Hubungan antara Norwegia dan Uni Eropa (UE) merujuk pada hubungan bilateral antara Kerajaan Norwegia dengan Uni Eropa sebagai organisasi supranasional yang memayungi 28 negara Eropa. Sebagai bagian dari kawasan Eropa, Norwegia dan Uni Eropa memiliki kesamaan yang signifikan dalam berbagai hal, antara lain dalam segi geografis, historis, kultural, dan finansial. Namun, Norwegia bukanlah anggota dari Uni Eropa dikarenakan gagal mendapat persetujuan populer melalui dua referendum yang dihelat pada tahun 1972 dan 1994. Meski demikian, keduanya tetap menjalin hubungan yang erat dalam berbagai aspek, antara lain dalam aspek politik, ekonomi, dan perdagangan.
Hubungan antara Norwegia dengan Uni Eropa dapat diamati sejak berakhirnya Perang Dunia II. Periode pasca Perang Dunia II ditandai dengan berbagai upaya untuk membentuk Eropa yang lebih terintegrasi melalui berbagai organisasi multilateral. Dalam hal yang sama, periode pasca Perang Dunia II ditandai dengan kebijakan luar negeri yang lebih aktif di Norwegia.[1]
Pada tahun 1949 Norwegia menjadi salah satu dari 12 negara pendiri Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan juga salah satu dari sepuluh negara pendiri Majelis Eropa (CoE). Pada tahun 1951, lima negara pendiri NATO dan CoE yakni Belgia, Belanda, Luksemburg, Prancis, dan Italia, bersama dengan Jerman Barat mendirikan Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa (ECSC).[2] Pada tahun 1957, keenam negara tersebut melalui Perjanjian Roma mendirikan Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) sebagai suatu blok dagang regional.[3] Di sisi lain pada tahun 1960, Norwegia bersama dengan Austria, Swedia, Denmark, Portugal, Swiss, dan Inggris mendirikan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) sebagai imbangan dari EEC.[4] Pada tahun 1962, Norwegia bersama dengan Inggris, Denmark, dan Irlandia mengajukan permohonan keanggotaan EEC. Permohonan ini mengalami penolakan dari Prancis.[5] Permohonan yang sama pada tahun 1967 kembali ditolak oleh Prancis.
Pada tahun 1972, negara anggota EEC melalui Perjanjian Penerimaan membuka kesempatan bagi Norwegia, bersama dengan Inggris, Denmark, dan Irlandia untuk bergabung sebagai negara anggota.[6] Proposal ini gagal diratifikasi menyusul hasil referendum populer yang dimenangkan oleh kubu "Tidak" sebesar 53.5 persen.[7] Sebagai anggota EFTA, Norwegia membentuk perjanjian perdagangan bebas dengan negara anggota EEC pada tahun 1973.[8] Pada tahun 1984 EFTA dan EEC menandatangani Deklarasi Luksemburg yang bertujuan untuk memperluas area kerja sama antara negara anggota kedua organisasi.[9] Deklarasi tersebut disusul oleh Persetujuan Area Ekonomi Eropa (EEA) yang disetujui oleh EFTA dan EEC pada tahun 1992.[10] Persetujuan tersebut bertujuan untuk mengintegrasikan pasar negara anggota EFTA dan EEC dengan menciptakan pasar tunggal.[11] Menyusul terbentuknya Uni Eropa melalui Perjanjian Maastricht pada tahun 1993, proposal keanggotaan melalui Perjanjian Penerimaan kembali ditawarkan oleh negara anggota Uni Eropa pada tahun 1994 kepada Norwegia, bersama dengan Austria, Finlandia, dan Swedia.[12] Namun proposal ini kembali ditolak melalui referendum populer yang dimenangkan oleh kubu "Tidak" sebesar 52.5 persen.[7]
Selain kerja sama dalam bidang ekonomi, kerja sama dalam hal kebijakan luar negeri juga diatur dalam Persetujuan EEA. Difasilitiasi oleh Persetujuan EEA, para pemangku kebijakan maupun para ahli kebijakan luar negeri baik dari Norwegia maupun UE rutin melakukan pertemuan dan konsultasi dimulai sejak tahun 1995.[13] Selain itu, Norwegia sejak tahun 2001 tergabung dalam skema Schengen bersama negara-negara UE lainnya.[14]
Isu Keanggotaan
Norwegia telah berupaya menjadi negara anggota UE dan organisasi pendahulunya sebanyak empat kali, yakni pada tahun 1962, 1967, 1972, dan 1994. Dua upaya pada tahun 1962 dan 1967 ditolak oleh Prancis sebagai salah satu negara anggota, sedangkan upaya pada tahun 1972 dan 1994 tidak lolos melalui referendum.
Dalam dua referendum pada tahun 1972 dan 1994, isu keanggotaan Norwegia dalam UE menjadi isu yang diperdebatkan dengan sengit. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya perbedaan suara antara kubu yang menolak keanggotaan dalam UE dengan yang mendukung keanggotaan dalam UE, yakni sebesar 3.5 persen pada referendum tahun 1972 dan 2.2 persen pada referendum tahun 1994.[7]
Menurut Tor Bjørklund, penyebab kuatnya elemen penolakan dalam dua referendum adalah adanya kepentingan kelompok masyarakat, dan juga alasan kultural.[15] Dalam alasan pertama, penolakan tersebut didasari oleh kepentingan dari kelompok petani, nelayan, dan pegawai sektor publik dalam masyarakat Norwegia yang ingin mempertahankan peranan pemerintah yang signifikan dalam pekerjaan mereka.
Selanjutnya, terdapat beberapa alasan kultural. Pertama, kedaulatan masih menjadi isu sensitif dalam masyarakat Norwegia. Kedua, Norwegia secara tradisional memiliki ikatan perdagangan dan keamanan yang lebih kuat terhadap kawasan Nordik dan Atlantik Utara dibandingkan Eropa. Dan ketiga, kuatnya tradisi politik periferi yang egaliteri dan terdesentralisasi di Norwegia yang berlawanan dengan tradisi politik UE yang dipersepsikan sebagai elitis dan tersentralisasi.[15]
Pasca referendum 1994, perbedaan pendapat dalam masyarakat Norwegia mengenai isu keanggotaan cenderung berkurang. Pada tahun 2014, survei yang dilakukan oleh Sentio menunjukkan hasil 16.8 persen suara yang mendukung keanggotaan Norwegia dalam UE.[16] Survei yang sama oleh Sentio pada tahun 2017 menunjukkan peningkatan persentase pendukung menjadi 22 persen.[17]
Dari segi partai politik, isu keanggotaan dalam UE tidak menjadi perdebatan utama meskipun tiap partai politik memiliki posisinya tersendiri. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai koalisi yang terjalin antara partai pro-UE dengan partai UE-skeptis. Lebih lanjut, isu mengenai keanggotaan dalam UE sering kali diatur paragraf bunuh diri sebagai perjanjian politik antara partai-partai yang berkoalisi.
Partai
Posisi
Argumentasi utama yang tercantum dalam situs resmi partai
Dumping sosial, tidak demokratis; menarik diri dari EEA.[27]
Area Ekonomi Eropa (EEA)
Persetujuan EEA menjadi fondasi dasar dari hubungan antara Norwegia dengan UE.[28] Persetujuan tersebut menyatukan 27 negara anggota UE dengan tiga negara EFTA yakni Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein dalam sebuah Pasar Tunggal Eropa yang memiliki aturan yang sama. Persetujuan EEA memiliki tujuan untuk mempromosikan perdagangan dan hubungan eknomi yang lebih erat antara 30 negara anggota EEA. Selain itu, persetujuan EEA juga memberikan ruang bagi kerja sama di bidang bidang lain seperti pengembangan teknologi dan riset, pendidikan, pelatihan dan kepemudaan, dan pariwisata.[29]
Persetujuan EEA menjamin empat kebebasan ekonomi di antara 30 negara anggota. Empat kebebasan tersebut adalah kebebasan pergerakan barang, kebebasan pergerakan orang, kebebasan penyediaan jasa, dan kebebasan pergerakan modal.[29]
Norwegia memiliki hak untuk ikut serta dalam persiapan pembentukan peraturan dan akta hukum EEA melalui berbagai komite yang dibentuk oleh UE. Namun, Norwegia tidak memiliki hak suara dalam pengesahan aturan dan hukum baru tersebut.[32] Sebagai gantinya, Norwegia tetap memiliki hak veto atas implementasi dari aturan dan hukum baru tersebut, ditunjukkan dalam kasus penolakan direksi UE mengenai layanan pos pada tahun 2011.[32][33]Parlemen Norwegia pada umumnya mengadopsi seluruh aturan dan akta hukum UE tanpa penolakan.[34] Menurut laporan pemerintah, Norwegia di bawah Persetujuan EEA telah mengadopsi kurang lebih 75 persen dari seluruh akta hukum UE dalam hukum nasionalnya.[35] Laporan dari sumber lain menyebutkan bahwa Norwegia hanya mengadopsi sekitar 9 persen hingga 28 persen dari seluruh akta hukum UE.[36]
Di bawah skema EEA dan kerja sama bilateral, Norwegia berpartisipasi langsung dalam 12 program UE dan 31 badan UE.[37] Di samping partisipasi dalam program dan badan UE, Norwegia juga berkontribusi terhadap upaya UE untuk mengurangi kesenjangan sosial ekonomi antar negara-negara EEA. Kontribusi ini diwujudkan melalui hibah EEA dan Norwegia yang diluncurkan pada tahun 2014.[38] Melalui hibah ini, Norwegia mengalokasikan 2,8 miliar Euro untuk mendanai berbagai program yang tersebar di 15 negara EEA.[38]
Kerja Sama Politik dan Keamanan
Norwegia dan UE memiliki keterikatan yang kuat dalam bidang kebijakan luar negeri dan forum regional. Norwegia dan UE dalam bidang kebijakan luar negeri memiliki kesamaan nilai, sikap dasar, dan tujuan yang membentuk kepentingan yang sama.[39] Dalam bidang kebijakan luar negeri, Norwegia dan UE difasilitasi oleh Persetujuan EEA yang mempertemukan Menteri Luar Negeri Norwegia dan Menteri Luar Negeri UE dalam dialog politik yang diadakan dua kali setahun.[39] Selain pertemuan tingkat menteri, dialog dan koordinasi dalam kebijakan luar negeri juga dilakukan dalam tingkatan lain seperti antar kepala pemerintahan dan direktorat kementerian.[40]
Ketika UE mengeluarkan pernyataan sikap dan deklarasi terkait suatu isu luar negeri, Norwegia diundang untuk turut menyeleraskan sikap dan posisinya terhadap isu tersebut. Dari periode 2008 hingga 2011, Norwegia menerima 518 Deklarasi UE atau 94 persen dari keseluruhan Deklarasi UE yang dikeluarkan.[40] Norwegia juga mengikuti kebijakan UE dalam menjatuhkan sanksi kepada tiga negara dalam enam kali kesempatan selama periode 2001-2011.[40]
Norwegia dan UE telah menyepakati sedikitnya tiga persetujuan kerja sama dalam bidang keamanan. Persetujuan pertama diformalisasi pada tahun 2004 dan mengatur mengenai keterlibatan Norwegia dalam operasi manajemen krisis yang dilakukan oleh UE.[41] Melalui persetujuan tersebut, Norwegia dapat berpartisipasi dalam berbagai operasi militer maupun sipil yang dilakukan oleh UE. Hingga tahun 2014, Norwegia telah berpartisipasi pada sebelas misi Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Bersama (CSDP) UE.[42] Persetujuan kedua disetujui pada tahun 2005 dan mengatur mengenai pembentukan dan partisipasi Norwegia dalam Gugus Tempur Nordik sebagai salah satu dari delapan belas gugus tempur UE.[43] Persetujuan ketiga disetujui pada tahun 2006 dan mengatur mengenai kerja sama Norwegia dengan Badan Pertahanan Eropa (EDA).[44] Persetujuan tersebut memfasilitasi pertukaran informasi pertahanan, partisipasi Norwegia dalam program EDA, serta kerja sama dalam bidang riset dan industri pertahanan.[44]
Perdagangan
UE merupakan mitra dagang utama Norwegia. Bagi UE, Norwegia merupakan salah satu mitra dagang barang terpenting dan menduduki peringkat ketujuh setelah Amerika Serikat, Tiongkok, Swiss, Rusia, Turki dan Jepang. Pada tahun 2017, 73.5 persen dari total ekspor Norwegia dengan nilai kurang lebih sebesar US$ 75 miliar ditujukan kepada negara-negara UE.[45] Sebaliknya pula, 43.2 persen impor Norwegia sebesar kurang lebih US$ 36 miliar berasal dari negara-negara UE.[45] Norwegia pada umumnya mengekspor minyak bumi serta gas alam, dan mengimpor hasil industri seperti mobil, mesin, bahan kimia dan aneka logam.[45][46] Selain barang, pada tahun yang sama Norwegia juga mengekspor jasa ke UE sebesar kurang lebih US$ 17 miliar.[47] Di sisi lain, UE mengekspor jasa ke Norwegia dengan nilai kurang lebih US$ 32 miliar.[47]
Delegasi
Baik delegasi Norwegia maupun UE dikepalai oleh seorang duta besar. Delegasi Norwegia bertempat di Gedung Rumah Norwegia di Brussels dan dikepalai oleh Oda Sletnes sejak tahun 2015.[48][49] Delegasi UE bertempat di Oslo dan dikepalai oleh Thierry Béchet sejak tahun 2017.[50][51]
Referensi
^Utenriksdepartementet (2016-05-09). "Utenriksdepartementets historie". Regjeringen.no (dalam bahasa Norwegia). Diakses tanggal 2018-05-19.
^Venstres Hovedorganisasjon (2014-06-23). "Europapolitikk - Venstre". Venstre.no. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-11. Diakses tanggal 2016-06-03.