Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Johannes Kruyt (1835)

Johannes "Jan" Kruyt (18 Februari 1835 – 19 Februari 1918), adalah seorang misionaris Belanda. Ia menyebarkan Injil di wilayah Jawa Timur, terutama di Mojowarno, Jombang.

Kehidupan awal

Menjadi misionaris

Jan lahir dari pasangan Arie Kruyt, seorang apoteker di Den Haag dan Maria van Besoyen.[1] Sekitar tahun 1850, Jan secara kebetulan bertemu Karl Gützlaff, seorang misionaris yang bertugas Tiongkok, melalui sebuah khotbah di salah satu gereja di Den Haag. Jan yang sangat terkesan dengan khotbah tersebut, membuatnya ingin menjadi misionaris.[2] Niatnya ini tidak serta merta diizinkan ayahnya, yang menginginkannya sebagai penerus apotek keluarga mereka. Ibunya, Maria, juga tidak langsung menyetujuinya. Namun, Maria yang sering kali menengahi argumen antara Arie dan Jan, secara diam-diam menanyakan tentang Sekolah Kebudayaan Misi dari Lembaga Misionaris Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschap) di Rotterdam, dan berdiskusi dengan pastor mereka tentang permintaan Jan. Jan kemudian berbicara dengan ayah dan ibunya dalam sebuah diskusi yang "serius". Semua hal dan dampak buruk diberitahukan kedua orangtuanya, tetapi Jan tetap berniat menjadi misionaris. Akhirnya, Arie menyerah dan Jan diizinkan pergi ke Sekolah Zending (Zendingskweekschool) di Rotterdam pada tahun 1853, di Rottekade. Pada awalnya, ia diterima untuk masa percobaan, sebelum ia lulus ujian dan memulai studi yang sebenarnya, dengan dengan berbagai mata pelajaran, termasuk pendidikan medis. Pengalamannya saat membantu ayahnya di apotek sangat berguna. Setelah lulus ujian akhir, ia secara resmi diangkat sebagai misionaris. Meskipun demikian, ia hanya diizinkan untuk melayani orang-orang pribumi di wilayah jajahan Belanda, bukan kepada penduduk Belanda sendiri.

Periode awal di Hindia Belanda

Pada tanggal 5 Agustus 1858, Jan berangkat menggunakan kapal menuju ke Hindia Belanda. Kapal berlayar menyusuri pesisir Prancis, Portugal dan pantai barat Afrika, hingga ke selatan di Cape Town,[a] sebelum tiba di pelabuhan Batavia pada tanggal 23 November 1858. Ia berangkat ke Surabaya dengan kapal. Dari situ, ia melakukan perjalanan menuju Malang, di mana ia dipercayakan kepada rekan sesama misionaris bernama Samuel Eliza Harthoorn. Ia kemudian mempelajari bahasa Jawa, sejarah lokal Jawa dan juga asal usul desa Mojowarno dan komunitas Kristen di sana. Selama berada di Malang, Jan sering mengunjungi keluarga dokter Hendrik van der Linden di Surabaya bersama dengan Harthoorn. Di sana ia bertemu dengan adik Hendrik bernama Dorothea van der Linden (sering dipanggil Dora). Jan jatuh cinta kepadanya dan setelah mendapatkan izin dari Hendrik, ia mulai menjalin hubungan dengan Dora. Dewan misi di Belanda memberikan izin untuk pernikahan dan pada tahun 1859, mereka kemudian menikah.

Misi di Semarang

Tak lama kemudian mereka berangkat ke Semarang, tempat di mana Jan harus bekerja. Di sana, ia menggantikan misionaris yang lebih tua, Hoezoo, yang dipindahkan ke Mojowarno. Tidak butuh waktu lama sebelum Dora menyadari bahwa dia hamil. Pada tanggal 13 Juli 1860, anak sulung mereka lahir: anak laki-laki yang diberi nama Arie.[b] Jan memimpin jemaat kecil di Semarang dan beberapa desa di sekitarnya, ia juga memimpin kebaktian gereja, memberi katekismus dan mengajar di sebuah sekolah kecil dengan 20 siswa. Periode ini diwarnai kecurigaan pejabat pemerintah, dan juga orang Jawa yang menganggap agama Kristen sebagai "agama Belanda". Tidak lama setelah kelahiran Arie, Dora hamil lagi, dan putra kedua mereka bernama Hendrik lahir pada tahun 1862, yang kali ini dinamai menurut keluarga Dora. Hoezoo, yang ingin kembali ke Semarang sementara Jan ingin kembali ke Mojowarno, diizinkan untuk bertukar. Di saat yang sama, anak ketiga mereka lahir: seorang gadis bernama Niescina, yang dinamai sesuai dengan nama saudara perempuan tertua Jan. Pada bulan Maret 1864, mereka pindah ke Mojowarno.

Catatan

  1. ^ Terusan Suez baru dibuka pada tahun 1869.
  2. ^ Namanya diambil dari nama ayah Jan. Saat itu, ada kebiasaan orangtua menamai anaknya sesuai nama ayahnya.

Referensi

  1. ^ Rassers 1949, hlm. 161; Noort 2006, hlm. 14.
  2. ^ Noort 2006, hlm. 14.

Sumber

Kembali kehalaman sebelumnya