Daya tampung biara berbeda-beda, ada yang berupa bangunan kecil sekadar cukup untuk menampung seorang rahib saja, atau–bagi para petarak yang hidup berguyub–berkisar dari satu bangunan tunggal yang cukup untuk menampung satu rahib atau rubiah senior bersama dua-tiga rahib atau rubiah junior, sampai dengan permukiman dan perumahan luas yang dapat menampung puluhan hingga ratusan orang. Sebuah kompleks biara biasanya terdiri atas sekumpulan bangunan, yakni gedung gereja, dormitorium (asrama), claustrum (serambi yang melilingi sebidang lapangan persegi), refectorium (refter), librarium (perpustakaan), balnearium (permandian), dan infirmarium (panti husada). Bergantung pada lokasi, tarekat, dan pekerjaan para penghuninya, kompleks biara dapat pula diperlengkapi dengan sejumlah bangunan tambahan yang digunakan untuk menunjang keswasembadaan dan karya bakti para penghuninya, misalnya hospes (balai penyantunan), sekolah, atau bangunan-bangunan pertanian dan manufaktur seperti bangsal ternak, besalen, dan kilang bir.
Istilah "biara" dalam bahasa Indonesia berasal dari sebutan umum dalam bahasa Melayu bagi bangunan-bangunan keagamaan non-Islam. Umat Kristen Indonesia menggunakan istilah "biara" sebagai sebutan umum bagi tempat tinggal biarawan atau biarawati. Sebutan khusus bagi tempat tinggal biarawan atau biarawati yang berkhalwat adalah "pertapaan", sementara tempat tinggal biarawan atau biarawati dari tarekat-tarekat fakir lazimnya disebut "konven". Sebutan khusus lainnya adalah "susteran" (konven suster), "frateran" (konven frater), dan "bruderan" (konven bruder). Istilah "wisma" digunakan sebagai sebutan bagi rumah-rumah retret, rumah-rumah paguyuban imam praja, dan rumah uskup.
Etimologi
Kata biara berasal dari kata vihāra dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, yang berarti "kawasan tertutup tempat berjalan-jalan", dan mula-mula digunakan oleh umat Buddha sebagai sebutan bagi "rumah singgah" atau "tempat bernaung" para biksu pengembara sepanjang musim hujan. Dalam bahasa Indonesia, kata biara digunakan sebagai sebutan umum bagi tempat tinggal para petarak atau petapa, sementara biara agama Buddha secara khusus disebut sebagai wihara.
Kata biara digunakan oleh umat Kristen sebagai padanan kata monasterium dalam bahasa Latin atau monastērion dalam bahasa Yunani. Monasterium sendiri berasal dari kata monastērion (μοναστήριον), yang berarti "tempat berkhalwat". Monastērion adalah bentuk netral dari kata monasterios (μοναστήριος); monasterios terbentuk dari kata monazein (μονάζειν) yang berarti "berkhalwat".[1]Monazein berasal dari akar kata monos (μόνος) yang berarti sendirian (mula-mula semua biarawan Kristen adalah rahib atau petapa yang hidup berkhalwat); akhiran "-terion" bermakna "tempat". Istilah monastērion pertama kali digunakan menjelang abad pertama Masehi oleh filsuf Yahudi, Filo, dalam karya tulisnya De Vita Contemplativa (Perihal Hidup Bertafakur), bab III.
Istilah-istilah
Dalam artikel ini, istilah biara digunakan secara generik sebagai sebutan bagi segala macam tempat tinggal paguyuban-paguyuban keagamaan. Agama Kristen Katolik Roma dan beberapa mazhab agama Buddha memiliki definisi yang agak spesifik dari istilah ini serta istilah-istilah terkait lainnya.
Biara-biara agama Buddha pada umumnya disebut wihara (bahasa Pali). Wihara dapat dihuni baik oleh pria maupun wanita. Istilah wihara dapat pula digunakan sebagai sebutan untuk rumah ibadat agama Buddha. Biara agama Buddha juga dikenal dengan sebutan gompa di Tibet, wat di Thailand, Laos dan Kamboja, serta kyaung di Myanmar.
Biara Kristen dapat berupa Keabasan (dikepalai oleh seorang abas), priorat (dikepalai oleh seorang prior), atau pertapaan (tempat tinggal petapa). Biara dapat dihuni oleh paguyuban pria (biarawan) atau wanita (biarawati). Dalam Gereja Kristen Timur, paguyuban terkecil para petarak disebut skite, dan biara yang sangat besar atau penting disebut laura.
Dalam biara Kristen, cara hidup berguyub disebut senobitis, berlawanan dengan cara hidup anakoritis (cara hidup seorang anakorit) dan eremitis (cara hidup seorang eremit). Ada pula cara hidup "idioritmis", yang tumbuh subur pada masa pendudukan Utsmaniyah di Yunani dan Siprus, yakni rahib-rahib hidup bersama tetapi diperbolehkan memiliki harta-benda pribadi dan tidak diwajibkan bekerja demi kepentingan bersama.
Dalam agama Jain, biara disebut wihara, sama seperti sebutan untuk biara dalam agama Buddha.
Hidup membiara
Dalam kebanyakan agama, kehidupan di biara berjalan menurut aturan-aturan paguyuban yang menentukan jenis kelamin para penghuni, dan mewajibkan mereka untuk untuk tetap hidup selibat dengan sedikit atau tanpa harta-benda pribadi. Taraf keterpisahan kehidupan dalam biara secara sosial dari lingkungan sekitarnya pun berbeda-beda antara satu biara dengan yang lain. Beberapa tradisi keagamaan mewajibkan para penghuni biara untuk mengucilkan diri sehingga dapat berkontemplasi jauh dari keramaian dunia, penghuni biara semacam ini dapat saja menghabiskan sebagian besar waktunya dalam keterkucilan, bahkan antara satu sama lain. Tradisi keagamaan yang lain mencurahkan perhatian pada interaksi dengan masyarakat di sekitarnya agar dapat melaksanakan karya-karya pelayanan berupa pengajaran, perawatan medis, ataupun penginjilan. Beberapa biara paguyuban hanya ditinggali secara musiman, tergantung tradisi yang dianut serta keadaan cuaca setempat, dan ada pula biara paguyuban yang memperbolehkan orang untuk menjadi anggota selama jangka waktu tertentu, mulai dari beberapa hari sampai nyaris seumur hidup.
Kehidupan di dalam kungkungan tembok sebuah biara ditunjang dengan berbagai cara: dengan menghasilkan dan menjual barang yang sering kali berupa hasil bumi, dengan sumbangan atau derma, dengan pendapatan sewa atau investasi, dan dengan dana dari organisasi-organisasi lain yang pada masa lalu merupakan penyokong tradisional bagi biara-biara agamanya. Sudah lama ada tradisi dalam biara-biara Kristen untuk menyediakan pelayan-pelayanan sebagai suaka, panti derma, dan panti husada. Biara-biara sudah sering kali dikait-kaitkan dengan ketersediaan pendidikan dan dukungan bagi kesarjanaan dan penelitian, yang kelak menghasilkan sekolah-sekolah, kolese-kolese, dan universitas-universitas. Kehidupan dalam biara Kristen telah beradaptasi dengan masyarakat modern dengan menawarkan jasa komputer, jasa dan manajemen akuntansi, serta administrasi rumah sakit dan pendidikan modern.
Biara-biara agama Buddha, yang disebut wihara, muncul sekitar abad ke-4 SM karena adanya praktik warsa (Pali: vassa) atau masa istirahat bagi para biksu dan biksuni selama musim hujan di Asia Selatan. Agar tidak merusak tanaman yang baru tumbuh atau terjebak dalam cuaca buruk, para biksu dan biksuni dianjurkan untuk menetap bersama-sama di suatu tempat tertentu selama kurang lebih tiga bulan, biasanya mulai pertengahan bulan Juli. Di luar masa warsa, baik biksu maupun biksuni menjalani hidupnya sambil berkeliling meminta-minta makanan dari kota ke kota. Masa warsa mula-mula dijalani di bangsal-bangsal dan taman-taman yang telah didermakan kepada sangga oleh para hartawan penyokong agama Buddha. Seiring perkembangan zaman, praktik tinggal bersama sebagai satu sangga selama masa warsa ini berkembang menjadi cara hidup yang lebih senobitis, yakni tinggal bersama di wihara sepanjang tahun.
Wihara-wihara di India lambat laun berkembang menjadi pusat-pusat pendidikan, tempat asas-asas filsafat digagas dan ditelaah bersama-sama. Tradisi pendidikan semacam ini masih dijalankan oleh universitas-universitas wihara Wajrayana dan sekolah-sekolah serta universitas-universitas agama Buddha yang didirikan oleh tarekat-tarekat rohaniwan Buddha. Di zaman modern, cara hidup menetap bersama-sama dalam wihara merupakan cara hidup yang paling lazim dijalani oleh para biksu dan biksuni di seluruh dunia.
Mula-mula wihara adalah milik bersama seluruh biksu sangga, namun di kemudian hari tradisi kepemilikan bersama ini mengalami perubahan di sejumlah negara. Meskipun ada larangan winaya terkait kepemilikan harta benda, banyak wihara memiliki tanah berhektar-hektar, sama seperti biara-biara Kristen di Eropa pada Abad Pertengahan. Di Tiongkok, keluarga-keluarga petani menggarap lahan milik wihara dan menyetorkan sebagian dari hasil panennya kepada wihara setiap tahun, sama seperti yang mereka lakukan jika menggarap lahan milik tuan-tuan tanah feodal. Di Sri Lanka dan Tibet, kepemilikan atas wihara sering kali dipercayakan kepada satu orang biksu yang tak jarang mempertahankan hak milik ini bagi kaum keluarganya dengan cara mewariskannya kepada salah seorang kemenakannya yang telah ditahbiskan menjadi biksu. Di Jepang, tempat para biksu diizinkan untuk menikah oleh para pejabat sipil, jabatan kepala kuil atau biara kadang-kadang menjadi jabatan turun-temurun yang diwariskan dari ayah kepada anak.
Wihara-wihara di dalam hutan – lebih sering dijumpai dalam mazhab Terawada di Asia Tenggara dan Sri Lanka – adalah wihara-wihara yang lebih difungsikan sebagai tempat berlatih semadi ketimbang sebagai lembaga pendidikan atau rumah ibadat. Wihara-wihara di dalam hutan ini sering kali mirip dengan biara-biara Kristen perdana, tempat sekelompok kecil biarawan hidup selayaknya para petapa di bawah bimbingan seorang guru tua yang disegani. Meskipun cara hidup mengembara yang dipraktikkan oleh Sang Buddha dan murid-muridnya tetap merupakan cara hidup ideal bagi para biksu yang hidup di hutan-hutan belantara Muangthai dan negeri-negeri lain, masalah-masalah praktis–meliputi penyusutan kawasan hutan belantara, letak yang sulit dijangkau oleh umat Buddha yang menjadi penyokong hidup para biksu, dan konflik-konflik di tapal batas negara yang berpotensi merenggut nyawa para biksu–memaksa semakin banyak biksu petapa untuk meninggalkan cara hidup mengembara dan menetap di wihara-wihara.
Beberapa di antara biara-biara terbesar di dunia adalah wihara. Wihara Drepung di Tibet menampung sekitar 10.000 biksu sebelum invasi Republik Rakyat Tiongkok.[2] Di lokasinya yang baru di India, wihara ini menampung sekitar 8.000 biksu.
Menurut tradisi, monastisisme dalam agama Kristen bermula di Mesir, dirintis oleh Santo Antonius. Mula-mula semua biarawan Kristen adalah petapa yang jarang bersua orang lain. Namun karena begitu beratnya uzlah, banyak biarawan yang menyerah dan kembali ke kehidupan lamanya atau mengalami kesesatan rohani.
Suatu bentuk transisional dari monastisisme di kemudian hari dibentuk oleh Santo Amun. Dalam bentuk monastisisme transisional ini, para biarawan yang "berkhalwat" hidup cukup berdekatan satu sama lain sehingga dapat saling bantu dan berkumpul pada hari Minggu untuk beribadat bersama-sama.
Santo Pakomius adalah penggagas cara hidup berguyub dan beribadat bersama-sama di bawah satu atap (Monastisisme Senobitis). Sebagian pihak berpendapat bahwa cara hidup dalam komunitas yang digagasnya terilhami oleh cara hidup di baraktentara Romawi yang pernah ia jalani ketika menjadi prajurit pada masa mudanya.[3] Tak lama sesudahnya, padang gurun Mesir dipenuhi biara-biara, terutama di sekitar Nitria (Wadi El Natrun), yang dijuluki "Kota Suci". Diperkirakan bahwa daerah ini suatu ketika pernah ditinggali oleh 50.000 orang biarawan.
Meskipun demikian, cara hidup petapa tidak serta-merta menghilang, tetapi dikhususkan bagi para biarawan senior yang sudah mampu menangani masalah-masalah pribadinya dalam biara senobitis.
Gagasan cara hidup senobitis ini menyebar luas dan ditiru di mana-mana:
Santo Saba mengatur para rahib di Padang Gurun Yudea dalam sebuah biara di dekat Betlehem (483). Biara ini dianggap sebagai leluhur dari seluruh biara Gereja Ortodoks Timur.
Kehidupan berdoa dan berguyub merupakan kehidupan yang terjadwal ketat dan penuh pengorbanan diri. Berdoa adalah pekerjaan para rahib, dan pelaksanaan ibadat harian menyita banyak waktu seorang rahib ketika terjaga – Matin, Laudes, Prima, Tertia, misa harian, Sexta, Nona, Vesper, dan Komplina. Di sela-sela waktu berdoa, para rahib diizinkan untuk duduk di klausura dan mengerjakan proyek-proyek penulisan, penyalinan, dan dekorasi buku-buku. Pekerjaan-pekerjaan semacam ini diberikan menurut kemampuan dan minat seorang rahib. Rahib-rahib yang tidak meminati hal-hal ilmiah diberi pekerjaan-pekerjaan fisik yang menuntut pengerahan tenaga pada taraf yang berbeda-beda.
Waktu makan kenyang adalah sekitar tengah hari, sering kali dilakukan di sebuah refter, dan terdiri atas hidangan-hidangan bersahaja yang tidak menggugah selera, misalnya ikan rebus dan havermut. Selama waktu makan, salah seorang rahib akan membacakan Kitab Suci dari mimbar. Karena tidak boleh bercakap-cakap selama waktu makan, para rahib menciptakan bahasa isyarat. Para abas dan tamu-tamu terhormat menempati meja tinggi, sementara penghuni biara selebihnya duduk sesuai urutan senioritas pada meja-meja yang membentuk sudut siku-siku dengan meja tinggi. Adab makan ala biara ini tetap dipertahankan manakala sejumlah biara berubah menjadi universitas selepas milenium pertama, serta masih dapat disaksikan di Universitas Oxford dan Universitas Cambridge.
Keberadaan biara-biara sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Biara-biara merupakan pusat pendidikan dan kemajuan ilmiah. Biara-biara membuka pintunya bagi orang-orang yang berniat menjadi imam untuk mengkaji dan belajar, bahkan memberi mereka keleluasaan untuk mendebat doktrin agama Kristen dalam dialog bersama para pemimpin biara. Bentuk notasi musik yang tertua dipercaya merupakan hasil reka cipta seorang rahib yang bernama Notker dari Saint Gall, dan menyebar ke seluruh Eropa melalui jaringan perhubungan antarbiara. Karena biara-biara membuka pintu bagi para peziarah yang hendak melepas lelah dalam peziarahannya, para rahib diwajibkan pula untuk merawat luka-luka badani dan menenteramkan hati mereka. Seiring berlalunya waktu, umat awam pun mulai berziarahke biara-biara, bukan lagi sekadar menjadikannya tempat persinggahan. Kala itu biara-biara memiliki perpustakaan-perpustakaan yang cukup memadai sehingga menjadi daya tarik bagi pengunjung-pengunjung terpelajar. Keluarga-keluarga akan menyumbangkan salah seorang putranya sebagai ganti berkat-berkat yang mereka terima. Manakala wabah merajalela, para rahib turun tangan menggarap lahan-lahan warga dan menyiapkan makanan bagi orang-orang sakit.
Balai pendiangan merupakan bagian lumrah dari biara Abad Pertengahan, yakni balai tempat para rahib datang berdiang. Balai ini sering kali adalah satu-satunya ruangan di biara tempat orang menyalakan perapian.
Meskipun di Indonesia, tempat-tempat tinggal para anggota tarekat-tarekat fakir sudah lumrah disebut biara, di negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi, tempat-tempat tinggal para frater disebut conventus dalam bahasa Latin, convento dalam bahasa Italia, atau couvent dalam bahasa Prancis, yang berarti "tempat berkumpul". Para anggota tarekat Fransiskan kini jarang menyebut tempat tinggalnya sebagai "biara", mereka justru lebih suka menggunakan istilah "priorat".
Dalam Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Timur, baik biarawan maupun biarawati mengikuti suatu tata tertib pertarakan yang sama, bahkan mengenakan habit (pakaian seragam biara) yang sama (biarawati mengenakan kerudung tambahan yang disebut apostolnik). Berbeda dari kehidupan membiara dalam Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks tidak memiliki bermacam-macam tarekat religius, tetapi hanya satu bentuk kehidupan membiara. Biarawan maupun biarawati mengasingkan diri dari dunia dengan maksud untuk mendoakan dunia.
Ukuran biara berbeda-beda, mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil. Ada tiga macam tempat tinggal bagi biarawan-biarawati dalam Gereja Ortodoks:
Koinobion (senobium): Tempat tinggal para biarawan yang hidup bersama, bekerja bersama, dan berdoa bersama, di bawah tuntunan seorang abas dan rahib-rahib tua. Konsep dari cara hidup senobitis adalah bilamana banyak laki-laki (atau perempuan) hidup bersama dalam suatu paguyuban pertarakan maka, sebagaimana yang terjadi pada batu-batu tajam, "ketajaman" mereka akan terkikis habis sampai halus dan licin. Biara-biara yang paling besar dapat menampung ribuan biarawan dan disebut laura. Di dalam senobium, ibadat harian, bekerja, dan bersantap dilakukan bersama-sama.
Skite (skiti): Tempat tinggal yang biasanya menampung satu orang tetua dan dua-tiga orang murid. Di dalam skite, sebagian besar doa dan pekerjaan dilakukan sendiri-sendiri. Para biarawan berkumpul pada hari minggu dan hari-hari raya. Dengan demikian cara hidup dalam sebuah skite memiliki unsur hidup menyendiri maupun unsur hidup berguyub, sehingga skite disebut pula "jalan tengah".
Eremit adalah biarawan yang menjalani pertarakan dalam kesendirian, bukan dalam suatu paguyuban.
Salah satu pusat pertarakan Ortodoks adalah Gunung Athos di Yunani. Sebagaimana Negara Vatikan, Gunung Athos berpemerintahan sendiri. Gunung Athos terletak di sebuah semenanjung terpencil seluas kurang lebih 32 x 8 km persegi (20 x 5 mil persegi). Pemerintahan di wilayah ini diselenggarakan oleh para pemimpin dari 20 biara. Populasi Gunung Athos kini berjumlah kurang lebih 2.200 laki-laki saja, dan hanya boleh dikunjungi oleh laki-laki dengan izin khusus dari pemerintah Yunani dan pemerintah Gunung Athos sendiri.
Biara Santo Makarius (Deir Abu Makaria) dan Biara Santo Antonius (Deir Mar Antonios) adalah biara-biara tertua di dunia dan bernaung di bawah perlindungan Batrik Gereja Ortodoks Koptik.
Lain-lain
Pada tahun-tahun terakhir abad ke-18, mulai timbul gerakan hidup membiara di kalangan denominasi-denominasi Protestan. Gerekan ini berpusat di Amerika Serika dan Kanada, bermula dengan jemaat Shakers yang didirikan di Inggris dan kemudian pindah ke Amerika Serikat. Pada abad ke-19, banyak paguyuban-paguyuban kebiaraan semacam ini didirikan sebagai paguyuban-paguyuban utopis yang dalam berbagai aspek meniru cara hidup membiara. Selain kaum Shakers, ada pula kaum Amanna, kaum Anabaptis, dan lain sebagainya. Banyak di antaranya yang mengizinkan pernikahan, tetapi sebagian besar memiliki kebijakan selibat dan hidup berguyub yang mewajibkan para anggotanya untuk saling berbagi dalam segala hal dan menafikan hak milik pribadi.
Pada abad ke-19, kebangkitan kembali monastisisme dalam gereja Inggris mendorong terbentuknya lembaga-lembaga pertarakan seperti House of the Resurrection, Mirfield (Community of the Resurrection), Biara Nashdom (Benediktin), Priorat Cleeve (Community of the Glorious Ascension) dan Biara Ewell (Sistersian), tarekat-tarekat Benediktin, tarekat-tarekat Fransiskan, tarekat-tarekat Salib Suci, tarekat Santa Helena. Gerekan hidup membiara juga timbul dalam denominasi-denominasi Kristen Protestan yang lain, terutama di kalangan kaum Lutheran di Eropa dan Amerika Utara. Sebagai contoh, tarekat Benediktin Salib Suci di St Augustine's House di Michigan adalah sebuah tarekat biarawan Lutheran, dan ada pula paguyuban-paguyuban religius Lutheran di Swedia dan Jerman. Pada era 1960-an, kelompok-kelompok monastik percobaan dibentuk untuk menampung kaum pria dan wanita dalam satu tempat tinggal–para anggotanya diizinkan menikah dan menghasilkan keturunan–yang dikelola dalam bentuk paguyuban.
Kecenderungan mutakhir
Kini ada gerakan-gerakan neo-monastisisme Kristen, khususnya di kalangan umat Kristen injili.[5]
Agama Hindu
Mazhab Adwaita Wedanta
Semenjak zaman Weda, sudah ada orang-orang yang menjalani hidup membiara di Anak Benua India. Dalam keyakinan yang kini disebut agama Hindu, sudah ada biarawan sejak lama, dan seiring dengan keberadaan mereka, berdiri pula biara-biara yang disebut matha. Di antaranya yang penting adalah matha-matha catur-amnaya yang didirikan oleh Adi Sangkara. Adi Sangkara membentuk pusat-pusat percabangan yang menuntun reorganisasi tarekat kuno biarawan mazhab Adwaita menjadi sepuluh nama dari Dasanami Sampradaya.
Ramanuja membuka era baru dalam agama Hindu dengan menghidupkan kembali keyakinan yang telah hilang dari agama ini dan memberikan ajaran-ajaran dasar filsafat Wisistadwaita yang sudah ada sejak purbakala. Ia memastikan agar sejumlah matha mazhab Sri Waisnawa Sampradaya didirikan pada pusat-pusat peziarahan penting.
Islam menentang kehidupan membiara, yang menurut Al-Quran adalah perbuatan ghuluw (melampaui batas).[6] Istilah ṣūfī digunakan untuk menyebut para mistikus Muslim yang mengadopsi praktik-praktik pertarakan sebagai sarana untuk mencapai kemanunggalan dengan Allah. Praktik-praktik pertarakan ini di antaranya adalah tindakan mengenakan pakaian wol kasar yang disebut ṣūf. Istilah taṣawwuf berasal dari kata ṣūfī, artinya orang yang mengenakan ṣūf. Seiring perjalanan waktu, ṣūfī pun digunakan sebagai sebutan bagi semua orang Muslim yang percaya pada kemanunggalan mistis.[7]
Asas-asas filsafat sufi memperlihatkan pengaruh-pengaruh filsafat neoplatonis dan filsafat-filsafat lainnya. Banyak praktik para rahib dan pertapa gurun Kristen Ortodoks yang ditiru dalam perkembangan gerakan sufi di tengah-tengah bekas negeri-negeri Kristen di Timur Tengah. Praktik-praktik pertarakan dalam filsafat sufi pernah pula dikait-kaitkan dengan agama Buddha. Ajaran tentang pemurnian (membersihkan jiwa dari segalam macam kejahatan, berusaha untuk mencapai Nirwana, dan hidup kekal di Nirwana) berperan penting dalam agama Buddha. Gagasan yang sama tampak pula pada ajaran "fanaa" (manunggal dengan Allah) dalam filsafat sufi.[7]