Kematian dengan cara direbus adalah sebuah metode penghukuman mati dimana orang dibunuh dengan cara direbus dalam cairan seperti minyak atau air mendidih. Meskipun tidak seumum metode penghukuman mati lainnya, merebus sampai mati digunakan di beberapa bagian Eropa dan Asia.
Penggunaan
Penghukuman mati jenis ini sering kali dilakukan menggunakan wadah besar seperti kaldron dan cerek bersegel yang diisi dengan cairan seperti air, minyak, tar, atau tallow, dan sistem katrol.[1]
Kematian dalam kasus ini disebabkan karena kulit yang melepuh yang disebabkan oleh cairan panas (air atau minyak).[2] Luka-luka bakar akan terbentuk di lengan, batang tubuh dan lutut. Pemanasan berkepanjangan akan mengakibatkan luka bakar tingkat empat di kulit. epidermis dan dermis hancur, yang berujung pada pecahnya lapisan lemak.
Praktik dalam sejarah
Eropa
Pada 1532 di Inggris, Henry VIII menjadikan perebusan sebagai bentuk penghukuman mati. Hukuman tersebut mulai digunakan untuk para pembunuh yang menggunakan racun setelah koki Uskup Rochester, Richard Roose, memberikan beberapa orang bubur beracun, yang mengakibatkan dua orang meninggal pada Februari 1531.[3] Ia kemudian diadili dan dihukum dengan cara direbus sampai mati tanpa pendampingan rohaniwan.[4]
Di kota Belanda Deventer, cerek yang digunakan untuk merebus para penjahat masih dapat dilihat.[5]
Asia
Di Jepang pada abad ke-16, bandit Jepang semi-legenda Ishikawa Goemon direbus hidup-hidup dalam sebuah tempat permandian berbentuk cerek besi besar.[6] Pengeksekusian publiknya, yang disaksikan seluruh keluarganya, dilakukan setelah ia gagal membunuh panglima perang Toyotomi Hideyoshi.
Pada 1675, seorang martirSikh yang bernama Bhai Dayala direbus sampai mati di Delhi setelah ia menolak masuk Islam. Ia kemudian ditempatkan dalam sebuah kaldron yang dipenuhi air dingin yang kemudian dipanaskan sampai titik didih. Naskah-naskah Sikh menyatakan bahwa Dayala menyebut Japji dari Guru Nanak dan Sukhmani dari Guru Arjan saat ia meninggal.[7]
Penggambaran budaya Barat
Laporan-laporan awal menyatakan bahwa kanibal dari kepulauan Pasifik, seperti Fiji atau Papua Nugini, membunuh para misionaris Kristen barat dengan cara merebusnya hidup-hidup.[8] Pernyataan tersebut menjadi dasar bagi para pembuat film dan khususnya kartunis untuk membuat gambaran dimana para wisatawan atau misionaris duduk di sebuah kaldron besar di atas kayu bakar dan dikelilingi oleh suku-suku pedalaman yang hidungnya ditusuk tulang. Gambaran tersebut menjadi populer di majalah-majalah dan film-film selama berdekade-dekade. Contohnya meliputi adegan mimpi dalam film Bagdad Café.[9]
^Kesselring, K.J. (Sep 2001), A Draft of the 1531 'Acte for Poysoning', The English Historical Review Vol. 116, No. 468, hlm. 894–899, JSTOR579196
^ Satu atau lebih kalimat sebelum ini menyertakan teks dari suatu terbitan yang sekarang berada pada ranah publik: Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Boiling to Death". Encyclopædia Britannica. 4 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 153.