Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
꧋ꦟꦒꦫꦶꦏꦑꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦓꦾꦑꦂꦡ​ꦲꦢꦶꦟꦶꦁꦫꦡ꧀꧈
Kesultanan Yogyakarta
كَسُلطَانَن ڠايَوڮِيَاكَرتَ هَادِينِيڠرَت
1755–sekarang
Lambang Kesultanan Yogyakarta Kesultanan Yogyakarta
Lambang Kesultanan Yogyakarta
Wilayah Yogyakarta pada 1830 (warna hijau)
Wilayah Yogyakarta pada 1830 (warna hijau)
Ibu negaraKota Yogyakarta
Bahasa yang umum digunakanJawa 1755-1950, Belanda 1755-1811; 1816-1942, Inggris 1811-1816, Jepun 1942-1945, Indonesia 1945-1950
Agama
Islam, Kejawen
KerajaanMonarki, kesultanan
Sultan 
• 1755-1792
ISKS Hamengkubuwana I
• 1940-1950
ISKS Hamengkubuwana IX
• 1989-kini
ISKS Hamengkubuwana X
Pepatih Dalem (Perdana Menteri) 
• Pertama (1755-1799)
Danureja I
• Terakhir (1933-1945)
Danureja VIII
Sejarah 
13 Februari 1755
• Menyertai Republik Indonesia
4 Mac sekarang
Didahului oleh
Diganti oleh
Kesultanan Mataram
Kadipaten Paku Alaman
Daerah Istimewa Yogyakarta
Sultan Yogyakarta tetap memegang kuasa penuh dan kuasa mentadbir kerajaan Negeri Yogyakarta beserta jajah takhluknya sekalipun telah menjadi bahagian daripada Kerajaan Republik Indonesia.
Pagelaran Kraton Ngayogyakarta
Sri Sultan Hamengkubuwono X

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Pegon: كَسُلطَانَن ڠايَوڮِيَاكَرتَ هَادِينِيڠرَت) diasaskan oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, dengan baginda digelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Pemerintah Hindia Belanda mengiktiraf Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat melalui kontrak politik sebagai kerajaan dengan hak pemerintahan sendiri. Akhirnya, kontrak politik kesultanan tersebut tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47.

Pada saat Pengisytiharan Kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menghantar sebuah telegram kepada Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia. Telegram tersebut mencadangkan penggabungan Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta serta penggabungan entiti baru itu ke dalam negara Republik Indonesia yang baru. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII kemudian masing-masing menjadi Ketua Daerah dan Timbalan Ketua Daerah yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kesultanan Yogyakarta kini terletak di pusat Kota Yogyakarta.

Garis masa pembentukan kesultanan

  • 1577 - Ki Ageng Pemanahan membina istananya di Pasargede atau Kotagede. Semasa menjadi penguasa Mataram, beliau tetap setia kepada Sultan Pajang Adiwijaya.
  • 1584 - Ki Ageng Pemanahan mangkat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Kotagede. Sultan Pajang Adiwijaya kemudian melantik Sutawijaya, putera Ki Ageng Pemanahan, sebagai penguasa baru di Mataram. Kerana rumahnya terletak di sebelah utara pasar, Sutawijaya juga digelar "Ngabehi Loring Pasar". Bagaimanapun berbeza dengan ayahnya, Sutawijaya tidak hendak tunduk kepada Sultan Pajang Adiwijaya. Beliau ingin memiliki daerah kekuasaan sendiri, bahkan berhasrat menjadi raja di seluruh Pulau Jawa.
  • 1588 - Sutawijaya menjadi sultan Kerajaan Mataram. Baginda digelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" yang membawa pengertian Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Sebagai dalih kewajaran kekuasaannya, Senapati berpendirian bahawa Mataram mewarisi tradisi Kesultanan Pajang yang bererti bahawa Mataram berkewajiban melanjutkan tradisi penguasaan ke atas seluruh wilayah Pulau Jawa.
  • 1645 - 1677 - Selepas kemangkatan Sultan Agung, kerajaan Mataram mengalami kemerosotan yang luar biasa. Kemerosotan ini pada dasarnya diakibatkan oleh pertikaian dan perpecahan dalam keluarga Kerajaan Mataram sendiri yang dimanfaatkan oleh Syarikat Hindia Timur Belanda.

Lihat juga

Pautan luar


Kerajaan di Jawa
Kembali kehalaman sebelumnya