Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Soedardjat Nataatmadja

Soedardjat Nataatmadja
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Masa jabatan
1 Oktober 1997 – 1 Oktober 1999
PresidenSoeharto
Daerah pemilihanKalimantan Selatan
Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri
Masa jabatan
1993 – 25 September 1997
Wakil Gubernur Irian Jaya
Masa jabatan
8 Februari 1989 – 26 Mei 1993
PresidenSoeharto
Gubernur
Bupati Bogor ke-8
Masa jabatan
4 Oktober 1983 – 4 Oktober 1988
Sebelum
Pendahulu
Ayip Rughby
Pengganti
Eddie Yoso Martadipura
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1938-06-30)30 Juni 1938
Bandung, Jawa Barat
Meninggal6 Desember 2020(2020-12-06) (umur 82)[1]
Jakarta
Partai politikGolkar
Suami/istriRatuningsih
Tanda tangan
JulukanKang Dardjat,[2] Endjat[3]
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang Angkatan Darat
Masa dinas1963—1993
Pangkat Mayor Jenderal TNI
NRP19416
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Mayor Jenderal TNI (Purn.) Soedardjat Nataatmadja (30 Juni 1938 – 6 Desember 2020) adalah seorang politikus dan perwira militer Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Bupati Bogor periode 1983—1988, Wakil Gubernur Irian Jaya periode 1989—1993, Irjen Departemen Dalam Negeri (Depdagri) periode 1993—1997, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1997—1999.

Lahir dari keturunan aristokrat Sunda, Soedardjat menjalani pendidikan tinggi di Universitas Padjadjaran, namun keluar dari universitas tersebut dua tahun kemudian dan memilih untuk menjalani pendidikan militer di Akademi Militer. Soedardjat lulus dari Akademi Militer pada tahun 1963 dengan pangkat letnan dua. Selama berdinas di militer, Soedardjat ditempatkan di berbagai daerah, seperti Kalimantan Timur, Jakarta, dan Jawa Barat.

Pada tahun 1983, Soedardjat terpilih sebagai Bupati Bogor. Salah satu hasil karyanya sebagai bupati adalah pelaksanaan Operasi Wibawa Praja yang bertujuan untuk memberantas pembangunan dan perluasan liar. Meskipun ia terpilih untuk masa jabatan kedua, menteri dalam negeri menolak hasil pemilihannya dan ia dipindahkan ke Irian Jaya untuk menjabat sebagai wakil gubernur selama empat tahun.

Ketika Yogie Suardi Memet menjabat sebagai menteri dalam negeri, Soedardjat dipindahkan ke departemen dalam negeri untuk menjabat sebagai inspektur jenderal. Selama menjabat sebagai inspektur jenderal, Soedardjat melakukan sejumlah reformasi dalam bidang pengawasan kinerja pemerintah daerah dan memimpin sebuah tim untuk melakukan pemeriksaan terhadap bupati Sri Roso Sudarmo. Soedardjat mengakhiri masa jabatannya sebagai inspektur jenderal setelah terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Riwayat Hidup

Masa kecil dan pendidikan

Nataatmadja lahir pada tanggal 30 Juni 1938 di Bandung, Jawa Barat, sebagai anak dari Moerjani Nataatmadja dan Ratu Soelasmi. Ayahnya, Moerjani Nataatmadja, merupakan seorang keturunan ningrat Sunda yang pernah menjabat sebagai Bupati Lebak, Bupati Bogor, dan Residen Bandung, sedangkan ibunya, Ratu Soelasmi, merupakan keturunan ningrat dari Kesultanan Banten.[2][4]

Nataatmadja memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat 8 Cirebon (setara dengan sekolah dasar) pada tahun 1945 dan lulus dari sekolah tersebut pada tahun 1951. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 di Bandung dan lulus pada tahun 1955. Dari sekolah tersebut, Nataatmadja meneruskan pendidikannya ke SMA Negeri 4 Bandung. Di sekolah tersebut, Nataatmadja masuk ke dalam bagian B (sekarang dikenal dengan kelas IPA). Ia lulus SMA pada tahun 1958.[2]

Beberapa saat setelah ia lulus dari SMA, Nataatmadja diterima masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran pada tahun 1958. Setelah dua tahun belajar di universitas tersebut, Nataatmadja drop out dan mendaftarkan diri ke Akademi Militer. Ia lulus dari Akademi Militer pada tahun 1963 dengan pangkat letnan dua.[2]

Karier militer

Nataatmadja memulai dinas militernya di Komando Daerah Militer VI/Mulawarman sebagai perwira zeni. Setelah delapan tahun berdinas di kodam tersebut, pada tahun 1972 Nataatmadja dipindahkan ke Jakarta sebagai kepala biro di Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Usai bertugas di Mabesad selama tujuh tahun, Nataatmadja ditunjuk menjadi Komandan Komando Distrik Militer 0607/Sukabumi pada tahun 1979. Nataatmadja kembali dimutasikan pada tahun 1981 ke Komando Resor Militer 061 di Bogor untuk menjabat sebagai kepala staf resor militer.[2]

Nataatmadja mengakhiri kariernya di militer setelah dilantik sebagai bupati. Ia memperoleh kenaikan pangkat dari letnan kolonel menjadi kolonel sebagai bupati.[3] Nataatmadja pensiun dari militer dengan pangkat mayor jenderal beberapa bulan setelah mengakhiri masa jabatannya sebagai wakil gubernur.[5]

Bupati Bogor

Pemilihan dan pelantikan

Dalam pemilihan Bupati Bogor yang dilaksanakan secara internal oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor, Nataatmadja terpilih dengan 28 dari 40 suara. Ia dilantik sebagai bupati untuk masa jabatan 1983–1988 pada tanggal 4 Oktober 1983 oleh Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi.[6]

Operasi Wibawa Praja

Sejak tahun 1960an, wilayah Puncak di Bogor mengalami peningkatan pembangunan dan perluasan liar. Sebagai respons terhadap masalah ini, Presiden Indonesia Soekarno menyerahkan perizinan pembangunan di wilayah tersebut kepada Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga melalui sebuah keputusan presiden tahun 1963.[7] Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1983, Presiden Soeharto melakukan perubahan pada keputusan presiden tersebut dan memberikan kewenangan lebih luas bagi pemerintah daerah untuk menangani pembangunan dan perluasan liar.[8]

Sebagai tindak lanjut terhadap pemberian kewenangan tersebut, Nataatmadja mencanangkan Operasi Wibawa Praja. Tujuan utama dari operasi ini adalah untuk menghancurkan bangunan liar yang tidak memiliki izin. Tim penghancuran bangunan, yang terdiri dari anggota ABRI, kepolisian, hansip, dan Satpol PP, diperlengkapi dengan buldoser dan alat-alat penghancur lainnya. Operasi ini dimulai pada tahun 1985 dan bangunan pertama yang dihancurkan oleh operasi ini adalah sebuah kompleks vila yang dibangun di atas reruntuhan kebun teh.[9]

Majalah Tempo menyatakan bahwa penerapan Operasi Wibawa Praja dipuji karena ketegasannya dan diteruskan oleh bupati setelah Nataatmadja.[10] Dalam sebuah wawancara, Nataatmadja menyatakan bahwa operasi ini merupakan upaya untuk menerapkan pemerintahan yang bersih dan kompeten[11] dan sebagai shock therapy agar masyarakat lebih berhati-hati.[12]

Kebudayaan Sunda

Nataatmadja merupakan seorang pencinta budaya Sunda. Nataatmadja mendukung rencana untuk mengadakan kongres bahasa Sunda,[2] yang pada waktu itu belum pernah dilaksanakan kembali setelah dua puluh tahun.[13] Rencana ini diusulkan oleh budayawan Sunda Uu Rukmana dan Acil Bimbo.[2] Nataatmadja menawarkan kabupatennya sebagai tuan rumah kongres tersebut. Kongres tersebut akhirnya dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 1988 di Desa Cipayung.[14]

Dalam kesempatan lainnya, Nataatmadja pernah menginstruksikan anggota DPRD Bogor dan para pejabat eksekutif untuk mengenakan pakaian tradisional Sunda dalam sidang paripurna DPRD Bogor. Tindakan Nataatmadja tersebut mengundang kemarahan menteri dalam negeri Rudini karena menurutnya Nataatmadja melanggar aturan.[2]

Upaya pemilihan kembali

Setelah masa jabatan Nataatmadja berakhir, Nataatmadja terpilih kembali oleh DPRD Bogor untuk masa jabatan kedua. Kendati demikian, Menteri dalam negeri Rudini menganggap kinerjanya kurang baik, sehingga Rudini menolak untuk menyetujui hasil pemilihan tersebut.[15][16] Akhirnya, DPRD Bogor melakukan pemilihan ulang[15] dan anggota DPR fraksi ABRI, Eddie Yoso Martadipura, terpilih untuk menggantikannya sebagai bupati.[17] DPRD Bogor kemudian memberikan hadiah mobil sedan Toyota Cressida kepada Nataatmadja,[18] namun Rudini mengetahui hal ini dan meminta DPRD Bogor untuk mengambil kembali hadiahnya.[16][19]

Wakil Gubernur Irian Jaya

Nataatmadja dipindahkan ke Irian Jaya untuk bertugas sebagai wakil gubernur setelah pemilihannya kembali sebagai bupati ditolak. Ia dilantik pada tanggal 8 Februari 1989[20] dan mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 26 Mei 1993.[21]

Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri

Pada tahun 1993, menteri dalam negeri Rudini digantikan oleh Yogie Suardi Memet. Memet sebelumnya menjabat Gubernur Jawa Barat ketika Nataatmadja menjadi bupati. Memet kemudian mengangkat Nataatmadja menjadi Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri segera setelah ia menjadi menteri dalam negeri.[2]

Reformasi pengawasan pemerintah daerah

Beberapa bulan setelah ditunjuk sebagai inspektur jenderal, Nataatmadja memulai program gelar bersama hasil pemeriksaan yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas gubernur. Program tersebut melibatkan pemeriksaan gabungan antara inspektorat jenderal departemen dalam negeri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.[22]

Program ini pertama kali diterapkan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Proses pemeriksaan dalam pemerintahan daerah Sulawesi Tenggara dimulai pada awal tahun 1994 dan hasil pemeriksaan diumumkan melalui pemaparan pada tanggal 2 Mei 1994. Nataatmadja mengumumkan bahwa melalui pemeriksaan tersebut, tim gabungan telah menemukan 192 kasus pelanggaran yang sebagian besar berupa penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, maladministrasi, dan penyimpangan dari ketentuan anggaran.[22] Meskipun pada awalnya hasil pemeriksaan ini hanya diumumkan kepada pemerintah provinsi, hasil pemeriksaan kemudian diumumkan kepada semua pihak yang terlibat dalam pengawasan setelah pemeriksaan yang dilakukan di Irian Jaya pada tahun 1995.[23]

Pada tanggal 10 Oktober 1995, Nataatmadja mengumumkan rencananya untuk memeriksa kinerja gubernur dan bupati secara rutin setiap tahun. Pemeriksaan rutin ini pertama kali dilakukan kepada Gubernur Sulawesi Tengah Abdul Azis Lamadjido yang mengakhiri masa jabatannya pada bulan Februari 1996. Untuk pemeriksaan ini, Nataatmadja mengerahkan tim yang terdiri dari 25 pejabat inspektorat jenderal.[24]

Kasus Sri Roso Sudarmo

Kolonel Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul, dituduh menyuap Yayasan Dharmais yang dimiliki oleh Presiden Soeharto dengan uang sebesar satu miliar agar dirinya terpilih kembali sebagai Bupati Bantul. Memet kemudian menurunkan sebuah tim[25] yang dipimpin oleh Nataatmadja untuk menyelidiki kasus tersebut.[26] Penyelidikan tersebut dianggap selesai pada tanggal 7 Desember 1996.[27]

Hasil penyelidikan tersebut diumumkan dalam sebuah konferensi pers pada tanggal 13 Desember. Dalam konferensi pers tersebut, Nataatmadja menyebutkan bahwa Sudarmo mengakui bahwa seorang paranormal beserta dengan seorang temannya menjanjikan dirinya kemenangan untuk masa jabatan keduanya apabila Sudarmo memberikannya uang sebesar dua setengah miliar rupiah. Setelah terjadi proses tawar-menawar, maka paranormal dan Sudarmo bersepakat pada harga satu miliar rupiah. Sang paranormal kemudian memaksa Sudarmo untuk menandatangani sebuah surat pernyatan. Setelah Sudarmo terpilih untuk masa jabatan yang kedua, Sudarmo menolak untuk membayar uang tersebut. Sang paranormal kemudian membeberkan perjanjian tersebut kepada media. Meskipun departemen dalam negeri mengakui bahwa Sudarmo berupaya untuk menyuap seorang paranormal, departemen dalam negeri tidak menemukan adanya bukti korupsi ataupun penyelewengan uang.[28] Menteri dalam negeri hanya memberikan sanksi administratif berupa surat teguran kepada Sudarmo pada tanggal 12 November 1996. Nataatmadja cenderung menolak proses pemberhentian karena menurutnya surat teguran sudah cukup berat bagi pegawai negeri.[29]

Media menganggap penjelasan Nataatmadja dan Sudarmo berbelit-belit dan tidak bisa dipercaya. Kolumnis untuk koran Bernas mempertanyakan bagaimana seorang paranomal dapat menipu seorang bupati, yang merupakan veteran yang telah mengabdi selama 20 tahun di angkatan bersenjatan dan mengapa Sudarmo menandatangani sebuah surat yang dapat mempersulit dirinya jauh lebih parah ketimbang penipuan lainnya. Kendati demikian, Bernas gagal menemukan bukti lain selain daripada penjelasan resmi departemen dalam negeri dan pertanyaan tersebut tetap menjadi dugaan belaka.[30]

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Setelah Nataatmadja digantikan dari jabatannya sebagai inspektur jenderal, ia dicalonkan oleh Golkar sebagai calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Selatan. Ketika daftar calon untuk Golkar dari daerah pemilihan Kalimantan Selatan diumumkan, sekitar 14 organisasi pemuda menolak pencalonannya karena menganggap dirinya tidak dikenal oleh masyarakat.[31] Kendati demikian, namanya tidak dihapus dari daftar calon dan Nataatmadja terpilih dan dilantik sebagai anggota dewan.[32]

Ketika bertugas di dewan, Nataatmadja ditempatkan sebagai anggota panitia khusus pembentukan UU. Nataatmadja mendukung upaya penerapan otonomi daerah. Kendati demikian, ia merasa bahwa penerapan UU tersebut menyebabkan kekagetan dan salah tafsir. Nataatmadja juga mengingatkan bahwa kesalahan ini dapat mengakibatkan berkembangnya raja-raja kecil, yakni kepala daerah yang menyalahgunakan kekuasaannya.[33]

Pada tahun 1998, Nataatmadja menjadi salah satu bakal calon untuk menggantikan R. Nuriana dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat. Kendati demikian, Nataatmadja tidak menjadi calon dalam pemilihan tersebut.[34]

Kiprah dalam organisasi

Selain dalam pemerintahan, Nataatmadja juga aktif dalam sejumlah organisasi olahraga. Ia menjabat sebagai anggota Ketua Karate Kyushu Ryu dari tahun 1993 hingga 2001, Penasihat Pembina Masyarakat Jawa Barat di Jakarta,[2] Wakil Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia dari tahun 1995 hingga 1998,[35] dan anggota Dewan Harian Nasional Angkatan '45 sejak 1993.[2]

Kehidupan pribadi dan pensiun

Nataatmadja menikah dengan Ratuningsih dan memiliki dua anak.[2] Setelah pensiun dari pemerintahan, ia tinggal di Bogor dan menjabat sebagai komisaris PT Zebra Nusantara[36] dan Steady Safe pada tahun 2009.[37] Ia wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto pada tanggal 6 Desember 2020.[38]

Referensi

  1. ^ Mantan Bupati Bogor H. Soedardjat Nataatmadja Meninggal Dunia
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Rosidi, Ajip, ed. (2013). Apa Siapa Orang Sunda. Jakarta: PT Kiblat Buku Utama and Yayasan Kebudayaan Rarange. hlm. 361. ISBN 9789794199800. 
  3. ^ a b Ayatrohaedi (2011). 65 = 67 Catatan Acak-acakan dan Catatan Apa Adanya. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. hlm. 438. ISBN 9789794195703. 
  4. ^ "Inna Lilahi Wa Inna Lilahi Rojiun". Simpay: kalawarta Paguyuban Pasundan. Bandung. 1996. 
  5. ^ "KSAD Jenderal Wismoyo: Pertaruhkan Segalanya Hadapi Ancaman Terhadap Persatuan". Kompas. 12 November 1993. hlm. 1. Diakses tanggal 16 April 2021. 
  6. ^ "Soedardjat Bupati Bogor". Mimbar Kekaryaan (154). Jakarta. October 1983. hlm. 69. 
  7. ^ "Penertiban Pembangunan Baru disepanjang Jalan Antara Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur, di luar Batas-Batas Daerah Khusus Ibukota Jakarta-Raya, Daerah Swatantra Tingkat II Bogor dan Daerah Swatantra Tingkat II Cianjur". Presidential Decree No. 13 Tahun 1963. People's Representative Council. 
  8. ^ "Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di Luar Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong". Presidential Decree No. 48 Tahun 1983 (PDF). 
  9. ^ Administrator; Husodo, Putut Tri (1 June 1985). "Buldozer Wibawapraja di Vila-Vila". Tempo.co. Bandung and Jakarta. 
  10. ^ Tempo: Indonesia's Weekly News Magazine, Volume 2, Issues 25–30
  11. ^ Moersito, Achmad (1985). "Konsolidasi di Kab. Bogor". Mimbar Departemen Dalam Negeri. hlm. 44. 
  12. ^ Moersito, Achmad (1989). "Pamong dan Masalah". Mimbar Departemen Dalam Negeri. hlm. 18. 
  13. ^ Sutisna, Dadan (26 June 2011). "Bahasa Sunda dari Kongres ke Kongres". Pikiran Rakyat. 
  14. ^ Rosidi, Ajip (1995). Sastera dan budaya: kedaerahan dalam keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya. hlm. 317. ISBN 9789794191293. 
  15. ^ a b Administrator (20 March 1993). "Dia berteriak, dia juga bertindak". Tempo.co. Jakarta. 
  16. ^ a b Rudini, jejak langkah sang perwira. Q Communication. 2005. hlm. 210. ISBN 978-979-98281-8-7. 
  17. ^ BB-51088 (October 1988). "Letkol CZI Eddy Yoso Bupati Bogor". Mimbar Kekaryaan (214). Jakarta. hlm. 61. 
  18. ^ PUN (12 October 1988). "Toyota Cressida untuk mantan bupati". Kompas. hlm. 1. 
  19. ^ PR (17 October 1988). "Dibatalkan, hadiah Cressida mantan bupati Bogor". Kompas. hlm. 1. 
  20. ^ AB-9289 (February 1989). "Kol CZI SOEDRADJAT [sic] Wagub Irian Jaya" [Colonel CZI Soedradjat [sic] is Vice Governor of Irian Jaya]. Mimbar kekaryaan ABRI. Jakarta: Republic of Indonesia Armed Forces. hlm. 64. Diakses tanggal 19 September 2020. 
  21. ^ NIC (28 May 1993). "Dengan diserahterimakannya jabatan Wakil Gubernur Irian Jaya dari Brigjen TNI Soedardjat Nataatmadja kepada Gubernur Irja Drs Jacob Pattipi". Kompas. 
  22. ^ a b YAS (4 May 1994). "Baru Sultra, Propinsi yang Adakan Gelar Bersama Hasil Pemeriksaan". Kompas. hlm. 17. 
  23. ^ Nicolash LMS, Korano (13 February 1995). "Nama dan Peristiwa: Soedardjat Nataatmadja Melakukan Gelar Pengawasan di Biak, Irja". Kompas. hlm. 20. 
  24. ^ HEL (7 October 1995). "Hasil Kerja Gubernur dan Bupati Dievaluasi Tiap Tahun". Kompas. hlm. 11. 
  25. ^ Tesoro, Josė Manuel (2004). The Invisible PalacePerlu mendaftar (gratis). Jakarta: Equinox. hlm. 240. ISBN 979-97964-7-4. 
  26. ^ HRD/TOP/AMAA/WHO (14 December 1996). "Irjen Depdagri: Bupati Bantul Buat Perjanjian Rp 1 Milyar dengan Paranormal". Kompas. hlm. 13. 
  27. ^ VIK/USH/DTH (28 December 1996). "Selesai, Kasus Bupati Bantul Janji Rp 1 Milyar". Kompas. hlm. 14. 
  28. ^ Tesoro, Josė Manuel (2004). The Invisible PalacePerlu mendaftar (gratis). Jakarta: Equinox. hlm. 240–241. ISBN 979-97964-7-4. 
  29. ^ HRD/AMA (24 December 1996). "Bupati Bantul Mengaku akan Diperas Rp 1 Milyar*Pangab: Kalau Diserahkan ke Mabes akan Ditindak". Kompas. hlm. 1. 
  30. ^ Tesoro, Josė Manuel (2004). The Invisible Palace: The true story of a journalist's murder in JavaPerlu mendaftar (gratis). Jakarta: Equinox. hlm. 242–243. ISBN 979-97964-7-4. 
  31. ^ BAL (17 February 1997). "Diprotes OKP, Caleg yang tak Dikenal". Kompas. hlm. 14. 
  32. ^ USH (26 September 1997). "Hasan Basri Durin Ketua F-UD MPR, Pudjono Ketua BP MPR". Kompas. hlm. 14. 
  33. ^ Utomo, Mulyanto (17 December 2012). "KOLOM: Raja Kecil Itu Bernama Bupati/Walikota…". Solopos.com. Diakses tanggal 5 December 2020. 
  34. ^ PP/NAR (28 January 1998). "Kassospol ABBRI: ABRI Titip Calon Gubernur Jabar". Kompas. hlm. 14. 
  35. ^ MUS/ISW (23 February 1995). "Pengurus KONI Pusat Periode 1995-1998". Kompas. hlm. 19. 
  36. ^ PT Zebra Nusantara, Tbk (2011). Annual Report 2011 (PDF) (Laporan). hlm. 12. 
  37. ^ Anggraeni, Desy Setya (February 2011). Lampiran Analisis Efektivitas Profitabilitas Berbasis Du Pont System (Studi Kasus Pada Industri Transportasi Di Bursa Efek Indonesia Periode 2000 – 2009) (Tesis). Esa Unggul University. https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-351-LAMPIRAN.pdf. Diakses pada 5 December 2020. 
  38. ^ Fauzi, Rully (6 December 2020). "Mantan Bupati Bogor H. Soedardjat Nataatmadja Meninggal Dunia". Suara.com. Diakses tanggal 7 December 2020. 
Kembali kehalaman sebelumnya