Artikel ini perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Artikel ini ditulis atau diterjemahkan secara buruk dari Wikipedia bahasa selain Indonesia. Jika halaman ini ditujukan untuk komunitas berbahasa tersebut, halaman itu harus dikontribusikan ke Wikipedia bahasa tersebut. Lihat daftar bahasa Wikipedia. Artikel yang sama sekali tidak diterjemahkan dapat dihapus secara cepat sesuai kriteria A2.
Jika Anda ingin memeriksa artikel ini, Anda boleh menggunakan mesin penerjemah. Namun ingat, mohon tidak menyalin hasil terjemahan tersebut ke artikel, karena umumnya merupakan terjemahan berkualitas rendah.
Konstantinus IX Κωνσταντῖνος Θ΄ Μονομάχος
Mosaik di Hagia Sophia, Konstantinus IX Monomachos.
Makedonia melalui pernikahan dengan Monomachos family
Ayah
Theodosios Monomachos
Konstantinus IX Monomachos, dilatinkan menjadi Constantine IX Monomachus (Yunani Pertengahan: Κωνσταντῖνος Θ΄ Μονομάχος, Kōnstantinos IX Monomakhos) lahir sekitar tahun 1000, meninggal 11 January 1055, adalah Kaisar Bizantium mulai dari 11 Juni 1042 hingga 11 Januari 1055. Ia dipilih oleh Ratu Zoe sebagai suami dan co-emperor, meskipun ia sebenarnya diasingkan untuk upaya konspirasi melawan suami sebelumnya, Raja Michael IV Paphlagonian. Mereka memerintah hingga kematian Ratu Zoe pada 1050.
Ia dikenal karena pada masanyalah terjadi perpecahan Gereja Ortodoks Timur dengan Gereja Katolik Romawi dan mulai melemahnya kekuasaan Bizantium.
Masa muda
Konstantinus IX Monomachos adalah anak dari Theodosios Monomachos, birokrat penting di bawah kekuasaan Basil II dan Konstatinus VIII.[1] Theodosios pernah menjadi tersangka tuduhan konspirasi dan karier anaknya menjadi hancur.[2] Namun posisinya kembali membaik setelah menikahi istri keduanya, keponakan dari raja Romanos III.[3] Dengan segera ia menarik perhatian Ratu Zoe, dan diasingkan ke Mytilene, di kepulauan Lesbos oleh suami pertamanya, Michael IV Paphlagonian[4]
Kematian Michael IV dan kudeta terhadap Michael V Kalaphates pada tahun 1042 mendorong dipanggilnya kembali Konstantinus IX dari pengasingannya. Ia ditunjuk menjadi hakim di Yunani.[5] Hanya saja, untuk penunjukannya, Konstatinus harus dipanggil ke Konstantinopel, di mana kerjasama yang buruk antara penerus Michael V, Ratu Zoe, dan Theodora, telah hancur. Setelah pertentangan yang memburuk dalam dua bulan, Zoe memutuskan untuk mencari suami baru, untuk mencegah membaiknya popularitas dan otoritas saudarinya.[6]
Setelah calon pertamanya menolak, dan calon kedua mati misterius,[3] Zoe tiba-tiba ingat kembali ketampanan Konstantinus IX. Keduanya menikah pada 11 Juni 1042, tanpa keikutsertaan Patriark Alexius I Konstantinopel, yang menolak menyelenggarakan pernikahan ketiga (bagi keduanya).[2] Hari itu juga, Konstantinus IX memulai kekuasaannya bersama Zoe dan Theodora.
Pemerintahan
Konstantinus IX meneruskan pembersihan yang sudah dimulai Zoe dan Theodora, menyingkirkan kerabat Michael V dari lingkaran kekuasaan.[7] Raja baru ini menyenangi kemewahan[8] dan rentan atas tuduhan konspirasi,[9] Ia dipengaruhi gundiknya, Maria Skleraina, keponakan istri keduanya. Pada Agustus 1042, di bawah pengaruh Skleroi[10] ia membebastugaskan Jenderal George Maniakes dari kekuasaannya di Italia, sehingga Maniakes memberontak, mengumumkan dirinya sebagai raja pada bulan September.[11] Ia menggerakkan pasukannya ke Balkan dan hampir saja mengalahkan tentara Konstantinus. Namun kemudian ditemukan gugur di medan perang, mengakhiri krisis tersebut pada tahun 1043.[12]
Perlakuan istimewa Konstantinus IX terhadap Maria Skleraina menyebabkan gosip bahwa Maria berencana membunuh Zoe dan Theodora.[14] Ini memancing keributan dari warga Konstantinopel pada tahun 1044, yang hampir saja mencelakainya.[15] Kerumunan ini baru bisa ditenangkan dengan munculnya Zoe dan Theodora, yang meyakinkan mereka bahwa keduanya aman dari pembunuhan.[15]
Pada tahun 1045 Konstantinus IX menganeksasi Armenia dari Ani,[16] berdasarkan perjanjian antara John Smbat dan Basil II, tetapi ekspansi ini menyebabkan posisi kerajaan menjadi terbuka terhadap musuh baru. Pada tahun 1046, Bizantian merasakan kontak pertama dengan Turki Seljuk.[17] Mereka berperang di Armenia pada tahun 1048 dan melakukan gencatan senjata setahun kemudian.[18] Meskipun pemimpin Seljuk memiliki itikad untuk mematuhi gencatan ini, sekutunya tidak demikian. Dengan demikian tindakan Konstantinus secara tidak langsung telah melemahkan kekuatan Bizantium, yang akhirnya berakhir dengan kekalahan dalam Pertempuran Manzikert pada tahun 1071.[19] Konstantinus kemudian mempersekusi Gereja Armenia, memaksakan persatuan dengan Gereja Ortodok.[17]
Pada tahun 1047, Konstantinus menghapi pemberontakan sepupunya, Leo Tornikios di Adrianople.[10] Tornikios mendapat dukungan dari dari Thrace dan dengan berani berniat menguasai Konstantinopel. Namun kemudian gagal. Dipaksa mundur, Tornikios gagal lagi di pengepungan berikutnya dan tettangkap.[19] Pemberontakan ini semakin memperlemah pertahanan di Balkan. Dan akhirnya pada 1048, diserang Pechenegs,[22] dan dirampok hingga 5 tahun setelahnya. Upaya perdamaian gagal dan Konstantinus terpaksa meminta bantuan Kerajaan Hungaria.
Konstantinus berusaha mendapatkan dukungan kelompok terpandang, dynatoi, dengan memberikan pembebasan pajak kepada pemilik lahan besar dan gereja. Ia juga memunculkan kebijakan lain yang serupa, pronoia, kontrak yang membebaskan pungutan dan pajak penghasilan dari lahan dengan syarat membantu pembentukan dan pemeliharaan kekuatan militer.[4][23] Kebijakan ini perlahan melemahkan efektivitas negara dan berkontribusi terhadap krisis yang terjadi di Bizantium pada pertengahan abad 11.
Pada tahun 1054 perbedaan berabad-abad antara Gereja Timur Ortodoks dengan Gereja Katolik Roma, mencapai puncaknya dan berakhir dengan Skisma Barat Timur.[24] Legasi dari Paus Leo IX adalah mengekskomunikasi Michael Keroularios karena menolak mengadopsi praktik-praktik Geraja Katolik Roma, dan sebagai balasannya Keroularios balik mengekskomunikasi legasi tersebut.[25] Ini merusak upaya Konstantinus untuk bersekutu dengan Paus menghadapi Normans, yang mengambil keuntungan dengan tiadanya Maniakes untuk mengambil alih Italia bagian selatan.[26]
Konstantinus berusaha mengintervensi, tetapi ia jatuh sakit dan meninggal pada 11 Januari tahun berikutnya.[27] Meskipun sudah dinasihati dewannya unutk tidak memberikan kekuasan pada Theodora, dan memberikan tahta ke doux Bulgaria, Nikephoros Proteuon, Theodora kembali dari masa pensiun dan kemudian mengambil alih tahta.[28]
Secara keseluruhan, masa pemerintahannya adalah bencana bagi Kerajaan Bizantium.[2] Lemahnya militer berkontribusi atas kejatuhan Asia Minor kepada Turki setelah Pertempuran Manzikert pada tahun 1071.
Perhatian terhadap seni dan arsitektur
Konstantinus IX adalah patron perkembangan seni dan sastra, pada masanyalah Universitas Konstantinopel mengembangkan jurusan hukum dan filosofi. Lingkaran sastra di sekitar kekuasaannya memasukkan filsuf dan sejarahwan Michael Psellos, yang karyanya Chronographia mencatat sejarah kekuasaan Konstantinus. Psellos mencatat perawakan Konstantinus sebagai "Mukanya kemerahan, bak mentari. Tapi bagian lainnya mulai dari dada hingga kaki, sungguh putih, dengan kelembutan tiada tara. Saat muda, sebelum tubuhnya kehilangan kejantanannya, siapapun yang melihat pasti akan menyukai kepalanya yang bak keagungan mentari, saking bersinarnya, dan rambutnya bak sinar mentari, sementara tubuhnya yang lain semurni dan tembus pandang kristal."[29]
Segera setelah meraih kekuasaan pada 1042, ia merestorasi Church of the Holy Sepulchre di Yerusalem, yang dihancurkan Khalifahal-Hakim bi-Amr Allah pada tahun 1009[30] dan gempa tahun 1033. Dimungkinkan oleh adanya perjanjian antara anak Al Hakim, Ali azh-Zhahir li-i'zaz Din Allah dan raja Bizantium sebelumnya Romanus III, Konstantinus IX membiayai rekonstruksi Gereja dan bangunan kristiani lainnya di Yerusalem.[31] Rekonstruksi terjadi selama kekuasaan Khalifah Ma'ad al-Mustansir Billah. Informasi ini ditulis William dari Tirus, sementara sejarahwan mencatat restorasi ini sebenarnya berlangsung pada masa Michael IV.
^John H. Rosser, Historical Dictionary of Byzantium, Scarecrow Press, 2001, p. xxx.
^Aleksandr Petrovich Kazhdan, Annabel Jane Wharton, Change in Byzantine Culture in the Eleventh and Twelfth Centuries, University of California Press, 1985, p. 122.
^Ousterhout, Robert (1989). "Rebuilding the Temple: Constantine Monomachus and the Holy Sepulchre". Journal of the Society of Architectural Historians. 48 (1): 66–78. doi:10.2307/990407.