmalang,_Banyuwangi._07.jp. Diakses tanggal 29/02/2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date=, |date= (bantuan)