Bunga bangkai raksasa(Amorphophallus titanum Becc.) adalah tumbuhan dari famili talas-talasan (Araceae) endemik dari Sumatra, Indonesia, yang dikenal sebagai tumbuhan dengan bunga majemuk terbesar di dunia, meskipun catatan menyebutkan bahwa kerabatnya, A. gigas (juga endemik dari Sumatra) dapat menghasilkan bunga setinggi 5 m.[2] Kibut disebut juga sebagai bunga bangkai, yang disebabkan oleh bunganya yang dapat mengeluarkan bau seperti bangkai yang membusuk. Hal ini bertujuan untuk mengundang kumbang dan lalat untuk menyerbuki bunganya.
Tumbuhan ini memiliki dua fase dalam kehidupannya yang muncul secara bergantian, fase vegetatif dan fase generatif. Pada fase vegetatif muncul daun dan batang semunya. Tingginya dapat mencapai 6 m. Setelah beberapa waktu (tahun), organ vegetatif ini layu dan umbinyadorman. Apabila cadangan makanan di umbi mencukupi dan lingkungan mendukung, bunga majemuknya akan muncul. Apabila cadangan makanan kurang tumbuh kembali daunnya.
Bunganya sangat besar dan tinggi, berbentuk seperti lingga (sebenarnya adalah tongkol atau spadix) yang dikelilingi oleh seludang bunga yang juga berukuran besar. Bunganya berumah satu dan protogini: bunga betina reseptif terlebih dahulu, lalu diikuti masaknya bunga jantan, sebagai mekanisme untuk mencegah penyerbukan sendiri. Hingga tahun 2005, rekor bunga tertinggi di penangkaran dipegang oleh Kebun Raya Bonn, Jerman yang menghasilkan bunga setinggi 2,74 meter pada tahun 2003. Pada tanggal 20 Oktober 2005, mekar bunga dengan ketinggian 2,91 meter di Kebun Botani dan Hewan Wilhelma, Stuttgart, juga di Jerman. Namun, Kebun Raya Cibodas, Indonesia mengklaim bahwa bunga yang mekar di sana mencapai ketinggian 3,17 meter pada dini hari tanggal 11 Maret 2004.[6] Bunga mekar untuk waktu sekitar seminggu,
Di kawasan SPHT Taman Nasional Kayan Mentarang, jenis kibut ini dapat tumbuh dengan tinggi kisaran 1,5 meter dengan lebar sekitar 50–70 cm. Banyak dijumpai di sekitar pinggir sungai dan daerah dataran lembap. Bunga ini mekar sekitar bulan November dan yang terakhir dijumpai pada tanggal 23 November 2013 (Misoniman/POLHUT TN Kayan Mentarang). Pada fase vegetatif, kibut ini muncul daun dan batang mencapai 2,5 meter dengan diameter sekitar 25 cm.
Pendahuluan
Bunga bangkai dalam bahasa latin disebut Amorphophallus yang berasal dari bahasa Yunani Kuno “Amorphos” yang berarti “cacat, tanpa bentuk” dan “phallos” yang berarti “penis”.[7] Terdapat 170 jenis bunga bangkai di seluruh dunia dan sekitar 25 jenis di antaranya bisa ditemui di Indonesia yaitu delapan jenis di Sumatra, enam di Jawa, tiga di Kalimantan, dan satu di Sulawesi.[8]
Ciri-ciri
Warna kelopak merah hati, jingga, dan kehijauan.[7]
Warna tongkol keunguan serta kuning.
Mengeluarkan bau busuk.
Tingginya bisa mencapai 5 meter dan berdiameter 1,5 meter, bagian yang menjulang tinggi ke atas atau yang disebut spadix. Bagian pelindung bunga yang mekar disebut braktea
Di hutan sekunder, ladang-ladang penduduk, pinggir sungai atau di tepi hutan.
Siklus hidup
A. titanum memiliki tiga siklus hidup yang jelas, yaitu tahap vegetatif, dorman, dan generatif. Siklus vegetatif terutama untuk pertumbuhan umbi yang dapat mencapai bobot hingga 100 kg. Siklus ini dimulai pada awal musim hujan dengan dihasilkannya satu daun tunggal yang besar, dan berlangsung selama 6–12 bulan, dilanjutkan siklus dorman selama 1–4 tahun sebelum memasuki siklus pembungaan. Siklus pembungaan umumnya tidak teratur [10]
Perkembangbiakan
Bunga bangkai (Amorphophallus) mengalami dua fase dalam hidupnya yang berlangsung secara bergantian dan terus menerus, yakni fase vegetatif dan fase generatif. Pada fase vegetatif di atas umbi bunga bangkai tumbuh batang tunggal dan daun yang mirip daun pepaya. Hingga kemudian batang dan daun menjadi layu menyisakan umbi di dalam tanah. Fase selanjutnya, generatif yakni munculnya bunga majemuk yang menggantikan batang dan daun yang layu tadi.[7]
Perkembangbiakan juga dibantu oleh burung rangkong, yang di mana akan memakan biji dari bunga bangkai dan akan dibuang melalui feses, namun makin berkurangnya populasi burung rangkong akibat perdagangan liar maka populasi bunga bangkai juga berkurang.
Keragaman genetik
Keragaman genetik dideteksi dengan PCR menggunakan primer RAPD. Hasil menunjukkan bahwa diperoleh 143 fragmen DNA yang berukuran dari 100 bp hingga 1,1 Kb, di mana 137 (95,80%) di antaranya merupakan pita polimorfik dengan indeks marka yang tinggi. Rata-rata setiap primer menghasilkan 17,8 pita yang dapat dideteksi. Jumlah pita polimorfik tertinggi (23) terdapat pada primer OPU-07, sedangkan jumlah terendah (13) terdapat pada primer OPU-03.[9]
Populasi bunga bangkai liar sudah makin berkurang karena habitat alaminya banyak mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman. Penyebab lainnya adalah masyarakat yang merasa terancam dengan bau busuk bunga ini, lalu memotong bunga dan daunnya.[12]
Konservasi
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 (Lampiran PP. No. 7/1999)[13]
Kultur jaringan bunga bangkai sudah pernah dilakukan pada tahun 1988 oleh Kohlenbach.[15]
Pada tahun 2011, Irawati dkk, melakukan kultur in-vitro kembali dan berhasil mendapatkan planlet dari eksplan urat daun A.titanium, dengan menggunakan medium Murashige dan Skoog (MS) dan perlakuan penyinaran 1000 lux, 16 jam per hari dengan suhu 28 °C. Biakan diamati setelah 6–8 minggu setelah penanaman.
Fakta unik
Umbi pada bunga bangkai dapat digunakan sebagai bahan makanan, minuman, dan obat-obatan.[7]
Sebutir biji bunga bangkai membutuhkan waktu 20–40 tahun untuk berbunga.
Ketika mekar suhu bunga akan mencapai 50–60 oC dan mengeluarkan asap.
Lain-lain
Kibut sekarang telah tersebar di berbagai tempat di penjuru dunia, terutama dimiliki oleh kebun botani atau penangkar-penangkar spesialis. Di Amerika, bunga yang muncul sering kali diberi julukan atau nama tertentu dan selalu menarik perhatian banyak pengunjung.
^Hetterscheid, W., and S, Ittenbach. 1996. Everything you always wanted to know abaout Amorphophallus but were afraid to stick your nose into. Aroideana 19.p.7-131.
^ abYuyun,S, P., dan Yuzammi. 2008. Pendugaan Keragaman Genetik Amorphophallus titanum Becc. Berdasarkan Marka Random Amplifed Polymorphic DNA. Jurnal Biodiversitas 9(2): 103-107.
^Bown, D. 1988. Aroids, Plants of The Arun Family. London: Century.
^Esti, M. dan Yuzammi. 2016. Konservasi Ek-situ Jenis Amorphophallus SPP di Kebun Raya Liwa Kab. Lampung Barat, Provensi Lampung. Prosiding Seminar Nasional Biologi 85-92.
^ abcWijaksono, Katarina, U. N., Djaja, S.H., dan Irawati. 2012. Perbanyakan Amorphophallus titanum Becc (Araceae) dengan Teknologi In Vitro. Jurnal Biologi Indonesia 8(2): 343-354