Naga Jawa (bahasa Jawa: ꦤꦒꦗꦮ, translit. naga jawa)[1] adalah makhluk mitologi Jawa yang telah direka setidaknya sejak zaman Majapahit. Makhluk ini memiliki wujud seperti ular raksasa, mirip dengan naga Tiongkok, dan pada umumnya digambarkan mengenakan mahkota dan tanpa kaki. Naga Jawa merupakan campuran gambaran naga Hindu-Buddha dengan kepercayaan lokal yang dipengaruhi oleh gambaran naga Tiongkok. Naga Jawa biasanya digambarkan sebagai pelindung atau pengayom, sehingga umum ditemukan dalam pahatan gerbang, pintu masuk, atau undakan tangga dengan maksud melindungi bangunan yang ia tempati.[2]
Etimologi
Kata naga berasal dari bahasa Sanskertanāgá (ꦟꦴꦒ), yaitu perwujudan ular kobra raksasa yang ditemukan dalam kepercayaan Hindu, Buddha, dan Jain. Kata nāgá kadang juga digunakan untuk merujuk "ular" secara umum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia naga diartikan sebagai ular yang besar.[3]
Penggambaran
Naga Jawa digambarkan sebagai ular raksasa, kadang dengan kaki namun lebih umum tanpa kaki. Gambaran ini selaras dengan gambaran naga India yang menyerupai ular, dan bertolak belakang dengan naga Tiongkok dan naga Eropa yang berkaki. Berbeda dari keduanya pula, naga Jawa umumnya tidak digambarkan dapat terbang. Namun kepala dan rahang naga Jawa terpengaruh dengan naga Tiongkok sehingga sulit untuk mengategorikan naga Jawa sebagai ular atau naga. Keunikan naga Jawa merupakan badhong atau mahkota di atas kepalanya. Tidak ada ketentuan untuk rupa mahkota dan bentuknya dapat sangat beragam. Mahkota ini pertama kali digambarkan dalam lambang-lambang kenegaraan era Majapahit dan kemungkinan merupakan suatu tanda persahabatan dengan kaisar Tiongkok.[2] Terkadang naga Jawa juga digambarkan memakai perhiasan dan kalung emas.
Pandangan terhadap naga
Naga atau Ular menurut pandangan bangsa Indonesia dianggap sebagai lambang dunia bawah. Sebelum Zaman Hindu (Neolithicum), di Indonesia terdapat anggapan bahwa dunia ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu dunia bawah dan dunia atas, yang masing-masing mempunyai sifat-sifat bertentangan. Dunia bawah antara lain dilambangkan dengan bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya. Sedangkan dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, kuda, rajawali.[4] Pandangan semacam itu juga hampir merata di seluruh bangsa Asia. Dalam cerita Mahabarata maupun pandangan bangsa Indonesia sendiri sebelum Zaman Hindu, naga atau ular selalu berhubungan dengan air, sedangkan air mutlak diperlukan sebagai sarana pertanian.
Penggunaan
Dekorasi
Dalam kesenian rakyat juga sering terlihat bentuk ukiran yang berbentuk ular Naga yang tertera pada gantungan dari kayu yang dipergunakan untuk menggantung gamelan dalam keadaan mulutnya terbuka lebar dengan lidah bercabang yang menjulur keluar.
Selain itu benda-benda pusaka yang berbentuk keris banyak yang menggunakan nama ular Naga ini. Seperti keris Naga Runting, keris Naga Ransang, keris Naga Sasra dan lain sebagainya. Keris tersebut dinamakan naga karena memang bentuk bilah keris yang melengkung menyerupai ekor naga. Juga ada pusaka yang berbentuk tombak yang bemama tombak Naga Baru Kelinting miliknya Ki Ageng Mangir atau Ki Ageng Mangir Wanabaya. Kepala kapal layar juga banyak yang diukir dengan bentuk gambar kepala ular Naga.
Simbol penjagaan
Naga Jawa juga ditemui di beberapa relief candi. Naga di candi ini dinamakan Naga Taksaka yang bertugas menjaga candi. Umumnya ular naga dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga: mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik ataupun bentuk makara dengan naga yang menganga dengan seekor singa di dalam mulutnya. Hiasan semacam ini umum didapati di candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Sering pula wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Fungsi naga pada bangunan candi atau pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan terhadap sebuah bangunan.
Susanne Rodemeier: Lego-lego Platz und naga-Darstellung. Jenseitige Kräfte im Zentrum einer Quellenstudie über die ostindonesische Insel Alor. (Magisterarbeit 1993) Universität Passau 2007
Heinrich Zimmer: Indische Mythen und Symbole. Diederichs, Düsseldorf 1981, ISBN 3-424-00693-9.