Sultanah atau sultana (bahasa Arab: سلطانهsulṭānah, pelafalan[səlˈtanə]) adalah bentuk wanita dari gelar sultan dan menjadi gelar resmi bagi wanita yang memimpin kesultanan dan istri utama sultan di beberapa wilayah. Penggunaan gelar sultanah berbeda-beda tergantung adat dan hukum di tiap-tiap kesultanan.
Penggunaan
Penguasa monarki
Gelar ini digunakan secara resmi oleh beberapa wanita yang memimpin kesultanan.
Afrika Utara
Di Kerajaan Touggourt, sekarang bagian dari Aljazair, terdapat satu orang sultanah yang berkuasa: Aïsya.
Asia Tenggara
Pada Kesultanan Samudera Pasai, (sekarang bagian dari Indonesia), Sultanah Seri Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu (memerintah 1406-1427) menjadi satu-satunya wanita yang naik tahta.
Di Aceh Darussalam (sekarang bagian dari Indonesia dan Malaysia), terdapat empat orang sultanah yang memerintah:
Sultanah Seri Ratu Kamalat Syah (1688-1699). Digantikan oleh suaminya atas fatwa dari Mufti Makkah.
Di Maladewa, terdapat lima sultanah yang memerintah:
Khadijah (1347–1363, 1364–1374, 1376–1380)
Raadhafathi (1380)
Dhaain (1383–1388)
Kuda Kala Kamanafa’anu (1607–1609)
Amina (1757–1759)
Pada tanggal 5 Mei 2015, Hamengkubuwono X, Sultan dan Gubernur Yogyakarta, Indonesia, menetapkan anak perempuan tertuanya, GRA Nurmalita Sari (kemudian bergelar GKR Mangkubumi), sebagai putri mahkota. Jika dia naik tahta, sangat mungkin dia akan menyandang gelar sultanah dan menjadi wanita Jawa pertama yang menyandang gelar tersebut.
Permaisuri sultan
Sultanah juga pernah digunakan secara resmi sebagai gelar untuk istri sultan. Antara tahun 1914 dan 1922, penguasa Mesir dari dinasti Muhammad Ali menggunakan gelar sultan dan istri mereka menyandang gelar sultanah secara resmi.[1]
Sultanah juga merupakan gelar bagi istri pemimpin beberapa negara bagian di Malaysia.
Sultanah Kalsom binti Abdullah, istri kedua Sultan Ahmad Syah. Menjadi Sultanah Pahang mulai 30 September 1992.
Sultanah Nur Zahirah, istri Mizan Zainal Abidin, Sultan Trengganu. Menjadi Sultanah Terengganu pada 12 Juli 1998.
Sultanah Haminah Hamidun, istri kedua Abdul Halim, Sultan Kedah. Menjadi Sultanah Kedah pada 21 November 2003 setelah pendahulunya meninggal.
Klaim
Gelar sultanah juga sering digunakan untuk merujuk pada wanita yang tidak pernah menyandang gelar ini secara resmi.
Pada abad pertengahan, Syajaruddur berkuasa pada tahun 1250 atas Mesir, mengakhiri masa kekuasaan keturunan Shalahuddin Al-Ayyubi di kawasan tersebut.[2] Walaupun beberapa sumber menyatakan bahwa dia menyandang gelar sultanah,[3]The Cambridge History of Islam menolak pernyataan tersebut dan menyatakan "bentuk wanita, sultanah, tidak dikenal di Arab: gelar sulṭān muncul pada koin Syajaruddur yang masih tersisa."[4]
Raziya al-Din, yang sering disebut sebagai Razia Sultan, adalah Sultan Delhi di India dari 1236 sampai Mei 1240. Sebagaimana beberapa putri pada masa itu, dia dilatih untuk memimpin pasukan dan mengurus kerajaan bila diperlukan.[5] Dia adalah pemimpin perempuan pertama dari Kesultanan Delhi.[6] Dia menolak disebut sultanah lantaran makna sultanah di tempat itu bermakna "istri sultan," dan dia menggunakan gelar sultan sebagaimana penguasa laki-laki yang lain.[7] Sebagaimana Syajaruddur, Raziya juga sering disebut sultanah oleh Barat, sangat mungkin untuk membedakannya dengan sultan pria.
Kesultanan Utsmani
Sejak abad keenam belas, gelar sultan digunakan tidak hanya disandang oleh kaisar, tetapi juga anggota dinasti yang lain. Para putri menyandang gelar sultan di belakang namanya (misal: Mihrimah Sultan). Gelar ibu suri adalah valide sultan dan gelar ini juga disandang setelah namanya (misal: Ayşe Hafsa Valide Sultan). Gelar bagi permaisuri adalah haseki sultan dan juga disandang setelah namanya (misal: Hürrem Haseki Sultan). Penggunaan ini menegaskan konsep Utsmani bahwa kekuasaan berada merupakan hak khusus keluarga Utsmani.[8] Namun Barat kerap menerjemahkan gelar resmi mereka, sultan, menjadi sultanah, sangat mungkin untuk membedakan mereka dari Kaisar Utsmani.
^Rizk, Yunan Labib (13–19 April 2006). "A palace wedding". Al-Ahram Weekly (790). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-01. Diakses tanggal 2010-02-27. ... Britain granted the rulers among the family the title of sultan, a naming that was also applied to their wives.
^Meri, Josef W., ed. (2006). Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. Volume 2: L–Z, index. New York: Routledge. hlm. 730. ISBN978-0-415-96692-4. OCLC314792003. Diakses tanggal 2010-03-01. ... Shajar al-Durr was proclaimed sultana (the feminine form of sultan) of the Ayyubid dominions, although this was not recognized by the Syrian Ayyubid princes.