Klenteng ini dibangun pertama kali pada tahun 1650 dan dinamakan Kwan Im Teng. Kata Kwan Im Teng kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi klenteng.[2] Sebelum Perang Dunia II, kelenteng ini merupakan salah satu dari empat kelenteng besar yang berada di bawah pengelolaan Kong Koan, selain Kelenteng Kuan Im Tong, Kelenteng Ancol, dan Kelenteng Hian Thian Shang Te.
Sejarah
Kelenteng ini dibangun pada tahun 1650 oleh seorang Letnan Tionghoa bernama Kwee Hoen dan dinamakan Kwan Im Teng (觀音亭, Paviliun Guan Yin). Letaknya di Glodok, sebelah barat daya kota.
Selama abad ke-17 tidak ada informasi yang jelas mengenai Kim Tek Ie.
Pada abad ke-18, seiring dengan perkembangan kota yang semakin pesat, Kim Tek Ie dikenal sebagai tempat ibadah masyarakat Tionghoa yang terpenting di Batavia. Setiap pemuja diterima dengan terbuka dan menjadi tempat ibadah yang banyak dikunjungi pejabat-pejabat. Seorang Mayor Tionghoa pernah menyumbangkan dana untuk pemugaran kelenteng.[1]
Pengelolaan
Semenjak berdirinya, Kim Tek Ie dikelola oleh sebuah organisasi masyarakat Tionghoa yang dibentuk oleh Belanda.
Setelah tahun 1740, Gubernur Jenderal Von Imhoff (1743-1750) membentuk dewan catatan sipil. Untuk masyarakat Tionghoa Batavia, dibentuklah Kong Koan.[3] Kong Koan mengelola kelenteng-kelenteng besar dan pemakaman Tionghoa. Opsir Dewan Kong Koan ikut menyumbangkan dana untuk kegiatan upacara dan pemugaran. Selain itu, pada tahun 1900-an, Kim Tek Ie tercatat menerima uang sewa dari rumah-rumah yang dibangun di atas tanah milik kelenteng.[3]
Setelah kemerdekaan Indonesia, dukungan terhadap Kong Koan merosot. Ketika lembaga itu bubar, pengelolaan diteruskan oleh Dewan Wihara Indonesia (DEWI). Kelenteng Kim Tek Ie dikelola oleh seseorang yang menjabat Kepala Pedupaan (Lu-zhu) bersama asistennya. Mereka mulai mengambil alih berbagai kegiatan kelenteng, seperti mengumpulkan dana dan penyelenggaraan upacara. Kemungkinan Lu-zhu dipilih dari kalangan pengusaha.[1]
Perubahan nama
Sejak peristiwa tahun 1965, terjadi tindakan pemutusan terhadap akar ketionghoaan dan pembauran dengan masyarakat Indonesia dianjurkan kepada orang Tionghoa.[1] Hal yang sama terjadi dengan kelenteng dan kuil yang memiliki nama Tionghoa. Tempat-tempat ini dianjurkan untuk menghilangkan atau menyembunyikan unsur-unsur Taois yang ada dan menonjolkan sifat Buddhis kelenteng. Nama Sansekerta dipilih oleh lembaga Dewan Wihara Indonesia (DEWI). Nama Kim Tek Ie diubah menjadi Vihara Dharma Bhakti. Nama Indonesia hasil terjemahan adalah Kelenteng Keutamaan Emas.
Festival dan perayaan terkenal
Kelenteng Kim Tek Ie sejak lama dikenal sebagai pusat perayaan hari-hari raya Tionghoa, antara lain Cioko yang dilaksanakan di halaman kelenteng. Sebelum Perang Dunia II, pada Hari Raya Waisak, diadakan suatu Opera Tionghoa Peranakan dalam Bahasa Indonesia yang ikut diramaikan dengan permainan musik Keroncong.[2]
Kebakaran
Pada hari Senin tanggal 2 Maret 2015 dinihari, Klenteng Kim Tek Ie mengalami kebakaran, diduga penyebab kebakaran berasal dari api lilin.[4][5] Dalam kebakaran ini, bangunan utama beserta rupang-rupang ikut musnah terbakar, terkecuali rupang Kwan Im dan dua rupang lainnya yang berhasil diselamatkan.
Dewa-dewi
Kelenteng Kim Tek Ie adalah kelenteng bercorak Buddhis-Taois. Hal ini ditunjukkan dengan tokoh-tokoh kedua kepercayaan yang banyak dipuja di dalam dan di bangunan kelenteng kecil di halamannya, antara lain:
^ abcdeSalmon, Claudine (2003). Klenteng-klenteng dan masyarakat Tionghoa di Jakarta, Seri gedung-gedung ibadat yang tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
^ abcLohanda, Mona (1994). The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942: A History of Chinese Establishment in Colonial Society. Jakarta: Djambatan. ISBN9794284149.