Letnan JenderalTNI(HOR) (Purn.) Ir.H.Azwar Anas gelar Datuak Rajo Suleman (2 Agustus 1933 – 5 Maret 2023) adalah seorang tentara, birokrat, politikus dan pengurus sepak bola Indonesia. Ketua Umum PSSI periode 1991–1998 ini pernah dipercaya sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI (1993–1998) setelah menjabat sebagai Menteri Perhubungan Indonesia pada Kabinet Pembangunan V (1988–1993). Sebelumnya ia menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977–1987). Ia menjabat sebagai Ketua Majelis Pembina Pusat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) periode 2016–2022. Sebelumnya ia merupakan Ketua Dewan Pembina Pusat Tarbiyah periode 1989–1998 dan 2006–2016 serta Ketua Umum PB Tarbiyah periode 1998–2001 dan 2004–2006.
Kehidupan awal
Azwar Anas lahir pada 2 Agustus 1933 di Padang, yang ketika itu merupakan bagian dari Keresidenan Sumatera Barat, Hindia Belanda. Ia adalah anak ketiga dari pasangan Anas Malik Sutan Masabumi (ayah) dan Rakena Anas (ibu), yang memiliki sepuluh orang anak. Ayahnya yang masih memiki garis keturunan dengan Raja Pagaruyung terakhir, yakni Sutan Bagagarsyah, bekerja sebagai kepala perbengkelan kereta api di Simpang Haru, Padang, sementara ibunya yang hanya tamatan SD berasal dari Koto Sani, Solok. Sebelum menikah dengan ibunya, ayahnya telah memperoleh seorang anak dari istri pertama yang kemudian diceraikannya, tetapi kehidupan mereka tetap ditanggung oleh ayahnya meskipun telah bercerai.[1][2] Ayahnya adalah putera dari Malik anak dari Soetan Oesman gelar Soetan Lerang seorang pengusaha terkenal pada masanya.
Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran Islam dengan didikan ayah yang berwatak keras tetapi disiplin dan didampingi ibu yang senantiasa mengayomi dan memberikan nasihat akan pentingnya agama dan tanggung jawab. Ia menghabiskan masa kecilnya bersama keluarganya di Mato Aie dalam sebuah rumah yang dibangun di pinggang bukit di tepi Jalan Raya Padang–Teluk Bayur. Tidak seperti kebanyakan anak ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda), ia bersama kakak dan adiknya tidak dimasukkan ke sekolah-sekolah Belanda, melainkan dimasukkan ke HIS Adabiyah School, sebuah sekolah agama yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.[3]
Ketika masih berusia kanak-kanak, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk membantu meringankan ekonomi keluarganya yang sedang sulit pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia pernah berdagang kayu untuk kemudian dijual ke pasar Kampung Jawa dan berjualan ikan, bahkan sebelumnya ia juga pernah berjaja pisang goreng di Mato Aie setiap pagi.[4] Di tengah kesulitan ekonomi keluarganya, setelah tamat dari HIS Adabiyah, ia masih bisa meneruskan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi; ia masuk ke sekolah bentukan Jepang yang disebut Chu Gakko (setingkat men).[5]
Masa awal kemerdekaan
Berita diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru disebarluaskan ke Padang oleh Muhammad Sjafei sekitar akhir bulan Agustus.[6] Namun, pada 10 Oktober 1945 tentara Sekutu, yang semula ditugaskan untuk melucuti serdadu Jepang dan mengambil para tawanan Jepang, telah merapat ke pelabuhan Teluk Bayur dan kedatangan ini dicurigai oleh para pemuda di Padang karena diikuti oleh tentara Belanda. Kecurigaan ini ternyata benar sehingga ketegangan mulai meningkat di Padang. Kantor-kantor pemerintahan di Padang mulai dipindahkan ke luar kota, termasuk kantor tempat ayah dari Azwar Anas bekerja dipindahkan ke Kayu Tanam sehingga keluarganya kemudian pindah ke tempat itu sedangkan ia dan adiknya yang bernama Akil tetap menetap di Padang.[7] Namun karena Padang dirasakan tidak aman lagi setelah pembunuhan Bagindo Azizchan oleh tentara Belanda,[8] ia dan adiknya menyusul keluarganya yang ternyata telah berpindah ke Bukittinggi.[9] Di kota berhawa sejuk itu, ia tetap meneruskan sekolahnya; ia dimasukkan ke SMP Negeri 1 Bukittinggi, tetapi kemudian pindah ke SMP Negeri 3 Bukittinggi. Setelah tamat, ia masuk ke SMA Negeri 1 Bukittinggi.[9]
Tidak lama setelah ibu kota Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda, Syafruddin Prawiranegara bersama tokoh Minangkabau lainnya membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Pada saat itu, ketika berlangsungnya Agresi Militer Belanda II, keluarganya pindah ke Barulak, Tanah Datar, kemudian setelah gencatan senjata diberlakukan di Sumatera Barat pada 19 Agustus 1948, keluarganya kembali pindah ke Padang. Di Padang, ia bersekolah di SMA Permindo (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tamat pada tahun 1951.[10] Setamat SMA, ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Jawa, karena pada saat itu di Sumatera Barat belum ada perguruan tinggi yang sesuai dengan keinginannya.[11] Oleh sebab itu, dalam suatu perundingan dengan keluarganya, ia menyampaikan keputusannya untuk merantau ke Jakarta.[12]
Merantau
Sesampai di Jakarta, sambil mencari pekerjaan, ia menumpang sementara waktu di rumah salah seorang kerabatnya. Setelah memperoleh informasi dari salah seorang temannya tentang lowongan pekerjaaan pegawai Balai Penyelidikan Kimia di Bogor, ia langsung melamarnya.[13] Pada awalnya ia hanya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah laboratorium yang dikepalai oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Ir. Nyhold,[14] kemudian dalam tahun-tahun berikutnya, ia menjadi asisten seorang insinyur bernama Ir. Dufont setelah membantunya membangun sebuah laboratorium di Burangrang, Bandung. Sambil bekerja, ia juga memperoleh beasiswa dari Departemen Perindustrian saat itu untuk mengikuti pendidikan kimia di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).[15]
Setelah sekitar dua tahun mengikuti kuliah di ITB, prestasi akademisnya mulai menurun.[16] Pada saat itu ia memutuskan untuk kembali ke Padang untuk menemui orang tuanya di Mato Aie dan meminta izin menikahi seorang gadis di Bandung. Namun keinginannya ini ternyata tidak disetujui oleh kedua orang tuanya. Ibunya justru menangis sewaktu ia meminta izin menikahi seorang gadis yang bukan Minang. Sebaliknya, ibunya mengajukan calon lain yang sudah disiapkannya sendiri sejak lama, yakni Djusmeini. Pada 12 Juli 1957, ia akhirnya menikah dengan Djusmeini, yang ketika itu berumur 23 tahun. Setelah pernikahan dilangsungkan di Lubuk Alung, ia bersama istrinya kemudian pindah ke Bandung.[17] Sesampai di Bandung, ia tetap melanjutkan kuliahnya di ITB sampai tamat.[18]
Militer
Pendidikan militer
Semula berencana menjadi dosen tetap di almamaternya, pada 1959 Azwar bersama ratusan sarjana diperintahkan mengikuti wajib militer oleh pemerintah menyusul diberlakukannya status keadaan bahaya darurat perang. Ia menjalani latihan pendidikan militer di Sekolah Perwira Cadangan (Sepacad) di Bogor selama enam bulan hingga 1960.[19] Ia lulus dan dilantik Presiden Soekarno sebagai letnan satu dalam upacara militer di Bogor. Para lulusan diberi dua pilihan yaitu aktif masuk militer atau kembali ke pekerjaan semula. Azwar memilih untuk bergabung dengan militer.[20]
Karier militer
Azwar ditempatkan di Pabrik Alat Peralatan Angkatan Darat (Pabal AD) sebagai Kepala Dinas A. Setahun berikutnya, Pabal AD berganti nama menjadi Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad). Jabatan Azwar berganti nama menjadi Kepala Bagian 5 Dinas Laboratorium Pindad.[21] Pada 1962, Azwar naik pangkat menjadi kapten dan lima tahun selanjutnya ia berpangkat mayor corps peralatan (CPL).[22]
Pada 1964, Azwar dipromosikan menjadi Asisten Umum Operasi Karya Pindad.[23] Pada tahun itu, Pindad mengirimnya untuk mengikuti Kursus Peroketan Pindad. Ia terlibat dalam eksperimen pembuatan roket Achmad Yani 1 dan 2 yang diluncurkan dari Pameungpeuk, Garut.[24] Kemudian, ia mengikuti serangkaian kursus calon perwira menengah yaitu Kursus Latihan Perwira (Suslapa) Angkatan Darat di Cimahi dari 1967 hingga 1968, Upgrading Staf Kekaryaan Daerah (Skarda) C pada 1971, dan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) dari 1971 hingga 1973.[25]
Pada 1967, Mayor Azwar Anas diangkat sebagai Direktur PT. Purna Sadhana Pindad, anak perusahaan Pindad dalam bidang industri sipil. Ia didampingi oleh Direktur Produksi Kapten Ir. Yuwono, Direktur Marketing Kapten Siddiq, S.H., dan Direktur Perusahaan Drs. Suparman.[26] Karena ketiadaan dana, perusahaan itu mengajukan kredit pinjaman tanpa jaminan kepada Bank Bumi Daya sebesar Rp 500 juta.[27] Hal ini dilakukan tanpa dilaporkan kepada Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) sebagai otoritas Pindad. Asisten II Kepala SUAD Jenderal Hartono menegur Azwar dengan keras lalu kasus ini dibawa ke persidangan.[28] Kasus ini terbilang baru saat itu dan akhirnya Hartono menerimanya.[29]
PT Purna Sadhana Pindad berkegiatan dalam bisnis perbengkelan untuk jasa dan pembuatan barang-barang dan mesin untuk produksi. Pelanggan mereka adalah pabrik-pabrik semen seperti Semen Padang dan Semen Gresik.[30] Jumlah karyawan perusahaan itu ada 8.000 orang dan sebagian besarnya ahli dalam bidang perbengkelan, tidak dalam produksi. Azwar merekrut teknisi baru untuk meningkatkan potensi perusahaan.[31]
Azwar turun ke lapangan dan mengetahui kegiatan perusahaan secara detail sejak perencanaan hingga pemasaran.[32] Ia bersama Direktur Pemasaran Abubakar Siddik Prawiranegara langsung datang menaiki kapal ke Pulau Singkep, Pulau Bangka, dan Pulau Belitung untuk mengidentifikasi mesin timah yang akan diperbaiki Purna Sadhana Pindad.[33]
Pada 11 Juli 1970, Azwar memimpin pameran alat-alat pertanian produksi Pindad di Gedung Bina Graha, Jakarta. Presiden Soeharto sangat antusias dengan pameran tersebut.[34]
Azwar sering diminta memberikan ceramah agama di masjid-masjid Bandung. Ia ikut andil mendirikan Masjid Salman ITB. Ia juga intens membangun komunikasi dengan perantau Minang di kota itu.[35]
Direktur Semen Padang
Gubernur Sumatera Barat Harun Zain memanggil Azwar pulang kampung halaman dengan menjadi Direktur PN Semen Padang.[36] Kala itu Sumatera Barat porak-poranda akibat penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).[37] Harun Zain memanggil para sarjana Minang di perantauan untuk pulang kembali membangun Sumatera Barat.[38]
Kolonel Azwar Anas mulai memimpin Semen Padang dalam keadaan sekarat. Ia membenahi keadaan fisik pabrik dan merehabilitasi mental para karyawan melalui dakwah Islam. Ia berhasil membangkitkan perusahaan itu menjadi BUMN terkemuka di bawah Departemen Perindustrian.[39]
Karier pemerintahan
Keberhasilan Azwar Anas membuat ia dikenal oleh rakyat sehingga ia terpilih dalam pemilihan Gubernur Sumatera Barat Oktober 1977 menggantikan Harun Zain.[39] Ia tercatat sebagai perwira militer pertama yang memegang jabatan Gubernur Sumatera Barat. Ia menjabat gubernur selama dua periode hingga 1987. Pada 1986, ia pensiun dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan pangkat terakhir mayor jenderal TNI.[40]
Pada 1991, Azwar Anas menjadi pendiri dan Ketua Yayasan Nurul Ikhlas yang berlokasi di Pincuran Tinggi, Panyalaian, Sepuluh Koto, Tanah Datar. Yayasan ini bergerak di pendidikan Islam dan berkembang membawahi SMP dan SMA pondok pesantren modern, serta Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah Manna Wa Salwa.[41][42] Ia menjabat sebagai ketua yayasan hingga akhir hayatnya.[43]
Kehidupan pribadi
Dari pernikahan dengan Djusmeini, Azwar memiliki lima orang anak. Anak pertamanya Ria Prima Pusparini meninggal pada 10 November 1971 dalam kecelakaan pesawat Merpati yang juga ditumpangi oleh seniman Huriah Adam.[44] Anak-anak berikutnya bernama Ary Irsyad Riadi, Roy Irza Farabi, Ronny Pahlawan, dan Maya Devita. Keempat anak itu lulusan Amerika Serikat.[45] Djusmeini meninggal dunia di Bandung pada 16 Desember 2009.[46] Ronny Pahlawan menikahi calon istrinya di depan jenazah ibunya sebelum dimakamkan.[47][48]
Kahin, Audrey R (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926–1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-519-5.
Lesmana, Tjipta (2009). Dari Soekarno sampai SBY. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-4267-6.