Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Konferensi Asia–Afrika

Konferensi Asia–Afrika
Sidang Pleno Konferensi Bandung
Tuan rumah Indonesia
Tanggal18 – 24 April 1955
KotaBandung
Peserta304 perwakilan
KetuaRoeslan Abdulgani
Menteri Luar Negeri Indonesia
Gedung Merdeka, tempat utama pada tahun 1955
Video luar
Arsip Konferensi Asia-Afrika di Bandung
Konfrensi Asia Afrika oleh Humas Arsip Nasional RI.

Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia–Afrika atau KAA; juga dikenal sebagai Konferensi Bandung) adalah pertemuan negara-negara Asia dan Afrika yang sebagian besar baru saja merdeka, yang berlangsung pada tanggal 18–24 April 1955 di Bandung, Jawa Barat, Indonesia.[1] Dua puluh sembilan negara yang berpartisipasi mewakili total populasi 1,5 miliar orang, 54% dari populasi dunia.[2] Konferensi ini diselenggarakan oleh Indonesia, Burma (Myanmar), India, Ceylon (Sri Lanka), dan Pakistan dan dikoordinasikan oleh Roeslan Abdulgani, sekretaris jenderal Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Tujuan konferensi ini adalah untuk mempromosikan kerja sama ekonomi dan budaya Afrika-Asia dan untuk menentang kolonialisme atau neokolonialisme oleh negara mana pun. Konferensi ini merupakan langkah menuju pembentukan Gerakan Nonblok (GNB), namun kedua inisiatif ini berjalan secara paralel selama tahun 1960-an, bahkan sempat saling bertentangan sebelum Konferensi GNB ke-2 Kairo pada tahun 1964.[3]

Pada tahun 2005, pada peringatan 50 tahun konferensi tersebut, para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika bertemu di Jakarta dan Bandung untuk meluncurkan Kemitraan Strategis Asia-Afrika (NAASP). Mereka berjanji untuk mempromosikan kerja sama politik, ekonomi, dan budaya antara kedua benua.

Sejarah

Latar belakang

Konferensi Asia-Afrika didahului oleh Persidangan Bogor pada tahun 1949. Persidangan Bogor merupakan pendahuluan bagi Colombo Plan dan Konferensi Asia-Afrika. Persidangan Bogor ke-2 diadakan pada 28—29 Desember 1954.[4]

Konferensi Asia-Afrika merefleksikan apa yang oleh para penyelenggara dianggap sebagai keengganan kekuatan Barat untuk berkonsultasi dengan mereka mengenai keputusan yang mempengaruhi Asia dalam pengaturan ketegangan Perang Dingin; keprihatinan mereka atas ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi hubungan perdamaian Tiongkok dengan diri mereka sendiri dan Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di Afrika Utara dan pemerintahan kolonialnya di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan kasusnya dalam perselisihan dengan Belanda di Nugini Barat (Irian Barat).

Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, menggambarkan dirinya sebagai pemimpin kelompok negara ini, yang kemudian ia gambarkan sebagai "NEFOS" (Newly Emerging Forces, Kekuatan Dunia Baru).[5] Pada 4 Desember 1954, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan bahwa Indonesia telah berhasil mendapatkan masalah Irian Barat yang ditempatkan dalam agenda sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1955.[6] Rencana untuk konferensi Asia-Afrika diumumkan pada bulan yang sama.[7]

Persidangan

Zhou Enlai, Nehru, dan U Nu berdiskusi di sela-sela Konferensi Asia-Afrika.
Penandatanganan perjanjian kewarganegaraan ganda Tiongkok-Indonesia.

Perdebatan besar berpusat pada pertanyaan apakah kebijakan Soviet di Eropa Timur dan Asia Tengah harus dikecam bersama dengan kolonialisme Barat. Sebuah memo dikirimkan oleh 'Bangsa Muslim di bawah Imperialisme Soviet', menuduh pemerintah Soviet melakukan pembantaian dan deportasi massal di wilayah Muslim, tetapi hal tersebut tidak pernah diperdebatkan.[8] Sebuah konsensus dicapai di mana "kolonialisme dalam semua manifestasinya" dikutuk, secara implisit mengkritik Uni Soviet, serta Barat.[9] Tiongkok memainkan peran penting dalam konferensi ini dan memperkuat hubungannya dengan negara-negara Asia lainnya. Setelah selamat dari upaya pembunuhan dalam perjalanan menuju konferensi, perdana menteri Tiongkok, Zhou Enlai, menunjukkan sikap yang moderat dan damai yang cenderung untuk menenangkan kekhawatiran beberapa delegasi anti-komunis mengenai niat Tiongkok.

Kemudian dalam konferensi tersebut, Zhou Enlai menandatangani artikel tersebut dalam deklarasi penutup yang menyatakan bahwa Tionghoa perantauan memiliki loyalitas utama kepada negara asal mereka, bukan ke Tiongkok – masalah yang sangat sensitif untuk tuan rumah Indonesia dan untuk beberapa negara peserta lainnya. Zhou juga menandatangani perjanjian kewarganegaraan ganda dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario.

Zakaria bin Muhammad Amin, delegasi dari Bengkalis, Riau, yang sebelumnya berpartisipasi dalam Konferensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah se-Indonesia pada 10–14 Maret 1955, mendiskusikan mengenai isu desentralisasi yang pada saat itu dialami oleh beberapa provinsi di Indonesia, salah satunya Sumatera Tengah.[10]

Lini masa

  • 23 Agustus 1953 – Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (Indonesia) di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara mengusulkan perlunya kerjasama antara negara-negara di Asia dan Afrika dalam perdamaian dunia.[4]
  • 25 April–2 Mei 1954 – Berlangsung Colombo Plan di Sri Lanka. Hadir dalam pertemuan tersebut para pemimpin dari India, Pakistan, Burma (sekarang Myanmar), dan Indonesia. Dalam konferensi ini Indonesia memberikan usulan perlunya adanya Konferensi Asia-Afrika.[4]
  • 28–29 Desember 1954 – Untuk mematangkan gagasan masalah Persidangan Asia-Afrika, diadakan Persidangan Bogor. Dalam persidangan ini dirumuskan lebih rinci tentang tujuan persidangan, serta siapa saja yang akan diundang.[4]
  • 18–24 April 1955 – Konferensi Asia-Afrika berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung. Persidangan ini diresmikan oleh Presiden Soekarno dan diketuai oleh PM Ali Sastroamidjojo. Hasil dari persidangan ini berupa persetujuan yang dikenal dengan Dasasila Bandung.[4]

Pelopor

Peserta

29 negara yang menghadiri Konferensi Asia-Afrika.
Negara-negara anggota Gerakan Nonblok (2012). Negara-negara biru muda memiliki status pengamat.

1 Negara yang diakui sebagian. Republik Tiongkok diakui secara internasional sebagai pemerintahan Tiongkok yang sah oleh sebagian besar masyarakat internasional pada saat itu.

2 Siprus kolonial prakemerdekaan diwakili oleh presiden pertamanya, Makarios III.[11]

3 Prakemerdekaan Sudan Inggris-Mesir diwakili oleh Perdana Menteri Ismail al-Azhari dan menggunakan bendera sementara.

Beberapa negara diberi "status pengamat". Seperti halnya Brasil, yang mengirim Duta Besar Bezerra de Menezes.[12][13]

Deklarasi

Sepuluh poin deklarasi mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia, dinamakan Dasasila Bandung, yang menggabungkan prinsip-prinsip Piagam PBB diadopsi dengan suara bulat:

  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa
  3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil
  4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain
  5. Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB
  6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara
  8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB
  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama
  10. Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional[14]

Komunike akhir dari Konferensi ini menggarisbawahi perlunya negara-negara berkembang untuk melonggarkan ketergantungan ekonomi mereka pada negara-negara industri terkemuka dengan memberikan bantuan teknis satu sama lain melalui pertukaran ahli dan bantuan teknis untuk proyek-proyek pembangunan, serta pertukaran pengetahuan teknologi, bagaimana dan pembentukan lembaga pelatihan dan penelitian regional.

Dampak dan peninggalan

Konferensi ini diikuti oleh Konferensi Solidaritas Rakyat Afro-Asia di Kairo[15] pada September (1957) dan Konferensi Beograd (1961), yang mengarah pada pembentukan Gerakan Non-Blok.[16] Pada tahun-tahun kemudian, konflik antara negara-negara yang tidak tergoyahkan mengikis solidaritas yang diekspresikan dalam konferensi ini.

Pertemuan kedua (2005)

Prangko peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika

Untuk memperingati lima puluh tahun sejak pertemuan bersejarah tersebut, para Kepala Negara negara-negara Asia dan Afrika telah diundang untuk mengikuti sebuah pertemuan baru di Bandung dan Jakarta antara 19-24 April 2005. Sebagian dari pertemuan itu dilaksanakan di Gedung Merdeka, lokasi pertemuan lama pada 50 tahun lalu.

Sekjen PBB, Kofi Annan, Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, Presiden Tiongkok, Hu Jintao, Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, Presiden Afganistan, Hamid Karzai, Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah dan Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki ikut hadir di Bandung dalam pertemuan ini. KTT Asia-Afrika 2005 menghasilkan NAASP (New Asian-African Strategic Partnership, Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika), yang diharapkan akan membawa Asia dan Afrika menuju masa depan yang lebih baik berdasarkan ketergantungan-sendiri yang kolektif dan untuk memastikan adanya lingkungan internasional untuk kepentingan para rakyat Asia dan Afrika.[17]

Pertemuan ketiga (2015)

Peserta Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika 2015

Konferensi Asia-Afrika ke-60 dilaksanakan di 2 kota yaitu Jakarta pada 19-23 April 2015 dan Bandung pada 24 April 2015 dengan agenda meliputi "Asia-Africa Business Summit" dan "Asia-Africa Carnival". Tema yang dibawa adalah peningkatan kerja sama negara-negara di kawasan Selatan, kesejahteraan, serta perdamaian.[18][19] KTT Asia-Afrika 2015 diikuti sebanyak 89 kepala negara/pemerintahan dari 109 negara di kawasan Asia dan Afrika, 17 negara pengamat dan 20 organisasi internasional, dan 1.426 perwakilan media domestik dan asing.

Para peserta di antaranya adalah Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, Presiden Tiongkok, Xi Jinping, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, Raja Yordania, Abdullah II dari Yordania, Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak, Presiden Myanmar, Thein Sein, Raja Swaziland, Mswati III dan Perdana Menteri Nepal, Sushil Koirala.

Konferensi Asia Afrika 2015 telah menghasilkan 3 dokumen yaitu Pesan Bandung (Bandung Message), Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) dan Deklarasi kemerdekaan Palestina.[20]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Final Communiqué of the Asian-African conference of Bandung (24 April 1955)" (PDF). Centre Virtuel de la Connaissance sur l'Europe. 3 January 2017. 
  2. ^ Bandung Conference of 1955 and the resurgence of Asia and Africa Diarsipkan 13 May 2012 di Wayback Machine., Daily News, Sri Lanka
  3. ^ Bogetić, Dragan (2017). "Sukob Titovog koncepta univerzalizma i Sukarnovog koncepta regionalizma na Samitu nesvrstanih u Kairu 1964" [The Conflict Between Tito's Concept of Universalism and Sukarno's Concept of Regionalism in the 1964 Summit of Non-Aligned Countries in Cairo]. Istorija 20. Veka. Institute for Contemporary History, Belgrade. 35 (2): 101–118. doi:10.29362/IST20VEKA.2017.2.BOG.101-118alt=Dapat diakses gratis. 
  4. ^ a b c d e "Asian-African Conference Timeline". The Jakarta Post. 23 April 2015. Diakses tanggal 25 April 2015. 
  5. ^ Cowie, H.R. (1993). Australia and Asia. A changing Relationship, 18.
  6. ^ United Nations General Assembly, Report of the First Committee A/2831
  7. ^ Parker, "Small Victory, Missed Chance" (2006), hlm. 156.
  8. ^ Shindler, Colin (2012). Israel and the European Left (dalam bahasa Inggris). New York: Continuum. hlm. 205. 
  9. ^ Bandung Conference, di Encyclopædia Britannica
  10. ^ Pahlefi 2022, hlm. 187.
  11. ^ Cyprus and the Non–Aligned Movement Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine., Ministry of Foreign Affairs, (April 2008)
  12. ^ Palacios, Marco; Weinberg, Gregorio, ed. (1999). Historia general de América Latina (dalam bahasa Spanyol). Madrid: Editorial Trotta. hlm. 341–2. ISBN 9789233031579. 
  13. ^ Seibert, Gerhard (2019). Visentini, Paulo Fagundes; Seibert, Gerhard, ed. Brazil-Africa relations : historical dimensions and contemporary engagements, from the 1960s to the present. Oxford: James Currey. hlm. 18. ISBN 9781847011954. 
  14. ^ Jayaprakash, N D (5 Juni 2005). "India and the Bandung Conference of 1955 – II". People's Democracy – Weekly Organ of the Communist Party of India (Marxist) (dalam bahasa Inggris). XXIX (23). Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Maret 2007. Diakses tanggal 7 Februari 2007. 
  15. ^ Mancall, Mark. 1984. China at the Center. hlm. 427
  16. ^ Nazli Choucri, "The Nonalignment of Afro-Asian States: Policy, Perception, and Behaviour", Canadian Journal of Political Science / Revue canadienne de science politique, Vol. 2, No. 1.(Mar., 1969), pp. 1-17.
  17. ^ "Seniors official meeting" (PDF). MFA of Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-12-16. Diakses tanggal 1 Oktober 2012. 
  18. ^ Tuwo, Andreas Gerry. Hatta, Raden Trimutia, ed. "72 Negara Pastikan Ikut KAA di Jakarta-Bandung". Liputan6.com. Liputan6.com. 
  19. ^ Setiawanto, Budi. Ratomo, Unggul Tri, ed. "KAA 2015, dari Asia Afrika untuk dunia". ANTARA News. Antaranews.com. Diakses tanggal 24 April 2015. 
  20. ^ "Inilah Hasil-Hasil KTT Asia Afrika ke-60, Di Jakarta, 22-23 April 2015". Setkab.go.id. Diakses tanggal 23 April 2015. 

Bibliografi

  • Parker, Jason C. "Small Victory, Missed Chance: The Eisenhower Administration, the Bandung Conference, and the Turning of the Cold War." Dalam The Eisenhower Administration, the Third World, and the Globalization of the Cold War. Ed. Kathryn C. Statler & Andrew L. Johns. Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2006. ISBN 0742553817

Bacaan lebih lanjut

  • Asia-Africa Speaks From Bandung. Jakarta: Departemen Luar Negeri, Republik Indonesia, 1955.
  • Ampiah, Kweku. The Political and Moral Imperatives of the Bandung Conference of 1955: the Reactions of the US, UK and Japan. Folkestone, UK: Global Oriental, 2007. ISBN 1-905246-40-4
  • Brown, Colin. 2012. "The Bandung Conference and Indonesian Foreign Policy", Bab 9 dalam Anne Booth, Chris Manning dan Thee Kian Wie, 2012, Essays in Honour of Joan Hardjono, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
  • Kahin, George McTurnan. The Asian-African Conference: Bandung, Indonesia, April 1955. Ithaca: Cornell University Press, 1956.
  • Lee, Christopher J., ed, Making a World After Empire: The Bandung Moment and Its Political Afterlives. Athens, OH: Ohio University Press, 2010. ISBN 978-0896802773
  • Mackie, Jamie. Bandung 1955: Non-Alignment and Afro-Asian Solidarity. Singapore: Editions Didier Millet, 2005. ISBN 981-4155-49-7
  • Finnane, Antonia, dan Derek McDougall, eds, Bandung 1955: Little Histories. Melbourne: Monash Asia Institute, 2010. ISBN 978-1-876924-73-7
  • Pahlefi, Riza (2022-08-11). BENGKALIS: NEGERI JELAPANG PADI. CV. DOTPLUS Publisher. ISBN 978-623-6428-59-7. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya