Artikel ini merujuk pada disiplin teoretis. Untuk studi internasional, lihat hubungan internasional
Teori hubungan internasional adalah studi hubungan internasional dari sudut pandang teoretis; studi ini berusaha memberikan kerangka kerja konseptual sehingga hubungan internasional dapat dianalisis.[1]Ole Holsti mendeskripsikan teori hubungan internasional bertindak sebagai sepasang kacamata berwarna, sehingga si pemakai hanya bisa melihat peristiwa-peristiwa menonjol terkait dengan teori tersebut. Seorang penganut realisme mungkin menolak penuh suatu peristiwa yang dianggap krusial oleh seorang konstruktivis, dan sebaliknya. Tiga teori paling populer adalah realisme, liberalisme, dan konstruktivisme.[2]
Namun demikian, penelitian terkini oleh David Long dan Brian Schmidt tahun 2005 memaparkan versi revisionis dari asal usul ilmu hubungan internasional. Mereka mengklaim bahwa sejarah ilmu ini dapat ditelusuri balik hingga zaman imperialisme dan internasionalisme pada akhir abad ke-19. Fakta bahwa sejarah ilmu HI dihiasi oleh "perdebatan besar", seperti perdebatan realis-idealis, tidak sesuai dengan bukti sejarah yang ditemukan di tulisan-tulisan sebelumnya: "Kami untuk terakhir kalinya harus menolak menjadikan perdebatan anakronistik antara kaum idealis dan realis sebagai kerangka utama dalam pemahaman sejarah ilmu ini." Klaim revisionis mereka menyatakan bahwa sampai tahun 1918, hubungan internasional sudah ada dalam bentuk tatakelola kolonial, ilmu ras, dan pengembangan ras.
Pendekatan penjelas (eksplanatori) dan penyerta (konstitutif) dalam teori hubungan internasional merupakan cara pengelompokan teori-teori hubungan internasional. Teori penjelas adalah teori yang memandang dunia sebagai hal yang tidak masuk lingkup teori. Teori penyerta adalah teori yang memandang bahwa teori justru ikut membangun dunia.[7]
Realisme atau realisme politik[9] merupakan teori hubungan internasional paling dominan sejak ilmu HI dibentuk.[10] Teori ini bergantung pada tradisi pemikiran lama yang mencakup tokoh-tokoh seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes. Realisme awal dapat dilihat sebagai reaksi terhadap pemikiran idealis pada masa antarperang. Oleh kaum realis, pecahnya Perang Dunia II dianggap sebagai bukti kelemahan pemikiran idealis. Ada beberapa prinsip pemikiran realis modern. Prinsip-prinsip utama dari teori ini ada tiga: statisme, kelangsungan hidup, dan urus sendiri.[10]
Statisme: Realis percaya bahwa negara-bangsa adalah aktor utama dalam politik internasional.[11] Karena itu, realisme merupakan teori negara-sentris dalam hubungan internasional. Realisme berbeda dengan teori hubungan internasional liberal yang melibatkan peran aktor non-negara dan lembaga internasional. Bila dibuat analoginya, kaum realis melihat negara-bangsa layaknya bola biliar, sedangkan kaum liberal melihat hubungan antarnegara layaknya jaring laba-laba.
Kelangsungan hidup: Realis percaya bahwa sistem internasional diatur oleh anarki, artinya tidak ada pemerintah pusat.[9] Karena itu, politik internasional merupakan ajang berebut kekuasaan antara negara-negara yang memiliki kepentingan.[12]
Urus sendiri: Realis percaya bahwa kelangsungan hidup suatu negara tidak dapat digantungkan pada negara lain.
Realisme memiliki beberapa asumsi utama. Realisme berasumsi bahwa negara-bangsa adalah aktor geografis yang bersatu dalam sistem internasional anarkis tanpa lembaga apapun di atasnya yang mengatur interaksi antarnegara karena tidak ada pemerintahan dunia. Realisme juga berasumsi bahwa negaraberdaulat adalah aktor utama dalam hubungan internasional, bukan organisasi antarpemerintah (IGO), lembaga swadaya masyarakat (NGO), atau perusahaan multinasional (MNC). Negara bertindak sebagai aktor otonom rasional yang mengutamakan kepentingan nasionalnya untuk mempertahankan dan menjamin keamanannya sendiri, kedaulatan, dan kelangsungan hidupnya. Realisme berpendapat bahwa untuk mencapai kepentingannya, negara akan berusaha mengumpulkan sumber daya, dan hubungan antarnegara ditentukan oleh tingkat relatif kekuasaannya. Tingkat kekuasaan tersebut menentukan kemampuan militer, ekonomi, dan politik negara tersebut.
Sejumlah realis, biasa disebut realis sifat manusia atau realis klasik,[13] meyakini bahwa negara sebenarnya agresif dan perluasan wilayah dibatasi oleh negara berkuasa yang menentangnya. Kaum realis ofensif/defensif[13] yakin bahwa negara terobsesi dengan keamanan dan kelangsungan hidup nasionalnya. Pandangan defensif dapat mengarah ke dilema keamanan, teori bahwa peningkatan keamanan sebuah negara dapat memicu ketidakstabilan yang lebih besar karena negara lain ikut mengembangkan militernya; keamanan pun berubah menjadi permainan menang-kalah yang hanya memperbolehkan keunggulan relatif.
Neorealisme atau realisme struktural[14] adalah pengembangan realisme yang dipaparkan oleh Kenneth Waltz dalam Theory of International Politics. Ini merupakan satu aliran dari neorealisme. Joseph Grieco telah menggabungkan pemikiran neorealis dengan pemikiran realis yang lebih tradisional. Aliran teori ini kadang disebut "realisme modern".[15] Neorealisme Waltz menyatakan bahwa dampak struktural harus dipertimbangkan ketika menilai perilaku suatu negara. Struktur didefinisikan sebagai prinsip penata sistem internasional yang bersifat anarkis dan pemerataan kemampuan di segala unit negara. Waltz juga menolak pengutamaan kekuasaan militer tradisional oleh realisme tradisional. Ia justru menganggap kekuasaan sebagai gabungan kemampuan sebuah negara.[16]
Pendahulu teori hubungan internasional liberal adalah "idealisme". Idealisme (atau utopianisme) dipandang secara kritis oleh tokoh-tokoh yang menganggap dirinya "realis", misalnya E. H. Carr.[18] Dalam hubungan internasional, idealisme (atau "Wilsonianisme" karena terkait dengan Woodrow Wilson) adalah aliran ilmu yang menyatakan bahwa negara harus menjadikan filsafat politik dalam negerinya sebagai kebijakan luar negerinya. Contohnya, seorang idealis percaya bahwa pengentasan kemiskinan di dalam negeri harus dibarengi pengentasan kemiskinan di luar negeri. Idealisme Wilson merupakan pendahulu teori hubungan internasional liberal yang kelak populer di kalangan "pembangun institusi" setelah Perang Dunia II.
Liberalisme menyatakan bahwa pilihan negara, bukan kemampuan negara, adalah penentu perilaku negara yang paling utama. Tidak seperti realisme, teori bahwa negara adallah pelaku tunggal, liberalisme juga menyertakan kemajemukan perilaku negara. Karena itu, pilihan setiap negara berbeda-beda tergantung faktor kebudayaan, sistem ekonomi, atau bentuk pemerintahan. Liberalisme juga berpendapat bahwa interaksi antarnegara tidak terbatas pada politik/keamanan (politik tinggi), tetapi juga ekonomi/budaya (politik rendah) lewat perusahaan, organisasi, atau perorangan. Alih-alih sistem internasional yang anarkis, ada banyak kesempatan kerja sama dan makna kekuasaan yang lebih luas, misalnya modal budaya (e.g., pengaruh film terhadap popularitas kebudayaan suatu negara yang kemudian menciptakan pasar ekspor ke seluruh dunia). Prinsip liberalisme lainnya adalah keunggulan absolut dapat dibentuk melalui kerja sama dan interdependensi, dna perdamaian pun dapat diciptakan.
Teori perdamaian demokratik menyatakan bahwa negara-negara demokrasi liberal tidak pernah (atau hampir tidak pernah) berperang dengan satu sama lain dan tidak banyak terlibat dalam konflik. Teori ini dianggap kontradiktif, apalagi setelah teori realis dan klaim empiris ini menjadi salah satu perdebatan besar dalam ilmu politik. Berbagai penjelasan telah diusulkan untuk teori perdamaian demokratik. Dalam buku Never at War, teori ini menyatakan bahwa negara-negara demokrasi pada umumnya melakukan diplomasi yang berbeda dengan negara-negara non-demokrasi. Kaum (neo)realis tidak sepakat dengan kaum liberal tentang teori ini; mereka sering menggunakan alasan struktural alih-alih pemerintah negara untuk menjelaskan perdamaian. Sebastian Rosato, kritikus teori perdamaian demokratik, mengambil contoh perilaku Amerika Seriakt terhadap negara-negara demokrasi kiri di Amerika Latin semasa Perang Dingin untuk menolak teori perdamaian demokratik.[19] Argumen lain dari teori ini adalah interdependensi ekonomi cenderung mengurangi kemungkinan perang antarmitra dagang.[20] Sebaliknya, kaum realis mengklaim bahwa interdependensi ekonomi meningkatkan kemungkinan konflik.
Neoliberalisme, institusionalisme liberal, dan institusionalisme neoliberal[21] merupakan bentuk terkini dari pemikiran liberal. Neoliberalisme menyatakan bahwa lembaga internasional dapat mendorong kerja sama antarnegera dalam sistem internasional.
Interdependensi Kompleks
Menanggapi neorealisme, Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye mengembangkan teori bantahan yang mereka sebut "Interdependensi Kompleks". Keohane dan Nye menulis, "... interdependensi kompleks kadang lebih sesuai dengan dunia nyata daripada realisme." Keohane dan Nye memaparkan tiga asumsi dalam realisme: Pertama, negara adalah unit yang utuh dan terdapat pelaku dominan dalam hubungan internasional; kedua, paksaan adalah instrumen kebijakan yang dapat digunakan dan efektif; ketiga, politik internasional memiliki hierarki.
Inti utama argumen Keohane dan Nye adalah dalam politik internasional, terdapat beberapa saluran yang menghubungkan masyarakat selain sistem negara Westfalen yang konvensional. Saluran ini muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari hubungan pemerintahan tak resmi sampai perusahaan multinasional dan organisasi internasional. Mereka menjelaskan pemikirannya sebagai berikut: hubungan antarnegara adalah saluran yang diperkenalkan oleh kaum realis; hubungan lintas pemerintahan terjadi ketika satu pihak berasumsi bahwa negara-negara bekerja sama sebagai satu unit; dan hubungan lintas negara terjadi ketika satu pihak berasumsi bahwa negara bukanlah satu-satunya unit yang ada. Lewat saluran-saluran inilah pertukaran politik terjadi, bukan saluran antarnegara terbatas yang selalu diagung-agungkan kaum realis.
Kedua, Keohane dan Nye berpendapat bahwa kenyataannya tidak ada tingkatan persoalan. Kebijakan luar negeri bukanlah alat utama untuk melaksanakan agenda negara, dan ada banyak agenda yang menjadi pusat perhatian. Batas antara kebijakan dalam negeri dan luar negeri semakin kabur karena tidak ada agenda yang jelas dalam hubungan antarnegara.
Terakhir, penggunaan kekuatan militer tidak dilaksanakan apabila interdependensi kompleks berhasil. Di negara-negara yang mengalami interdependensi kompleks, militer tidak perlu lagi dilibatkan dalam penyelesaian masalah. Namun demikian, Keohane dan Nye menyatakan bahwa peran militer sebenarnya penting dalam "hubungan politik dan militer sebuah blok dengan blok lain."
Pascaliberalisme
Salah satu versi teori pascaliberal menyatakan bahwa dalam dunia modern yang mengglobal, negara harus bekerja sama untuk menjamin keamanan dan kedaulatannya. Perpindahan dari teori liberal klasik ke pascaliberalisme lebih jelas terlihat pada penafsiran ulang konsep kedaulatan dan otonomi. Otonomi menjadi konsep bermasalah yang berubah dari konsep kebebasan, penentuan nasib sendiri, dan kelembagaan menjadi konsep yang penuh tanggung jawab dan beban. Otonomi terkait dengan kapasitas atau kemampuan untuk membentuk tatakelola pemerintahan yang baik. Sama halnya, kedaulatan juga mengalami perubahan dari hak menjadi tugas. Dalam ekonomi global, organisasi internasional memberi tanggung jawab kepada negara berdaulat sehingga memunculkan keadaan ketika kedaulatan diciptakan oleh beberapa negara "berdaulat". Konsep ini menjadi versi lain dari tatakelola pemerintahan yang baik dan tidak bisa lagi diakui sebagai hak yang mutlak (absolut). Salah satu cara menafsirkan teori ini dengan tepat adalah: demi mempertahankan kestabilan dan keamanan global dan menyelesaikan persoalan sistem dunia anarkis dalam hubungan internasional, tidak boleh ada lembaga berwenang yang berdaulat, global, dan memiliki kekuasaan yang berlebihan. Negara secara kolektif mengabaikan hak-haknya untuk memiliki otonomi dan kedaulatan penuh.[22]
Berdasarkan filsafat politik pasca-Perang Dingin dan transisi demokrasi di Amerika Latin, versi lain dari pascaliberalisme menyatakan bahwa kekuatan sosial dari bawah juga harus dipertimbangkan untuk memahami sifat negara dan sistem internasional. Tanpa memahami kontribusi mereka terhadap tatanan politik dan kemungkinan progresifnya, terutama dalam perdamaian lokal dan internasional, kelemahan negara, kegagalan perdamaian liberal, dan tantangan terhadap pemerintahan global tidak dapat diwujudkan atau dipahami dengan baik. Lebih jauh lagi, dampak kekuatan sosial terhadap kekuasaan politik dan ekonomi, struktur, dan lembaga memberi secercah bukti empiris mengenai rangkaian peralihan yang rumit dalam hubungan internasional.[23]
Konstruktivisme atau konstruktivisme sosial[26] disebut-sebut sebagai tantangan terhadap dominasi teori hubungan internasional neoliberal dan neorealis.[27] Michael Barnett menulis bahwa teori hubungan internasional konstruktivis mempelajari bagaimana pemikiran menentukan struktur internasional, bagaimana struktur menentukan kepentingan dan identitas negara, dan bagaimana negara dan non-negara menyusun kembali struktur ini.[28] Elemen utama konstruktivisme adalah kepercayaan bahwa "politik internasional dibentuk oleh pemikiran persuasif, nilai kolektif, identitas budaya, dan identitas sosial." Konstruktivisme berpendapat bahwa kenyataan internasional dibentuk secara sosial oleh struktur-struktur kognitif yang memberi makna bagi dunia nyata.[29] Teori ini muncul melalui perdebatan terkait metode ilmiah teori hubungan internasional dan peran teori dalam menentukan kekuasaan internasional.[30]Emanuel Adler menyatakan bahwa konstruktivisme berada di antara teori hubungan internasional rasionalis dan interpretatif.[29]
Kegagalan realisme atau liberalisme dalam memprediksi akhir Perang Dingin turut meningkatkan kredibilitas teori konstruktivis. Teori konstruktivis mengkritik asumsi teori hubungan internasional tradisional yang tidak berubah dan menegaskan bahwa hubungan internasional merupakan suatu konstruksi sosial. Konstruktivisme adalah teori yang kritis terhadap dasar ontologis teori hubungan internasional rasionalis.[31] Bila realisme mementingkan keamanan dan kekuasaan materi, dan liberalisme mementingkan interdependensi ekonomi dan faktor-faktor dalam negeri, konstruktivisme lebih mementingkan peran pemikiran dalam membentuk sistem internasional; sebenarnya ada kemungkinan tumpang tindih antara konstruktivisme dengan realisme atau liberalisme, namun ketiganya tetap terpisah. Kata "pemikiran" atau "ide" mengacu pada tujuan, ancaman, ketakutan, identitas, dan elemen persepsi kenyataan lain yang memengaruhi negara dan non-negara dalam sistem internasional. Konstruktiis percaya bahwa faktor-faktor ideasional (pemikiran) ini kadang memiliki dampak yang lebih besar, bahkan melampaui kekuasaan materi.
Contohnya, kaum konstruktivis memandang bahwa peningkatan ukuran militer Amerika Serikat lebih masuk akal bila dikaitkan dengan Kuba, antagonis lama Amerika Serikat, daripada Kanada, sekutu dekat Amerika Serikat. Karena itu, persepsi harus ikut diperhitungkan dalam membentuk sistem internasional. Kaum konstruktivis tidak menganggap anarki sebagai pondasi tunggal sistem internasional.[32] Mengambil kata-kata Alexander Wendt, kaum konstruktivis melihat bahwa "anarki adalah sesuatu yang diciptakan negara" (anarchy is what states make of it).[33] Konstruktivis juga meyakini bahwa norma sosial, alih-alih keamanan, merupakan hal yang membentuk dan mengubah kebijakan luar negeri seiring waktu berlalu.
Teori hubungan internasional Marxis dan Neo-Marxis merupakan paradigma strukturalis yang menolak pandangan konflik negara atau kerja sama versi realis/liberal dan berfokus pada aspek ekonomi dan materialnya. Pendekatan Marxis mengambil sikap materialisme sejarah dan berasumsi bahwa masalah ekonomi merupakan masalah yang paling utama. Pendekatan Marxis menjadikan kenaikan kelas sosial sebagai fokus studinya. Kaum Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terpadu yang berusaha mengejar akumulasi modal. Subdisiplin HI Marxis adalah studi keamanan kritis. Pendekatan Gramscian bergantung pada pemikiran Antonio Gramsci yang menyangkut hegemoni kapitalisme. Pendekatan Marxis juga menjadi inspirasi para teoriwan kritis seperti Robert W. Cox yang berpendapat bahwa "Teori selalu untuk orang tertentu dan tujuan tertentu".[34]
Salah satu pendekatan utama Marxis dalam teori hubungan internasional adalah teori sistem duniaImmanuel Wallerstein yang dapat ditelusuri kembali hingga pemikiran Lenin dalam buku Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. Teori sistem dunia menyatakan bahwa kapitalisme global menciptakan beberapa negara industri modern yang mengeksploitasi negara "Dunia Ketiga". Ide ini dikembangkan oleh mazhab dependensi Amerika Latin. Pendekatan "Neo-Marxis" atau "Marxis Baru" kembali bergantung pada karya-karya Karl Marx. Tokoh "Marxis Baru" utama meliputi Justin Rosenberg dan Benno Teschke. Pendekatan Marxis mengalami kebangkitan sejak komunisme runtuh di Eropa Timur.
Para kritikusnya menyoroti fokus Marxis yang sempit terhadap aspek ekonomi dan materi.
"Mazhab Inggris" dalam teori hubungan internasional, biasa disebut Masyarakat Internasional, Realisme Liberal, Rasionalisme, atau Institusionalisme Britania, menyatakan bahwa di tingkat internasional terdapat perkumpulan negara (society of states) meski dunia berada dalam tatanan anarki, ketiadaan penguasa atau negara dunia. Walaupun disebut mazhab Inggris, banyak pengikut mazhab Inggris yang bukan berkebangsaan Inggris atau berasal dari Britania Raya.
Sebagian besar prinsip dasar mazhab Inggris berfokus pada penilaian tradisi teori internasional masa lalu dan membaginya menjadi tiga bagian seperti yang disampaikan Martin Wight dalam kuliahnya di London School of Economics tahun 1950-an:
Dalam artian luas, mazhab Inggris selalu mendukung tradisi rasionalis atau Grotian dan mencari jalan tengah (via media) antara politik kekuasaan a la realisme dan "utopianisme" revolusionisme. Mazhab Inggris menolak pendekatan behavioralis terhadap teori hubungan internasional. Teori hubungan internasional telah menjadi cara yang lazim untuk mempelajari dasar-dasar dan asal mula hubungan internasional.
Fungsionalisme adalah teori hubungan internasional yang muncul setelah integrasi Eropa. Alih-alih menganggap kepentingan diri sebagai faktor pendorong, kaum fungsionalis lebih mengutamakan kepentingan bersama yang dimiliki semua negara. Integrasi memiliki dinamika internalnya sendiri. Karena negara melakukan integrasi di bidang fungsional atau teknis yang terbatas, mereka melihat kesempatan untuk melakukan integrasi di bidang yang lain. "Tangan tak terlihat" dalam fenomena integrasi ini disebut "limpahan" (spillover). Meski integrasi bisa dilawan, jangkauan integrasi semakin sulit dibendung setelah dijalankan. Penerapan teori seperti ini dalam hubungan internasional merupakan makna fungsionalisme yang kurang lazim.
Pada umumnya, fungsionalisme merupakan teori yang menggolongkan fenomena sebagai fungsi (bukan aktor) dalam sebuah sistem. Immanuel Wallerstein menggunakan teori fungsionalisme ketika ia menyatakan bahwa sistem politik internasional Westfalen tercipta untuk mengamankan dan melindungi perkembangan sistem kapitalis internasional. Teorinya disebut "fungsionalis" karena menyatakan bahwa sebuah peristiwa adalah fungsi dari pilihan sistem, bukan pilihan agen. Fungsionalisme berbeda dengan argumen struktural atau realis. Meski sama-sama menari penyebab struktural yang lebih luas, kaum realis (dan strukturalis pada umumnya) berpendapat bahwa struktur memberi insentif kepada agen, sedangkan kaum fungsionalis berpendapat bahwa kuasa sebab dimiliki oleh sistem itu sendiri dan tidak melewati agen.
Teori kartel negara dalam hubungan internasional berasal dari teori ekonomi institusional lama, teori kartel swasta atau perusahaan. Teori ini berasal dari Jerman karena negara tersebut pernah menjadi kartel ekonomi maju tertinggi di dunia dan tempat berkembangnya teori kartel klasik. Teori kartel negara menggunakan berbagai metode, mulai dari evaluasi data positivis sampai analisis sosioekonomi kritis atau metode-metode refleksif seperti kritik terhadap pemikiran atau ideologi. Di antara teori-teori hubungan internasional, teori kartel negara merupakan teori yang paling banyak kesamaannya dengan fungsionalisme. Berbeda dengan fungsionalisme, teori kartel negara lebih berfokus pada teori organisasi internasional.
Pascastrukturalisme berbeda dengan pendekatan politik internasional yang lain karena pascastrukturalisme tidak menganggap dirinya sebagai sebuah teori, mazhab, atau paradigma yang menghasilkan satu pendapat tunggal mengenai suatu subjek. Pascastrukturalisme adalah pendekatan, sikap, atau etos yang mengkritik dengan cara tertentu. Pasastrukturalisme menganggap kritik itu kegiatan positif yang membuka kemungkinan alternatif lain.
Pasakolonialisme memberi pendkeatan teori kritis terhadap HI dan tergolong aliran HI yang berlawanan arus (non-mainstream). Pascakolonialisme berfokus pada bentuk-bentuk kekuasaan kolonial dan eksistensi rasisme dalam politik dunia.[36]
Sudut pandang evolusi
Sudut pandang evolusi, seperti teori psikologi evolusi, disebut-sebut mampu menjelaskan berbagai fitur hubungan internasional. Manusia zaman dulu tidak hidup di dalam negara dan jarang berinteraksi dengan kelompok di luar wilayah setempatnya. Namun demikian, berbagai mekanisme psikologi yang berevolusi, terutama mekanisme yang berkaitan dengan interaksi antarkelompok, dapat memengaruhi hubungan internasional masa kini. Jenis-jenisnya meliputi mekanisme pertukaran sosial, berbohong dan mendeteksi kebohongan, konflik status, kepemimpinan, perbedaan dan bias ingroup dan outgroup, koalisi, dan kekerasan. Konsep-konsep evolusi seperti kebugaran inklusif juga dapat membantu menjelaskan kelemahan konsep-konsep seperti egotisme yang sangat penting bagi kaum realis dan teori pilihan rasional dalam hubungan internasional.[37][38]
Sudut pandang queer dan transgender
Pendidikan hubungan internasional queer bertujuan memperluas cakupan dan metode teori hubungan internasional tradisional agar melibatkan pendekatan jenis kelamin dan gender yang sering kali diabaikan dalam disiplin ilmu ini. Meski berkaitan dengan teori feminis dan studi gender, serta pascastrukturalisme, teori HI queer tidak mengacu pada bidang hubungan internasional tertentu. Teori hubungan internasional queer berusaha mengungkap bagaimana seksualitas dan gender memengaruhi politik internasional. Teori ini juga menjelaskan bagaimana pengetahuan dan praktik queer dibatasi, disamaratakan, atau dimanfaatkan oleh pusat-pusat kekuasaan pada umumnya; bagaimana identitas queer sering dijadikan fokus kebijakan dalam dan luar negeri di negara-negara heteronormatif; dan bagaimana dikotomi tatanan-versus-anarki dalam teori hubungan internasional tradisional menunjukkan jati dirinya dalam dikotomi normal-versus-menyimpang dan hetero/homonormatif-versus-queer. Teori HI queer menjadikan teori hubungan internasional tradisional (perang dan perdamaian, ekonomi politik internasional, dan pembangunan negara dan bangsa) sebagai subjek kajiannya. Teori ini juga memperluas cakupan dan metodenya sampai ke luar cakupan dan metode realisme. Secara ontologis, HI queer mengambil sudut pandang yang berbeda dibandingkan HI tradisional. HI queer ingin memenuhi kebutuhan berbagai kelompok queer secara non-monolitik, termasuk trans*-, inter-, cross-, dan pan- gender, jenis kelamin, dan seksualisasi. Secara epistemologis, HI queer mencari metodologi alternatif selain yang biasa diterapkan dalam HI karena HI queer menyoroti dimensi seks dari pengetahuan dalam hubungan internasional.[39]
Pada umumnya, kritikus teori queer, khususnya HI queer, mempertanyakan kekhawatiran akan pengabaian atau pengucilan kelompok-kelompok tertentu. Walaupun HI queer melibatkan orang-orang transgender dalam cakupannya, sejumlah pihak berpendapat bahwa penekanannya terhadap seksualitas tidak berhasil mewakili pengalaman transgender. Susan Stryker menyatakan bahwa pendekatan teori queer malah menjadikan 'T' dalam LGBT sebagai identitas seks yang terpisah, "bukan sesuatu yang lintas seksualitas layaknya ras atau kelas yang mengungkap bagaimana semua identitas menunjukkan kekhasannya masing-masing.” Meski kerangka teori queer masih menghargai karya transgender, Stryker mengatakan bahwa 'queer' kadang dijadikan kode untuk menyebut 'gay' atau 'lesbian' dan diam-diam mengabaikan isu-isu transgender dengan mengutamakan orientasi dan identitas seks. Stryker pun meminta agar kajian transgender berjalan di jalurnya sendiri.[40]
Laura Sjoberg mendukung penggabungan teori trans dan teori feminis dalam hubungan internasional. Ia menawarkan sejumlah perbaikan yang dimiliki teori trans untuk teori HI feminis, termasuk pemahaman hierarki gender yang lebih beragam terhadap pendekatan kaum pluralis mengenai seks, pandangan gender secara holistik yang enggan memandang gender sebagai rekayasa sosial atau keutamaan biologis, serta peningkatan kesadaran bahwa gender turut melibatkan hubungan kekuasaan antarjenis kelamin dan antargender. Selain itu, Sjoberg berpendapat bahwa teori trans memberi kontribusi penting bagi pemahaman politik global oleh HI tradisional. Diskusi mengenai 'kenyataan,’ kenampakan, ketidaktampakan, dan kenampakan lebih dalam teori transgender dapat diterapkan pada persoalan identitas, hubungan antara individu dan kelompok, dan pelaksanaan norma dalam HI. Pemahaman transgender mengenai transisi dan liminalitas dapat memenuhi kebutuhan HI tradisional akan bukti perubahan dan perlawanan dalam sistem internasional. "Crossing” dan “passing” dalam teori trans bisa membantu menjelaskan proses, logika, dan konsekuensi perubahan identitas negara. Terakhir, disidentifikasi transgender, entah karena gerakan eksklusi atau jenis kelamin yang diterimanya, mampu meredakan "masalah perbedaan" dalam hubungan internasional. Karena itu, Sjoberg mendukung penggabungan teori trans dalam teori HI feminis demi memperbaiki penjelasan dan pemahaman politik global.[41]
^Reus-Smit, Christian. "Constructivism." Theories of International Relations, ed. Scott Burchill ... [et al.], pp.209, 216. Palgrave, 2005.
^Burchill, Scott and Linklater, Andrew "Introduction" Theories of International Relations, ed. Scott Burchill ... [et al.], p.1. Palgrave, 2005.
^Burchill, Scott and Linklater, Andrew "Introduction" Theories of International Relations, ed. Scott Burchill ... [et al.], p.6. Palgrave, 2005.
^Burchill, Scott and Linklater, Andrew "Introduction" Theories of International Relations, ed. Scott Burchill ... [et al.], p.7. Palgrave, 2005.
^Smith,Owens, "Alternative approaches to international theory", "The Globalisation of World Politics", Baylis, Smith and Owens, OUP, 4th ed p176-177
^See Forde, Steven,(1995), 'International Realism and the Science of Politics:Thucydides, Machiavelli and Neorealism,' International Studies Quarterly 39(2):141-160
^Lamy,Steven, Contemporary Approaches:Neo-realism and neo-liberalism in "The Globalisation of World Politics, Baylis, Smith and Owens, OUP, 4th ed,p127
^Lamy, Steven, "Contemporary mainstream approaches: neo-realism and neo-liberalism", The Globalisation of World Politics, Smith, Baylis and Owens, OUP, 4th ed, pp.127-128
^E Gartzk, Kant we all just get along? Opportunity, willingness, and the origins of the democratic peace, American Journal of Political Science, 1998
^Brian C. Schmidt, The political discourse of anarchy: a disciplinary history of international relations, 1998, p.219
^Rosato, Sebastian, The Flawed Logic of Democratic Peace Theory, American Political Science Review, Volume 97, Issue 04, November 2003, pp.585-602
^Copeland, Dale, Economic Interdependence and War: A Theory of Trade Expectations, International Security, Vol. 20, No. 4 (Spring, 1996), pp.5-41
^Sutch, Peter, Elias, 2006, Juanita, International Relations: The Basics, Routledge p.11
^Chandler, David (2010). International Statebuilding - The Rise of the Post-Liberal Paradigm. Abingdon, Oxon: Routledge. hlm. 43–90. ISBN978-0-415-42118-8.
^Stephen M. Walt, Foreign Policy, No. 110, Special Edition: Frontiers of Knowledge. (Spring, 1998), p.41: "The end of the Cold War played an important role in legitimizing constructivist theories because realism and liberalism failed to anticipate this event and had trouble explaining it.
^Hay, Colin (2002) Political Analysis: A Critical Introduction, Basingstoke: Palgrave, P. 198
^Hopf, Ted, The Promise of Constructivism in International Relations Theory, International Security, Vol. 23, No. 1 (Summer, 1998), p.171
^Michael Barnett, "Social Constructivism" in The Globalisation of World Politics, Baylis, Smith and Owens, 4th ed, OUP, p.162
^ abAlder, Emmanuel, Seizing the middle ground, European Journal of International Relations, Vol .3, 1997, p.319
^K.M. Ferike, International Relations Theories:Discipline and Diversity, Dunne, Kurki and Smith, OUP, p.167
^In international relations ontology refers to the basic unit of analysis that an international relations theory uses. For example for neorealists humans are the basic unit of analysis
^Wendt, Alexander, "Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics" in International Organization, vol. 46, no. 2, 1992
^Cox, Robert, Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory
Cox Millennium - Journal of International Studies.1981; 10: 126-155
^Baylis, Smith and Owens, The Globalisation of World Politics, OUP, 4th ed, p187-189
^Bradley A. Thayer. Darwin and International Relations: On the Evolutionary Origins of War and Ethnic Conflict. 2004. University Press of Kentucky.
^Bradley A. Thayer. Darwin and International Relations Theory: Improving Theoretical Assumptions of Political Behavior. 2010. Prepared for Presentation at the 60th Political Studies Association Annual Conference Edinburgh, Scotland. http://www.psa.ac.uk/journals/pdf/5/2010/1024_897.pdfDiarsipkan 2013-03-06 di UK Web Archive
^Weber, Cynthia. “Queer International Relations: From Queer to Queer IR.” International Studies Review 16 (2014). 596–622. Web. March 10. 2015.
^Stryker, Susan. “Transgender Studies: Queer Theory’s Evil Twin.” GLQ: A Journal of Lesbian and Gay Studies 10.2 (2004). 212-215. Web. March 21. 2015.
^Sjoberg, Laura. “Towards Trans-gendering International Relations?” International Political Sociology 6 (2013). 337-354. Web. April 7. 2015.
Bacaan lanjutan
Baylis, John; Steve Smith; and Patricia Owens. The Globalisation of World Politics, OUP, 4th ed 2008
Burchill, et al. eds. Theories of International Relations, 3rd edition, Palgrave 2005, ISBN 1-4039-4866-6
Chernoff, Fred. Theory and Meta-Theory in International Relations: Concepts and Contending Accounts, Palgrave Macmillan
Guilhot Nicolas, ed. The Invention of International Relations Theory: Realism, the Rockefeller Foundation, and the 1954 Conference on Theory (2011)
Hedley Bull, The Anarchical Society, Columbia University Press.
Morgenthau, Hans. Politics Among Nations
Srenson, Robert, and Georg Sorensen (2006) Introduction to International Relations: theories and approaches. Oxford, OUP, 3rd ed
Waltz, Kenneth. Theory of International Politics
Waltz, Kenneth. Man, the State, and War, Columbia University Press.
Weber, Cynthia. International Relations Theory. A Critical Introduction, 2nd edition, Taylor & Francis 2004, ISBN 0-415-34208-2
Wendt, Alexander. Social Theory of International Politics, Cambridge University Press