Perjanjian Paris 1856 adalah perjanjian yang mengakhiri Perang Krimea antara Kekaisaran Rusia dengan persekutuan antara Kekaisaran Utsmaniyah, Britania Raya, Kekaisaran Prancis Kedua, dan Kerajaan Sardinia.[1][2] Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 30 Maret 1856 di Kongres Paris. Kesepakatan di dalam perjanjian ini membuat wilayah Laut Hitam sebagai wilayah netral yang tidak boleh dilalui oleh semua kapal perang serta pelarangan pembentengan dan persenjataan di pesisir Laut Hitam. Perjanjian Paris menandakan kemunduran besar pengaruh Rusia di wilayah tersebut. Persayaratan untuk dapat kembalinya Sevastopol dan daerah Rusia lainnya disebutkan dengan jelas bahwa pesisir Laut Hitam tidak diperbolehkan untuk digunakan sebagai markas militer.
Negosiasi
Perselisihan dan perbedaan tujuan di antara negara-negara penanda tangan, termasuk negara sekutu menghasilkan perjanjian yang berumur singkat. Hal tersebut berakibat pada hubungan antara Kekaisaran Utsmaniyah dengan Kekaisaran Rusia serta negara-negara Eropa pada umumnya. Saling ketidakpercayaan antara Prancis dan Britania selama perang juga masih terjadi selama proses perundingan perjanjian.[3] Sejarawan menilai bahwa penandatanganan Perjanjian Paris sebagai perjanjian perdamaian pada tahun 1856 mungkin dapat menutup Perang Krimea namun sebuah konflik baru akan lebih mudah terjadi.[4][5]
Rusia ingin memastikan bahwa meskipun mereka kalah dalam perang, mereka masih dapat memiliki kekuatan dan daerahnya sebelum perang masih menjadi miliknya. Ketika Alexander II naik tahta pada tahun 1855, ia dihadapkan dengan krisis yang mengancam keutuhan Kekaisaran Rusia. Berbagai masalah lokal lainnya dari Finlandia hingga Polandia, serta konflik di Krimea dan konflik suku-suku menekan ekonomi Rusia hingga ke ambang keruntuhan. Rusia tahu bahwa dalam beberapa bulan ia akan kalah di Perang Krimea yang berarti cemoohan dunia akan datang. Perundingan perdamaian diusulkan oleh Alexander II kepada Britania Raya dan Prancis di Paris pada tahun 1856 bukan hanya sebagai upaya untuk menjaga keutuhan teritori Rusia namun juga untuk menghentikan jatuhnya korban tentara serta munculnya krisis ekonomi.[3] Tujuan besar Rusia adalah tetap tampil "besar" di mata negara-negara barat. Di dalam penrundingan, Rusia berupaya untuk mengubah kekalahan menjadi kemenangan melalui diplomasi.[6]
Kekaisaran Utsmaniyah, Britania Raya, dan Prancis sementara itu lebih menginginkan kekalahan yang menyedihkan bagi Rusia. Rusia telah kehilangan 500.000 pasukan dan sadar betul bahwa dengan sisa kekuatannya kini, ia hanya akan kehilangan lebih banyak nyawa. Negara sekutu memaksa Rusia untuk menarik kekuasaannya dari wilayah Sungai Danube dan mengembalikannya ke Kekaisaran Utsmaniyah sebagai syarat perdamaian.[7] Kapal perang Rusia juga dilarang untuk berlayar di Laut Hitam yang hingga saat itu merupakan salah satu perairan penting bagi Rusia. Perjanjian Paris juga membuat rakyat Rusia tidak senang dengan bagaimana Perang Krimea berakhir. Ketidakstabilan politik dan sosial kemudian mengarah kepada emansipasi pekerja dan penyebaran ide-ide revolusioner.[8]
^Albin, Pierre (1912). "ACTE GENERAL DU CONGRES DE PARIS (30 mars 1856)". Les grands traités politiques. Recueil des principaux textes diplomatique depuis 1815 jusqu'à nos jours. Paris: F.Alcan. hlm. 170–180.