Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Materialisme

Ludwig Feuerbach, filsuf Jerman yang mendukung materialisme.

Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi.[1] Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material.[1] Materi adalah satu-satunya substansi.[1] Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologi monistik.[1] Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme.[1] Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme.[2]

Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti roh, hantu, setan dan malaikat.[2] Pelaku-pelaku immaterial tidak ada.[2] Tidak ada Tuhan atau dunia adikodrati.[2] Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi.[2] Materi dan aktivitasnya bersifat abadi.[2] Tidak ada penggerak pertama atau sebab pertama.[2] Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal.[2] Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam okeee suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.[2]

Definisi materialisme

Kata "materialisme" terdiri dari kata "materi" dan "isme".[1] "Materi" dapat dipahami sebagai "bahan; benda; segala sesuatu yang tampak".[3] "Materialisme" adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra.[3] Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai "materialis".[3] Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta,uang,dsb).[3]

Tokoh dan karya tentang materialisme

Filsuf yang pertama kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros.[4] Ia merupakan salah satu filsuf terkemuka pada masa filsafat kuno.[4] Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus.[4] Pendapat mereka tentang materialisme, dapat kita samakan dengan materialisme yang berkembang di Prancis pada masa pencerahan.[4] Dua karangan karya La Mettrie yang cukup terkenal mewakili paham ini adalah L'homme machine (manusia mesin) dan L'homme plante (manusia tumbuhan).[4]

Dalam waktu yang sama, di tempat lain muncul seorang Baron d'Holbach yang mengemukakan suatu materialisme ateisme.[4] Materialisme ateisme serupa dalam bentuk dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak.[2] Jiwa sebetulnya sama dengan fungsi-fungsi otak.[4] Pada Abad 19, muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman seperti Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel.[4][5] Merekalah yang kemudian meneruskan keberadaan materialisme.[4]

Ciri-ciri paham materialisme

Setidaknya ada 5 dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini:[2]

  • Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah).[2]
  • Tidak meyakini adanya alam ghaib.[2]
  • Menjadikan pancaindra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.[2]
  • Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum.[2]
  • Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak.[2]
  • adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis.

Kritik terhadap materialisme

Salah satu kritik terhadap paham materialisme dikemukakan oleh aliran filsafat eksistensialisme.[2] Materialisme mengajarkan bahwa manusia pada akhirnya adalah thing, benda, sama seperti benda-benda lainnya.[2] Bukan berarti bahwa manusia sama dengan pohon, kerbau, atau meja, sebab manusia dipandang lebih unggul.[2] Akan tetapi, secara mendasar manusia dipandang hanya sebagai materi, yakni hasil dari proses-proses unsur kimia.[2] Filsafat eksistensialisme memberikan kritik terhadap pandangan seperti ini.[2] Cara pandang paham materialisme seperti ini mereduksi totalitas manusia.[2] Manusia dilihat hanya menurut hukum-hukum alam, kimia, dan biologi, sehingga seolah sama seperti hewan, tumbuhan, dan benda lain.[2] Padahal manusia memiliki kompleksitas dirinya yang tak dapat diukur, misalnya saja ketika berhadapan dengan momen-momen eksistensial seperti pengambilan keputusan, kecemasan, takut, dan sebagainya.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Lorens ko . . 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 593-600
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x N. Drijarkara. 1966. Pertjikan Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan Djakarta. Hal. 57-59.
  3. ^ a b c d Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2000. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 946.
  4. ^ a b c d e f g h i P. A. van der Weij. 1988. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 108-110.
  5. ^ Bryan Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 135-136.


Kembali kehalaman sebelumnya