Liga Katolik (bahasa Inggris: Catholic League; bahasa Jerman: Katholische Liga) adalah sebuah koalisi negara-negara KatolikKekaisaran Romawi Suci yang dibentuk pada tanggal 10 Juli 1609. Koalisi ini pada awalnya dibentuk sebagai sebuah konfederasi politis untuk menegosiasikan isu-isu perlawanan terhadap Serikat Protestan yang telah dibentuk pada tahun sebelumnya. Model Liga Katolik ini sama dengan Liga Katolik Prancis yang telah berdiri pada tahun 1576. Koalisi ini merupakan aliansi militer untuk membela agama Katolik dan perdamaian di dalam Kekaisaran.[1]
Latar belakang
Pada tahun 1555, Perdamaian Augsburg ditandatangani, dan dikonfirmasi oleh Dewan Speyer dalam mengakhiri pertikaian antara umat Katolik dan Lutheran di Kekaisaran Romawi Suci. Pelaksanaan kedaulatan suatu wilayah dimulai pada titik ini, yang juga merupakan pemisahan Negara Gereja dengan negara-negara Jerman di bawah Kekaisaran Romawi Suci. Karena kekaisaran dibagi menjadi sejumlah besar negara berdaulat, ada banyak negara-negara Protestan, yang mengakui asas "cuius regio, eius religio". Namun setiap pangeran yang berkuasa di negara-negara Protestan, mengklaim dan menjalankan asas "ius reformandi religionem", yang telah disepakati pada Perjanjian Passau pada tahun 1552, serta menjawab pertanyaan gereja tentang keyakinan mereka, yang didasarkan pada keyakinan masing-masing individu dan kepercayaan mayoritas warganya.[2] Negara bagian seperti Sachsen, Hessen, Prussia, Anhalt, Lüneburg, Friesland Timur, Schleswig-Holstein, Silesia, dan kota-kota di Nuremberg, Augsburg, Frankfurt, Ulm, Strasburg, Bremen, Hamburg, dan Lübeck, memeluk agama Protestan. Kerajaan di Austria, Kekaisaran Romawi, dan Adipati Bavaria, menganut kepercayaan lama, dan tetap mempertanyakan prinsip negara independen yang berada di bawah kekuasaan Gereja; karena hal tersebut bertentangan dengan semua tradisi Kekaisaran di Gereja Katolik Roma.[2] Para pangeran dan teolog Protestan melarang masyarakat di wilayahnya melaksanakan praktik Gereja Katolik. Masing-masing pihak bertekad meraih kemenangan. Toleransi hanyalah keharusan saat kepercayaan minoritas menuntut haknya. Dengan kata lain, toleransi hanyalah sebuah modus vivendi.[2] Persaingan kedua agama ini, bagaimanapun, tidak berhenti di perbatasan Jerman. Inggris dan Republik Belanda bersekutu dengan Serikat Protestan dan siap mendukung perjuangannya. Negara-negara bagian Utara, baik Denmark dan Swedia berambisi mengendalikan kawasan Baltik yang strategis. Sementara SpanyolKatolik bersiap menaklukkan BelandaProtestan, dan Prancis menentang aspirasi hegemoni koalisi antara Kekaisaran dengan Raja Spanyol.[3]
Landasan pendirian dan peran Liga Katolik
Ada sekitar 20 kota di Kekaisaran yang mengalami konflik antar pemeluk Lutheran dan Katolik dalam bentuk kerusuhan atau pemberontakan dari tahun 1595 hingga 1618. Salah satu konflik tersebut adalah Peristiwa Donauwörth pada tahun 1606-7. Donauwörth adalah satu dari tujuh kota Kekaisaran merdeka, di mana pemeluk Lutheran dan Katolik diresmikan untuk saling bertoleransi satu sama lain. Namun, pemeluk Katolik di Donauwörth merasa takut dengan kebencian Lutheran terhadap mereka, sehingga mereka mengurangi upacara kegerejaan di ruang publik hingga tahun 1605. Pada Hari Markus sang Penginjil pada tahun 1606, umat Katolik melakukan upacara kegerejaan dengan massa yang cukup ramai, dan warga Lutheran mengambil alih imam Katolik, dan melepas relik dan spanduk mereka, serta menertawakan mereka. Beberapa bulan kemudian, pendeta Laurence dari Brindisi, seorang kapusin terkemuka, mengunjungi kota tersebut dan mengalami intimidasi serupa.[4]
Warga Katolik melakukan pertemuan dengan pendeta Laurence dan mendorongnya untuk meminta bantuan Kaisar Rudolf II. Ketika sang pendeta tiba di Praha, kota Donauwörth mengalami wabah serius, dan dia memberikan ceramah dengan mengklaim bahwa wabah tersebut merupakan sebuah penghakiman Tuhan, yang diakibatkan pembiaran pemeluk Protestan di Donauwörth dan di tempat lainnya. Meskipun ceramah ini menyinggung banyak orang, termasuk sesama umat Katolik; keadaan lain mendorong Maximilian I bersimpati dengan kekhawatiran sang pendeta atas apa yang terjadi di Donauwörth. Maximilian I mengenal sang pendeta pertama kali, ketika dia membutuhkan bantuan untuk melakukan eksorsisme terhadap istrinya. Rudolf II mengirim komisi kekaisaran ke Donauwörth, untuk memastikan pemeluk Katolik dapat melakukan peribadatan pada hari Markus tanpa terganggu lagi, pada tahun berikutnya. Namun, terlepas dari komisi tersebut, sekelompok Lutheran berkumpul dan mengintimidasi para pendeta dan komisi Katolik yang membuat mereka tetap dalam biara. Hakim kota Donauwörth yang seorang Lutheran, tidak melindungi warga pemeluk Katolik.[4]
Liga Katolik berada di bawah kepemimpinan Maximilian I. Dia menolak menjadikan Liga Katolik sebagai alat pemerintahan Habsburg. Hal ini membuat pertentangan di antara rekan-rekannya, dan membuatnya mengundurkan diri pada tahun 1616. Beberapa konflik membawanya kembali lagi ke Liga Katolik dua tahun kemudian. Setelah menolak menjadi calon tahta kekaisaran pada tahun 1619, Maximilian I menghadapi masalah yang timbul akibat perang di Bohemia dan membuat sebuah perjanjian netralitas dengan Serikat Protestan, yang disebut Traktat Ulm (1620).[7]
^Cooper, J. P., ed. (July 1963). The New Cambridge modern history. Vol. IV The Decline of Spain and The Thirty Years War
1609-48/59. Cambridge [Eng.]: University Press. hlm. 313; 305–306. ISBN0521076188. OCLC182532.line feed character di |volume= pada posisi 55 (bantuan)