RadenAdipati Arya Danoeningrat I (nama awal: Sayyid 'Alawi kemudian Raden Ngabehi Danukromo) adalah Bupati pertama Kabupaten Magelang setelah kawasan Kedu dipisahkan dari Kesultanan Yogyakarta pada masa Hamengkubuwana III. Bermula dari kegagalan Jan Willem Janssens dan pasukan gabungan Belanda-Perancisnya mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, maka pada 1811 jatuhlah pulau Jawa kedalam kekuasaan cengkraman Inggris. Pembangunan Jalan Raya Pos dan pabrik – pabrik senjata di Jawa ternyata tidak mampu membendung ekspedisi laut terbesar sepanjang sejarah, setidaknya sampai pecah perang dunia kedua. Melalui penandatanganan Rekapitulasi Tuntang, maka berakhir sudah pemerintahan Belanda-Perancis di bawah pimpinan adik Napoleon, Raja Ludewijk Bonaparte atas Jawa. Sejak saat itulah, Sir Thomas Stamford Raffles bertugas sebagai Gubernur Jendral atas tanah Hindia.
Setahun setelah Inggris berkuasa atas Tanah Jawa, Yogyakarta dibantu Surakarta melakukan pemberontakan kepada pemerintah Inggris. Pemberontakan ini dijawab Raffles dengan sebuah penyerbuan besar–besaran yang dikenal dengan Geger Sepoy. Peperangan ini mengakibatkan luluh lantaknya Keraton dan dijarahnya harta bendanya. Tidak hanya itu, kekalahan Yogyakarta juga berakibat pada diserahkannya beberapa wilayah Yogyakarta ke tangan Inggris. Pada 1 Agusuts 1812, Dataran Kedu yang mana Magelang termasuk di dalamnya berpindah tangan kepada pemerintahan Raffles. Penyerahan ini menjadi awal mula perubahan pola struktur pemerintahan Tanah Jawa, khususnya Magelang yang dulunya bercorak feodalistik dengan pengabdian pada Mataram (dalam hal ini Yogyakarta) dan kini menjadi bagian dari wilayah bawahan kolonial secara langsung.
Sebelum bergelar RadenAdipati Arya Danuningrat I, beliau bergelar R. Ng. Danukromo. Sebagai keturunan Arab, ia mempunyai nama asli 'Alwi dengan nama marga Basyaiban. Basyaiban merupakan salah satu marga keturunan Nabi Muhammad dan merupakan salah satu kabilah yang awal bermigrasi keluar Hadramaut.
Abdurrahman datuk keluarga ini setelah menginjakkan kaki di Cirebon memperistri Syarifah Khadijah putri Kesultanan Cirebon yang keturunan Sunan Gunungjati dari marga Azmatkhan. Dari pasangan ini lahirlah tiga putra yaitu Sulaiman, Abdurrahim dan Abdul Karim. Seperti keluarga Sadah lainnya, mereka aktif menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa dan membuat khawatir VOC.
Salah satu putra Abdurrahman yakni Sulaiman kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan dan mempunyai 4 putra yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir dan Ali Akbar. Sulaiman kemudian berdakwah lagi menuju Surakarta. Di Surakarta ia lebih dikenal sebagai seorang yang sakti mandraguna. Kesaktiannya membuat takjub Raja Mataram dan menginginkannya bergabung dengan pihak kerajaan. Sulaiman enggan dan melanjutkan perjalanan ke Surabaya untuk berguru di Pesantren Sunan Ampel. Utusan Raja Mataram berhasil mengetahui keberadaannya dan memintanya datang ke Surakarta. Singkat cerita, ia kemudian berangkat kembali, namun berdoa bahwa apabila perjalanan itu membawa keburukan lebih baik ia mati saja. Ternyata ia kemudian sakit di perjalanan dan meninggal di Mojoagung, Jombang. Ia dikenal sebagai Sayyid SulaimanMojoagung atau Pangeran Kanigoro atau Mbah Sulaiman.
Putra Sulaiman yakni Abdul Wahab kemudian mempunyai anak Muhammad Sa'id. Muhammad Sa'id mempunyai anak bernama Ki Mas Ahmad, menjadi Penghulu di Yogyakarta. Ki Mas Ahmad ini menjadi menantu patih Yogyakarta periode (1755-1799) yang juga pernah menjadi Bupati Banyumas tahun 1749-1755, yaitu Danurejo I. Ki Mas Ahmad di kemudian hari mengundurkan diri dan menetap di Krapyak. Dari pernikahannya lahirlah 3 putra: Hasyim, Abdullah, dan Alwi. Hasyim bergelar Wongsorejo (Raden TumenggungWongsorejo I). Abdullah adalah panglima pasukan berkuda bergelar Tumenggung Alap-alap di Madiun yang menikahi putri Hamengkubuwono II GKR Kartodipuro. Sedangkan Alwi bergelar R. Ng. Danoekromo, nantinya menjadi Bupati Magelang.
Awal Peran
Bupati Magelang memang keturunan Arab, muncul saat pendudukan Inggris, dan wafat saat perang Diponegoro.
Melihat posisi Magelang yang sangat strategis ditengah-tengah pulau Jawa, maka Raffles menjadikan Magelang sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Kedu. Ia menunjuk seorang resident bernama John Crawfurd untuk membenahi administrasi pemerintahan local di Karesidenan ini. Dalam tugas interennya, Crawfurd membutuhkan seorang pribumi untuk membantunya berurusan dengan pemerintahan lokal lain dan kepada rakyat setempat. Maka diambilah seorang mantan asisten Patih Danurejo III dari Yogyakarta bernama R. Ng. Danukromo sebagai Bupati Pertama Magelang pada 30 November dengan gelar RadenAdipati Arya Danuningrat I.
Karier di Yogyakarta
Danukromo muda sebagai cucu Patih Danurejo I berhasil mendapatkan jabatan di Kantor Kepatihan Yogyakarta. Di situ ia bekerja selama 4 tahun sebagai Asisten Pertama Patih Danurejo II (1799-1811), sepupunya. Pada tahun 1810, ia menjadi Demang Bojong di Kedu dengan tanah lungguh sebanyak 100 cacah. Pada November 1811 setelah Danurejo II terbunuh, ia kembali ke Jogja melayani Patih Danurejo III yang baru menjabat hingga Geger Sepoy. Saat Kraton Yogyakarta jatuh ke tangan Inggris dan Raffles memberlakukan landrent di wilayah Kedu pada 10 September 1812, maka Crawfurd sang residen membutuhkan orang yang cakap dari Yogyakarta sehingga mempekerjakan Danoekromo sebagai asisten hingga Desember 1813 saat ia diangkat menjadi Bupati Magelang.
Danoekromo diangkat menjadi Bupati Magelang pertama sesuai Magelang Vooruit 1935[1] yaitu :
"...menoeroet beslit Goebernemen pada 30 Nopember 1813 Mas Angabei Danoekromo ditetapkan dalam djabatannja oleh Pemerintah Belanda bergelar Raden Toemenggoeng Danoeningrat."
Bupati Pertama Kedu
Bagi Magelang, R. Ng. Danoekromo sangat berjasa pembangunan Magelang. Pada awal pemerintahannya, ia membangun infrastruktur utama dan pendirian sebuah pusat pemerintahan baru. Layaknya kabupaten-kabupaten lain di Jawa, keberadaan Alun-alun, Masjid dan Rumah Bupati adalah komponen penting yang mutlak harus ada dalam sebuah pusat pemerintahan.
Dalam penentuan lokasi pusat pemerintahan barunya ini, Danuningrat I tentunya tidak main-main. Demi menentukan lokasi alun-alun, Danuningrat I berkonsultasi terlebih dahulu kepada gurunya. Menurut petunjuk sang guru, sebuah tanah lapang diantara Desa Gelangan dan Desa Meteseh adalah lokasi yang paling tepat sebagai pusat pemerintahan Bupati Magelang. Selain bertanah lapang, lokasi itu juga sudah ditumbuhi pohon beringin yang membuat tanah ini sangat representatif sebagai alun-alun Kabupaten. Setelah penentuan lokasi alun-alun, maka Danuningrat I mulai mendirikan rumah bupati (regentswoning) disebelah utara alun-alun dan sebuah Masjid Agung (Groote Moskee) dibarat alun-alun.
Raffles yang mengagumi kebudayaan Jawa, mendukung langkah Danuningrat I dalam membuat alun-alun. Di samping sesuai dengan kultural Jawa, juga sejalan dengan pola pembangunan di Kerajaan Inggris pada masanya.
Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Kraton, Kadipaten) selalu dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Alun-alun secara kultural Jawa merupakan simbol keluasan titah manusia di dunia di mana unsur Makrokosmos dan mikrokosmos berpadu sebagai sebuah hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta, dan secara horisontal antara manusia dengan alam dan sesamanya.
Setelah Hindia kembali ke Belanda pada tahun 1813, Magelang secara otomatis juga menjadi daerah kolonial Belanda. Sejak itu, Belanda mulai mengembangkan Magelang menjadi kota yang maju dengan mendirikan sejumlah gedung di sekitar alun-alun tersebut, seperti GPIB (1817), Klenteng Liong Hok Bio (1864), Gereja Santo Ignatius (1865), Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (1878), Kantor Pos (1845), Menara Air (1920), dan lain-lain. Dari sinilah pembangunan berbagai infrastruktur terus berkembang pesat pada masanya.
Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alun-alun bukan sekadar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni di samping sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi alun-alun sudah berubah wajah, namun sebagai elemen kota berupa ruang terbuka umum, ruang publik, masih sangat diperlukan, dan bahkan alun-alun menjadi penanda penting dari Kota Magelang.
Setelah kurang lebih tiga tahun menjabat sebagai Bupati Magelang, terjadi perpindahan tangan antara Inggris dan Belanda. Perjanjian London yang berisi penyerahan kembali semua bekas jajahan Belanda yang pernah direbut Inggris membuat Magelang kembali ke tangan Kerajaan Belanda. Penyerahan kekuasaan Inggris ini terjadi di Benteng Willem I, Ambarawa pada 19 Agustus 1816. Dibawah pemerintahan Belanda ini, Danuningrat I kembali diangkat menjadi Bupati Kedu di Magelang.[2]
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro yang dimulai terhitung 20 Juli 1825 langsung meletup serentak se-Jawa karena sang pangeran telah mengirim puluhan surat kepada para Tumenggung di Jawa. Pada tanggal 23 Juli 1825 di Pisangan timur Magelang, Mulyosentiko dengan pasukan 400-500 orang bersenjatakan senapan berhasil menghadang bala bantuan Belanda yang sedang menuju Yogyakarta. Beberapa orang Belanda tewas, 30.000 Gulden berhasil dirampas dan dibawa ke Selarong.
Pada tanggal 31 Juli 1825 Pangeran Diponegoro mengutus çaraka Kasan Besari untuk menyampaikan surat ke masyarakat Kedu. Isinya agar membantu perjuangan mengusir penjajah, bagi yang melawan akan dipenggal lehernya. Ajakan ini ditanggapi dengan baik oleh rakyat di distrik Barat maupun Timur Magelang, namun tidak didukung oleh sang Bupati Magelang. Mungkin tumenggung yang beranak enam orang dari GKR Anom putri sultan ini alasan tertentu. Padahal, nun jauh di mancanegara timur di Madiun sang kakak Abdullah atau Tumenggung Alap-alap mengikuti ajakan Diponegoro untuk memberontak.
Mertawijaya dari desa Benda, distrik Probolinggo, Kedu selatan, tampil dalam gelanggang perang bersama saudaranya yaitu Raden Tumenggung Sumadirja, keduanya putra kepala distrik Kradenan di daerah Kedu Selatan. Probolinggo sebagai salah satu distrik Magelang di Tenggara ternyata menjadi salah satu basis Diponegoro dan terkumpul 55.000 orang yang kemudian menyerbu kota sang bupati yang hanya dijaga 50 orang pasukan Belanda. Rumah-rumah pejabat Belanda dibakar.
Danuningrat I kemudian mengumpulkan kekuatan ke Dimoyo (Jumoyo) dan berjaga di pos Kalijengking (700 meter di utara makam Cina). Kalijengking merupakan kali kecil saat ini namun saat itu merupakan sungai yang lebih besar, mengecil karena pernah terlewati luapan lahar Gunung Merapi sehingga hulu sungai terhambat material hingga kini. Tentang Danuningrat ini, Pangeran Diponegoro sempat menuliskannya dalam autobiografi beliau sebagai berikut :
"Secanegara memberitahukan, di Dimaya terdapat barisan besar dari daerah Kedu, Yang menjadi pemandi barisan Belanda ini Raden Tumenggung Danuningrat. Jumlahnya lebih dari 2.000 orang. Oleh karena merasa tidak mampu menghadapinya. Secanegara memberi tahu ke Selarong. Secanegara dan Kertanegara diberi bantuan prajurit Bulkiya, 363 orang banyaknya. Yang menjadi pemandunya Ki Muhammad Bahwi, yang waktu masih di Tegalreja menjadi penghulu. Usianya telah tua, namun hatinya sangat berani."
Ki Muhammad Bahwi bersikeras ingin ikut berperang dan rela mati berperang sabil sehingga ia kemudian konon diberi nama Muhammad Usman Ali Basah. Prajurit Bulkiya juga mempunyai dua orang Tumenggung yakni Haji Abdul Kadir, dan Haji Mustafa. Keduanya sangat pemberani. Kepada Secanegara dan Kertanegara juga disertakan dua orang ulama berpangkat Tumenggung yakni kyai guru di Mlangi bernama Muhammad Salim dan kyai guru di Kasongan bernama Abdul Rakup. Abdul Kadir, Muhammad Salim, Kasan Besari adalah anak K.H. Nur Iman (BPH Sandiyo) pemilik pondok Mlangi yang merupakan cikal ratusan ponpes di Jawa. Salim tewas dalam pertempuran ini sementara Kasan Besari kelak menemani Pangeran Diponegoro di pengasingan.
Kyai Usman Ali Basah mengerahkan kekuatan tombak pusaka pemberian bernama Ki Barutuba. Tombak pusaka itupun menyala. Melihat itu, semua prajurit Bulkiya semakin berani dan tidak ada yang merasa khawatir. Usman Ali Basah yang memimpin sayap kanan-kiri kemudian memberi aba-aba kepada teman-temannya. Bedug dibunyikan bertalu-talu, gong dan siyem bergantian berbunyi menghancurkan mental pasukan Danuningrat. Prajurit Bulkiya pun mengamuk maju serentak. Tembakan pasukan Danuningrat tidak mempunyai pengaruh apa-apa bagi pasukan ini. Saking ketakutannya, pasukan Belanda di bawah komando Hilmer tercatat hanya sempat menyulutkan meriam sebanyak 3 kali. Selanjutnya tombak dan sangkur pun beradu, pedang dan keris bergantian mencabut nyawa.
Dalam suratnya tertanggal 28 September 1825 kepada Jenderal De Kock, Residen Kedu Lo Clereg antara lain menyatakan bahwa Kalijengking Pos selatan karesidenan Kedu,
"Pagi hari telah diserang sebuah pasukan yang lebih besar. Letnan Hilmer telah terluka terkena sebuah peluru dan tujuh orang prajurit bersenjata bedil telah gugur di medan pertempuran. Sementara itu juga ada kemungkinan Bupati Magelang telah menjadi korban. Magelang menghadapi bahaya yang sangat besar, oleh karena distrik-distrik disebelah barat dan timur tidak mungkin dapat dipertahankan".
Prediksi Lo Clereg kemudian terbukti benar karena sang bupati wafat dengan dipenggal lehernya, sementara sembilan orang Belanda turut tewas. Nasib bupati Magelang ini ternyata menyusul nasib sama yang dialami oleh bupati Temanggung Ario Sumodilogo yang dipenggal oleh demangnya sendiri setelah dikejar berhari-hari hingga hutan daerah Krasak. Sang anjing peliharaan turut ditikam berkali-kali namun berhasil lari membawa sabuk sang bupati hingga rumah kadipaten. Sang anjing memandu anak buah Sumodilogo sampai tempat mayat sang bupati terbujur kaku tanpa kepala di bawah pohon besar. Sang anjing yang penuh luka di sekujur tubuh besarnya langsung mati menyusul tuannya di tempat itu. Sumodilogo dimakamkan di tempat tersebut dengan buah kelapa sebagai ganti kepalanya. Kedua kepala bupati tersebut dibawa ke Selarong dan diterima Sentot Alibasya Prawirodirdjo yang konon masih bersaudara. Kedua kepala dimakamkan di Selarong dengan baik dan konon sang penjagal kepala mengalami kematian yang sama yaitu terpenggal pula. Kmenghubungkan cara kematian Danuningrat I dengan cara dipenggal karena ia juga dikenal sakti dan mempunyai ilmu rawa rontek. Seperti kita tahu, masa lalu dipenuhi banyak kisah kesaktian para tokoh yang tidak bisa dipahami sebagian generasi saat ini. Adapun penjelasan logis tentang pemenggalan itu bisa dihubungkan dengan surat ancaman Diponegoro untuk memenggal kepala bagi pengikut Belanda.
Wafat
R. A. A. Danuningrat meninggal dalam perang di Kalijengking pada tanggal 30 September 1825 atau 19 Muharram 1241 H.[3] Putranya, Sayyid Hamdani kemudian menggantikannya sebagai Bupati bergelar R. A. A. Danuningrat II.