Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Wayang wahyu

Hiasan berbentuk gunungan dengan gambaran Yesus

Wayang wahyu merupakan kreasi baru dari pertunjukkan wayang dengan cerita atau lakon berdasarkan dari ajaran kitab suci kristiani. Ceritanya diambil berdasarkan kisah keagamaan Katolik dan awalnya dikenal dengan nama Wayang Katolik. Penyebutan ini berubah menjadi Wayang Wahyu karena kisah pertunjukkan wayang ini menceritkan penyebaran wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada umat-Nya.[1]

Sejarah

Wayang wahyu diciptakan pada tanggal 2 Februari 1960 di Surakarta berdasarkan dari gagasan Bruder Timotheus L. Wignyosoebroto. Dua tahun sebelumnya, ia menyaksikan pertunjukkan wayang kulit yang didalangi oleh M. M. Atmowijoyo yang ceritanya diambil dari Kitab Perjanjian Lama yakni Kisah "Dawud Mendapatkan Wahyu Kraton" tetapi terdapat modifikasi kisah dari Mahabarata episode "Wahyu Cakraningrat". Sejak itulah, Brother Timotheus berpikir untuk menyajikan kisah-kisah keagamaan Katolik yang dibalut dalam tradisi pewayangan.[1]

Penyajian

Sama seperti dengan pertunjukkan wayang pada umumnya, wayang wahyu ditampilkan dengan menggunakan musik gamelan Jawa dan ada dalang yang bernarasi mengisahkan babak demi babak. Bahasa Jawa digunakan selama pertunjukkan berlangsung. Wayang Wahyu ini dibuat dari bahan kulit kerbau dengan teknik tatah sungging seperti lakon pada wayang purwa tetapi karakternya dibuat tak seperti gambar yang realistis. Biasanya wayang ini dipertontonkan ketika perayaan natal atau paskah di gereja-gereja Katolik. Kadang kala Wayang Wahyu dipertontonkan ketika ulang tahun gereja atau perayaan keagamaan yang terkait.

Kisah Wayang Wahyu mengambil cerita-cerita keagamaan dari injil, baik perjanjian lama maupun perjanjian baru seperti kisah Kelahiran dan Kematian Yesus, Samson dan Delilah, David dan Goliath, kisah Yohanes Pembaptis, dan masih banyak lagi lainnya.

Catatan kaki

  1. ^ a b Marzanna, Poplawska (2004). ""Wayang Wahyu" as an Example of Christian Forms of Shadow Theatre". Asian Theatre Journal. 21 (2). Diakses tanggal 20 Februari 2019. 
Kembali kehalaman sebelumnya