Personal Handy-phone System (PHS) (dalam bahasa Indonesia: Sistem Telepon Tangan Personal), dinamakan juga Personal Communication Telephone (PCT, Telepon Komunikasi Personal di Thailand), Personal Access System (PAS, Sistem Akses Personal), atau Xiaolingtong (Hanzi: 小灵通 di Tiongkok Daratan), adalah sistem jaringan seluler yang beroperasi pada frekuensi 1880–1930 MHz. Sistem ini dioperasikan pada beberapa negara Asia, seperti Jepang, Tiongkok, Taiwan, dan berbagai negara lainnya.
Penjelasan
PHS pada dasarnya adalah telepon tanpa kabel seperti DECT, dengan kemampuan handoff dari satu sel ke sel lainnya. Sel PHS berukuran kecil, dengan daya transmisi base station maksimum 500 mW, sedangkan jangkauannya bervariasi dari per meter hingga 2 km (yang berarti, lebih pendek dibanding CDMA dan GSM). Karena itulah, PHS cocok untuk daerah perkotaan yang padat, tetapi tidak pas untuk daerah pedesaan. Selain itu, ukuran sel PHS yang kecil juga menyulitkan kita melakukan komunikasi dari kendaraan yang bergerak cepat.
PHS menggunakan TDMA/TDD untuk metode akses saluran (channel access method) radionya, dan ADPCM 32 kbit/detik untuk codec suaranya. Ponsel PHS modern juga dapat mendukung banyak layanan seperti internet nirkabel kecepatan tinggi (hingga 64 kbit/detik atau lebih), akses WWW, email, dan pesan teks. Teknologi PHS juga banyak dipakai dalam Jaringan Telepon Tetap Nirkabel. Walaupun base station PHS berharga rendah dan jaringannya bersifat mikroseluler, tetapi lebih efisien dalam frekuensi dibanding misalnya 3G. Karena lebih ekonomis, maka layanan yang bertarif rendah seperti AIR-EDGE dapat dioperasikan di Jepang.
Penerapan
Dikembangkan oleh Laboratorium NTT di Jepang pada tahun 1989, sistem ini jauh lebih sederhana untuk diimplementasikan daripada sistem seperti Personal Digital Cellular (PDC) atau GSM. Di negara asalnya tersebut, layanan PHS komersial diluncurkan oleh tiga operator yaitu NTT-Personal, DDI-Pocket, dan ASTEL pada tahun 1995. Selama beroperasi, layanan PHS di Jepang identik sebagai layanan untuk "orang miskin" karena jarak penggunannya rendah dan kurang handal dalam roaming. Seiring waktu, pangsa pasar PHS di Jepang terus menurun, ditandai dengan NTT Personal yang diambil alih oleh NTT DoCoMo dan ASTEL telah menghentikan layanannya di Januari 2008. Sebagian besar operator di negara-negara lain yang mengoperasikan PHS juga telah menghentikan jaringannya dan bermigrasi ke GSM.
Di Thailand, TelecomAsia (sekarang True Corporation) mengintegrasikan sistem PHS dengan Intelligent Network dan memasarkan layanan tersebut sebagai Personal Communication Telephone (PCT).[1] Sistem terintegrasi ini merupakan sistem pertama di dunia yang menggabungkan telepon kabel dengan PHS, dimana pelanggan dapat menggunakan nomor telepon yang sama dan berbagi kotak pesan suara antara keduanya.[2][3] Layanan PCT diluncurkan secara komersial pada November 1999, dan mencapai puncaknya dengan meraih 670.000 pelanggan pada 2001. Sayangnya, jumlah pelanggan PCT di Negeri Gajah Putih terus menurun menjadi 470.000 pada tahun 2005, bahkan sebelum titik impas-nya (dari biaya investasi yang memakan 15 juta baht) dicapai pada tahun 2006. Operator di sana, melihat popularitas PHS yang kalah pamor dengan sistem lain, berusaha memfokuskan layanan PCT untuk segmen pasar anak muda berusia 10-18 tahun.[4]
Di beberapa negara yang mengoperasikan PHS, juga muncul sistem wireless local loop berbasis jaringan ini. Operator PHS di Jepang, WILLCOM (dahulu DDI-Pocket) menawarkan fitur jaringan nirkabel dan panggilan dengan tarif rendah sehingga mampu memanjangkan masa operasinya. Di Tiongkok, pelanggan PHS juga sampai 2005 mengalami peningkatan yang sangat baik. Di Chili, Telefónica del Sur meluncurkan layanan telepon berbasis PHS di beberapa kota bagian selatan negara tersebut pada Maret 2006. Di Brasil, berberapa operator mengoperasikan sistem ini seperti Suporte Tecnologia (di Minas Gerais) dan Transit Telecom.
Di Tiongkok, sistem PHS (dengan nama PAS atau Xiaolingtong) dioperasikan oleh beberapa operator. China Telecom mengoperasikan sistem ini, walaupun tidak mendapat izin untuk mengoperasikan jaringan seluler, sedangkan China Netcom, operator telepon kabel juga turut menyediakan layanan PHS. Operasional PHS di sana relatif sukses dengan meraih 90 juta pelanggan pada 2007, dengan perangkatnya disuplai oleh UTStarcom dan ZTE. Namun, pamor PHS sendiri pada akhirnya justru menurun karena munculnya telepon seluler berharga murah. Seiring hal tersebut, Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi RRT menyatakan bahwa sejak 13 Februari 2009 perluasan jaringan dan penjualan produk berbasis PHS dihentikan serta jaringannya akan dimatikan pada 2011.
Layanan roaming global PHS tersedia antara Jepang (WILLCOM), Taiwan, dan Thailand. Berikut ini jaringan PHS yang pernah beroperasi secara komersial di sejumlah negara:[5]
[36][37][2] Layanan tambahan untuk pengguna telepon kabel.
PHS di Indonesia
PHS pernah berusaha dioperasikan di Indonesia pada tahun 1996, oleh PT Indoprima Mikroselindo (kemudian menjadi PT Smart Telecom) dengan merek dagang Primasel. Primasel direncanakan beroperasi di kota-kota besar Jawa Timur menggunakan frekuensi 1800 MHz yang menargetkan pasar kelas menengah ke bawah. Jika dapat dioperasikan, sistem PHS Primasel diharapkan menjadi proyek percontohan (pilot project) dari layanan ini.[38] Namun, dalam perkembangannya, walaupun sudah beberapa kali diundur peluncurannya (dari 1997 ke 2000),[39] rencana operasional PHS Primasel ini tidak berjalan sama sekali.[40] Kemungkinan, hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi 1997-1998 yang menggoyang Indonesia dan makin populernya operator berbasis GSM. Pada akhirnya, sebelum sempat beroperasi Primasel memutuskan untuk pindah ke sistem CDMA2000 pada 2004, walaupun harus menunggu beberapa tahun kemudian untuk bisa mengoperasikan jaringannya dengan merek baru yaitu Smart pada 2007.
Selain Primasel, ada beberapa calon operator lain yaitu PT Bima Investa Utama yang mendapat lisensi untuk beroperasi di Jawa Tengah, PT Patria Caraka yang direncanakan beroperasi di Jawa Barat, PT Jaya Telesarana Intisel yang memiliki izin beroperasi di Sumatra,[41] dan Telkom (PT Telkom Personal PHS, patungan 50% dengan Indosat)[42] yang mendapatkan hak operasional di Jabodetabek. Keempatnya mendapat izin pada Oktober 1998, dan dari awalnya ditargetkan ada 5 operator dan puluhan peminat, hanya empat yang diberi izin.[43] Pada saat diberi izin oleh pemerintah, calon operator PHS di atas menargetkan cakupan 10% penduduk dari wilayah operasional dalam waktu setahun.[44][45][46] Selain itu, Telkom, PT Industri Telekomunikasi Indonesia dan Japan Radio Company pada waktu itu juga sudah mengembangkan teknologi PHS bernama INTACTS (INTI Telkom Advanced Cordless Telecommunications System) untuk kebutuhan konsumen dan bisnis.[47] Ditambah pada awal 2000-an, sempat dilaksanakan ujicoba terbatas PHS berfrekuensi 1900 MHz di Jakarta (Blok M, sekitar Medan Merdeka dan Bintaro) dengan bantuan 1.000 BTS.[48] Namun, pada akhirnya, hampir semua sistem dan calon operator PHS tidak pernah dapat beroperasi dan lenyap dari industri telekomunikasi seluler Indonesia.
^"PHS Guidebook (4th Edition)"(PDF). PHS MoU Group. 2008-09-29. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2016-02-04. Diakses tanggal 2016-01-29.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Hong Kong waves goodbye to PHS". PolicyTracker. 2016-05-05. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-01. Diakses tanggal 2016-12-31.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)