Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Sekte

Dalam sosiologi agama, sekte umumnya adalah sebuah kelompok keagamaan atau politik yang memisahkan diri dari kelompok yang lebih besar, biasanya karena pertikaian tentang masalah-masalah doktriner.

Dalam sejarah, penggunaannya di lingkungan agama Kristen mengandung konotasi penghinaan dan biasanya merujuk kepada suatu gerakan yang menganut keyakinan atau ajaran yang sesat dan yang sering kali menyimpang dari ajaran dan praktik ortodoks.[1]

Dalam konteks India, sekte merujuk kepada suatu tradisi yang terorganisir.

Etimologi

Kata sekte berasal dari istilah bahasa Latin secta (dari sequi, mengikut), yang berarti (1) suatu langkah atau jalan kehidupan, (2) suatu aturan perilaku atau prinsip-prinsip dasar, (3) suatu aliran atau doktrin filsafat. Sectarius atau sectilis juga merujuk kepada pemotongan, tetapi makna ini, berlawanan dengan pandangan umum, tidak terkait dengan etimologi kata ini. Sectator adalah pemimping atau penganut yang setia.[butuh rujukan]

Definisi dan deskripsi sosiologis

Artikel utama: Tipologi gereja-sekte
Ada beberapa definisi dan deskripsi sosiologis untuk istilah ini.[2] Salah seorang yang pertama mendefinisikannya adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch (1931) [3] Dalam tipologi gereja-sekte mereka digambarkan sebagai kelompok-kelompok keagamaan yang baru terbentuk untuk memprotes unsur-unsur dari agama asalnya (biasanya suatu denominasi. Motivasinya cenderung terletak dalam tuduhan kemurtadan atau ajaran sesat dalam denominasi asalnya. Mereka sering kali memprotes kecenderungan-kecenderungan liberal dalam perkembangan denominasi dan menganjurkan umat untuk kembali ke agama yang sejati. sosiolog Amerika Rodney Stark dan William Sims Bainbridge menegaskan bahwa "sekte-sekte mengklaim dirinya sebagai kelompok yang otentik dan bersih, sebagai versi dari iman yang telah diperbarui, yang daripadanya mereka memisahkan diri".[4] Lebih jauh, mereka menegaskan bahwa, berbeda dengan gereja, sekte memiliki tingkat ketegangan yang tinggi dengan lingkungan sekitarnya.[5]

Sektarianisme kadang-kadang didefinisikan dalam sosiologi agama sebagai suatu pandangan dunia yang menekankan keabsahan unik dari kredo dan praktik-praktik orang percaya dan hal itu meningkatkan ketegangan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tindakan mereka membangun praktik-praktik yang menegaskan batas pemisahnya.[6]

Sebaliknya, suatu kultus keagamaan atau politik juga mempunyai ketegangan yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, tetapi keyakinan-keyakinannya berada dalam batas konteks masyarakat itu, meskipun baru dan inovatif. Sementara kultus mampu memaksakan norma-normanya dan gagasan-gagasannya terhadap anggotanya, sekte biasanya tidak mempunyai "anggota" dengan kewajiban-kewajiban yang tegas, melainkan hanya pengikut, simpatisan, pendukung, atau penganut saja.

Partai-partai sosialis, sosial-demokrat, buruh, dan komunis yang berbasis massa, sering kali berasal-usul dari sekte-sekte utopis, dan karenanya juga memproduksi banyak sekte, yang memisahkan diri dari partai massanya. Khususnya partai-partai komunis dari 1919 mengalami berbagai perpecahan, di antaranya dapat disebut sebagai sekte dari induknya.

Salah satu faktor utama yang tampaknya menghasilkan sekte politik adalah ketaatan yang ketat kepada suatu doktrin atau gagasan setelah waktunya telah lewat, atau setelah doktrin itu tidak lagi mempunyai relevansi yang jelas terhadap realitas yang berubah.

Sosiolog Inggris Roy Wallis[7] menyatakan bahwa sekte dicirikan oleh "otoritarianisme epistemologis": sekte-sekte memiliki suatu locus yang berwibawa yang dapat mengabsahkan suatu ajaran sesat. Menurut Wallis, "sekte mengklaim dirinya memiliki suatu akses yang unik dan isitimewa kepada kebenaran atau keselamatan dan "para pemeluk mereka yang teguh biasanya menganggap semua yang ada di luar batas-batas kolektivitasnya 'keliru'". Ia membedakan hal ini dengan kultus yang digambarkannya memiliki ciri khas "individualisme epistemologis". Maksudnya ialah bahwa "kultus tidak mempunyai locus otoritas tertinggi yang jelas di luar anggotanya masing-masing."[8][9]

Konsep sekte dalam konteks India

Axel Michaels, seorang Indolog, menulis dalam bukunya tentang Hinduisme bahwa dalam konteks India kata "sekte tidak menunjukkan adanya perpecahan atau komunitas yang terasingkan, melainkan lebih pada suatu tradisi yang terorganisir, yang biasanya didirikan oleh si pendiri yang melakukan praktik-praktik asketik." Dan menurut Michaels, "Sekte-sekte India tidak memusatkan perhatian pada ajaran sesat, karena tidak adanya pusat atau pusat yang menuntut membuat hal ini tidak mungkin. Sebaliknya, fokusnya adalah pada para penganut dan pengikutnya."[10]

Padanan kata ini dalam bahasa Prancis, Spanyol, Jerman, Polandia, Belanda, dan Rumania

Dalam bahasa-bahasa Eropa selain Inggris kata padanan untuk 'sekte', seperti misalnya "secte", "secta", "sekta", atau "Sekte", digunakan untuk merujuk kepada sekte keagamaan atau politik yang berbahaya, dalam pengertian yang sama ketika orang di negara-negara berbahasa Inggris menggunakan kata kultus (cult).

Arti "sekte" di negara-negara yang memiliki tradisi Katolik yang kuat

Di Amerika Latin, kata ini sering kali digunakna untuk merujuk kelompok keagamaan non-Katolik Roma manapun, tak peduli berapa besar kelompok itu, sering kali dengan konotasi negatif yang sama yang dimiliki kata 'kultus' dalam bahasa Inggris. Demikian pula di beberapa negara Eropa di mana Protestanisme tidak pernah benar-benar populer. Gereja-gereja Ortodoks (baik Yunani maupun Katolik) sering menggambarkan kelompok-kelompok Protestan (khususnya yang lebih kecil) sebagai sekte. Hal ini, antara lain, tampak di Rusia, Ukraina, Belarus dan Polandia.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Wilson, Bryan Religion in Sociological Perspective 1982, ISBN 0-19-826664-2 Oxford University Press hlm. 89
    "Dalam bahasa Inggris, istilah ini digunakan untuk merujuk kepada suatu kelompok keagamaan yang terpisah, tetapi dalam sejarah kekristenan, istilah ini mengandung konotasi penghinaan. Sekte adalah gerakan yang menganut keyakinan-keyakinin sesat dan sering kali juga melakukan ritual dan praktik yang berbeda dengan prosedur-prosedur keagamaan yang ortodoks."
  2. ^ McCormick Maaga, Mary ringkasan dari bukunya Hearing the Voices of Jonestown (Syracuse: Syracuse University Press, 1998) tersedia online Diarsipkan 2012-05-19 di Wayback Machine.
  3. ^ McCormick Maaga, Mary excerpt from her book Hearing the Voices of Jonestown (Syracuse: Syracuse University Press, 1998) . tersedia online Diarsipkan 2012-05-19 di Wayback Machine.
  4. ^ Stark, Rodney, dan Williams Sims Bainbridge (1979) Of Churches, Sects, and Cults: Preliminary Concepts for a Theory of Religious Movements Journal for the Scientific Study of Religion 18, no 2: 117-33
  5. ^ Stark, Rodney, dan William Sims Bainbridge (1985) The Future of Religion: Secularization, Revival, and Cult formation Berkeley and Los Angeles: University of California Press
  6. ^ McGuire, Meredith B. "Religion: the Social Context" fifth edition (2002) ISBN 0-534-54126-7 hlm. 338
  7. ^ Barker, E. New Religious Movements: A Practical Introduction (1990), Bernan Press, ISBN 0-11-340927-3
  8. ^ Wallis, Roy The Road to Total Freedom A Sociological analysis of Scientology (1976) available online (bad scan) Diarsipkan 2006-06-14 di Wayback Machine.
  9. ^ Wallis, Roy Scientology: Therapeutic Cult to Religious Sect hanya ringkasan (1975)
  10. ^ Alex Michaels Diarsipkan 2009-01-25 di Wayback Machine. "Hinduism past and Present" (2004) Princeton University Press, ISBN 0-691-08952-3, terj. dari bahasa Jerman "Der Hinduismus" (1998) hlm. 319

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya