Kesombongan, berasal dari kata sombong (bahasa Inggris: pride; bahasa Latin: superbia; bahasa Arab: فخر, fakhar), juga angkuh, takabur, arogan, congkak, tinggi hati, jumawa, dan besar kepala merupakan suatu perasaan atau emosi dalam hati yang dapat mengacu pada dua makna umum. Dalam konotasi negatif biasanya mengacu pada perasaan meningkatnya status atau prestasi seseorang, sering kali disebut "keangkuhan". Sementara dalam konotasi positif mengacu pada satu perasaan puas diri seseorang terhadap tindakan atau pilihannya sendiri, atau terhadap pihak lain, atau juga terhadap suatu kelompok sosial; dapat dikatakan sebagai satu produk turunan dari pujian, refleksi diri, atau rasa memiliki yang terpenuhi. Para filsuf dan psikolog sosial telah mengamati bahwa kesombongan adalah suatu emosi sekunder yang kompleks, yang memerlukan pengembangan dari satu perasaan pribadi dan penguasaan perbedaan konseptual yang relevan (misalnya membedakan kesombongan dari kebahagiaan dan sukacita) melalui interaksi secara lisan dengan orang lain.[1] Beberapa psikolog sosial juga mengidentifikasinya terkait dengan suatu sinyal dari status sosial yang tinggi.[2]
Dalam Psikologi
Sebagai emosi
Dalam konteks psikologi, kesombongan merupakan suatu emosi yang menyenangkan, terkadang menggembirakan, sebagai hasil dari evaluasi diri yang positif.[3] Tracy dan yang lain menambahkannya dalam UCDSEE (University of California, Davis, Set of Emotion Expressions) pada tahun 2009 sebagai salah satu dari 3 emosi "kesadaran diri"—selain rasa malu (shame dan embarrassment) -- yang diketahui memiliki ekspresi yang dapat dikenali.[4]
Ekspresi wajah dan gerak tubuh yang menunjukkan kesombongan dapat berupa mengangkat dagu, tersenyum, atau tolak pinggang untuk menunjukkan kemenangan. Seseorang mungkin secara implisit menyatakan status kepada orang lain semata-mata berdasarkan ekspresi kesombongan mereka, bahkan saat ia tidak bermaksud demikian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekspresi nonverbal dari kesombongan menyampaikan suatu pesan yang secara otomatis dirasakan orang lain mengenai tingginya status sosial orang tersebut dalam suatu kelompok.[2]
Dampak
Pemahaman umum dari kesombongan adalah merupakan hasil dari kepuasan yang diarahkan sendiri untuk memenuhi tujuan pribadi; contohnya, Weiner et al. mengemukakan bahwa hasil kinerja yang positif menimbulkan kesombongan dalam diri seseorang ketika perbuatannya dinilai sebagai hasil dari dirinya sendiri saja. Selain itu, Oveis et al. mengkonsepkan kesombongan sebagai suatu penampilan diri yang kuat yang mempromosikan rasa kesamaan untuk menguatkan orang lain, sebagaimana juga sebagai diferensiasi untuk melemahkan yang lainnya. Dilihat dari sisi ini, menurut Oveis et al., kesombongan dapat dikonsepkan sebagai suatu emosi yang memperkaya hierarki karena pengalaman dan penampilannya membantu menyingkirkan negosiasikonflik.[5]
Dalam Agama
Katolik
Kesombongan, atau kecongkakan, adalah dosa pokok yang pertama dalam "Tujuh dosa pokok" sebagaimana tercantum di Katekismus Gereja Katolik (KGK) #1866. Kesombongan adalah permulaan dosa (Sirakh 10:13) yang diakibatkan oleh manusia pertama (Roma 5:12); sehingga dosa kesombongan menyebabkan dosa-dosa lain, atau dosa-dosa pokok lainnya.
Arti kesombongan
SantoThomas Aquinas berpendapat bahwa kesombongan adalah suatu perasaan dimana manusia menilai dirinya lebih dari kenyataannya; kehendaknya sudah berlawanan dengan nalar dengan mengharapkan sesuatu yang tidak wajar, sehingga kesombongan merupakan dosa.[6] Dengan bahasa yang lugas dan berbeda, Santo Yohanes Maria Vianney menggambarkan orang yang sombong sebagai orang yang haus pujian, orang yang menunjukkan kerendahan hati palsu. Menurutnya, seseorang yang sombong selalu memperolok dirinya sendiri dengan tujuan agar orang lain semakin memujinya. Semakin seseorang yang sombong merendahkan dirinya, semakin banyak ia mengharapkan puji-pujian atas kesia-siaannya yang menyedihkan itu. Orang yang sombong memenuhi khayalannya dengan segala yang telah dikatakan orang untuk memuji dirinya sendiri, dan dengan segala daya upaya berusaha untuk memperoleh lebih banyak pujian lagi karena ia tidak pernah puas dengan pujian.[7]
Merasa bahwa kebaikannya berasal dari dirinya sendiri
Merasa bahwa kebaikannya berasal dari Tuhan dan karena jasanya
Membanggakan sesuatu yang tidak dimilikinya
Memandang rendah orang lain dan merasa sebagai satu-satunya pemilik dari apa yang dimilikinya
Dua belas tangga kesombongan
Secara rinci SantoBernardus dari Clairvaux menyusun "Dua belas tangga kesombongan", atau "Dua belas tahap kesombongan", sebagai kebalikan "Dua belas tahap kerendahan hati" dari Santo Benediktus yang tercantum dalam Peraturan Santo Benediktus.[8] St. Thomas Aquinas juga menggunakan karya St. Bernardus tersebut dalam penjelasan mengenai dosa pokok kesombongan dalam karya terbesarnya, Summa Theologia.[6] Sebenarnya tahapan-tahapan ini secara khusus ditujukan kepada para rahib, namun secara umum dapat diterapkan juga untuk kaum awam.
12 Tingkat Kesombongan
12 Tingkat Kerendahan Hati
I.
Rasa ingin tahu akan segala sesuatu
XII.
Penyangkalan kehendak diri dalam kebersahajaan sikap tubuh
II.
Pikiran sembrono, senang bicara yang tidak penting
Kerendahan hati XII, mungkin, adalah kerendahan hati sempurna; sementara Kesombongan XII berpotensi untuk melawan dan meninggalkan Allah sepenuhnya. Dari 12 tingkatan kesombongan dapat dilihat bahwa kejatuhan manusia dalam kebiasaan berdosa (XII) diawali dari sikap yang tampak sepele, yaitu rasa ingin tahu akan berbagai hal (I) --khususnya keinginan mata. Kejatuhan manusia pertama, yang menyebabkan dosa asal, berawal dari rasa ingin tahu Hawa dengan memandang yang tidak semestinya sehingga membiarkan dirinya dikuasai godaan (Kejadian 3:1-24).[9] Kesombongan dalam suatu tingkat tertentu dapat diatasi dengan kerendahan hati yang adalah lawannya, dalam tingkat yang sejajar pada tabel; contohnya jika sudah suka membual dan banyak bicara (Kesombongan IV), diatasi dengan tindakan hanya berbicara jika diminta (Kerendahan hati IX).
Hubungan dengan Tiga Kebajikan Ilahi
Harapan adalah penantian dengan penuh kepercayaan akan berkat ilahi dan pandangan Allah yang membahagiakan, tujuan hidup semua orang beriman; merupakan salah satu dari tiga kebajikan teologal/ilahi—selain iman dan kasih.[10]:2090 Seseorang dapat gagal mencapai harapan karena kesombongan (dalam hal ini "presumsi") membuat ia melakukan yang tidak semestinya, sehingga kasih dan imannya gugur dalam perjalanan hidupnya. Sehubungan dengan harapan, KGK mengklasifikasi kesombongan ini menjadi 2 macam:[10]:2092
Seseorang yang menilai kemampuannya terlalu tinggi; merasa dapat mencapai keselamatan tanpa bantuan Tuhan. Akibatnya orang tersebut akan mengalami banyak kejatuhan berulang-ulang karena berusaha sendiri tanpa memohon bantuan rahmat dari-Nya. Suatu saat ia dapat mencapai tahap keputusasaan,[10]:2091 dan pada akhirnya ia menyangkal imannya.
Seseorang yang merasa dapat menerima pengampunan, tanpa perlu bertobat, karena pemahaman yang salah akan kerahiman Allah; dan merasa dapat menjadi bahagia tanpa berbuat jasa apapun. Padahal Allah tidak menghendaki dosa, dan menjatuhkan hukuman atasnya; kemudian orang tersebut menantang kasih Allah—dimana ia sendiri yang mengingkari dan memungkiri kebaikan-Nya dengan tidak mau bertobat. Sehingga selanjutnya timbul kebencian terhadap Allah.[10]:2094 Demikian akhirnya, akibat kesombongannya, seseorang dapat melakukan dosa yang tak terampuni—menghujat Roh Kudus (Lihat: Kronologi berkembangnya dosa).
Islam
Menurut Islam, sombong kepada Allah adalah dosa paling parah, dengan menolak berserah diri dan menyembahnya.
Sombong juga merupakan dosa besar dalam Islam. Nabi Muhammad pernah bersabda dalam hadist yang diriwayatkan Tirmidzi, yaitu:
Seseorang tidak akan masuk surga jika ia memiliki kesombongan walau seberat atom di hatinya
Menurut Islam, kesombongan membawa dampak yang buruk. Kesombongan akan membuat seorang Muslim tidak memaafkan Muslim lainnya, ketika dimintai maaf. Oleh karena itu, orang yang sombong akan mulai berpikir dia lebih baik daripada orang lain. Dia juga akan lupa bahwa semua manusia diciptakan dari tanah liat dan akan kembali ke tanah (makam) serta kembali kepada Allah.
Tidak hanya itu saja, kesombongan akan menyebabkan orang tidak merasa puas dan selalu mengejar kekuasaan dan jabatan. Kesombongan juga akan menjauhkan orang dari agama Allah. Allah bahkan mengutuk orang-orang yang sombong dan menyombongkan diri.
Allah berfirman dalam Alquran tentang kesombongan sebagai dosa terbesar.
(Kepada mereka) akan dikatakan, Masuklah ke gerbang Neraka untuk tinggal selamanya di dalamnya, dan itulah tempat seburuk-seburuknya bagi orang-orang yang menyombongkan diri — Az Zumar - 31
Menurut Alquran, kesombongan adalah dosa yang akan mendapat hukuman berat dari Allah. Nabi Muhammad SAW juga bersabda, bahwa kesombongan adalah penyakit yang merupakan dosa terbesar di sisi Allah. Beliau mengatakan, bahwa orang yang memiliki kesombongan dalam hatinya tidak akan masuk surga[11]
Allah telah berfirman pula dalam Alquran bahwa manusia yang menyombongkan diri terhadap kebenaran, yaitu Alquran menjadi salah satu penyebab kekekalan manusia dalam neraka.
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat — Al A'raf - 40[12].
Sedangkan siksa untuk mereka yang menyombongkan diri terhadap Alquran Dan kebenaran juga tertera di ayat selanjutnya.
Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim — Al A'raf - 41[13]
^(Inggris) Sullivan, GB (2007). Wittgenstein and the grammar of pride: The relevance of philosophy to studies of self-evaluative emotions. New Ideas in Psychology. 25(3). 233–252 http://dx.doi.org/10.1016/j.newideapsych.2007.03.003
^ ab(Inggris) Shariff AF, Tracy JL. (2009). Knowing who's boss: implicit perceptions of status from the nonverbal expression of pride. Emotion. 9(5):631–9. PMID 19803585
^(Inggris) Lewis, M., Takai-Kawakami, K., Kawakami, K., & Sullivan, M. W. (2010). Cultural differences in emotional responses to success and failure. International Journal of Behavioral Development, 34(1), 53–61. Retrieved from http://dx.doi.org/10.1177/0165025409348559.
^(Inggris) Tracy, J. L., Robins, R. W., & Schriber, R. A. (2009). Development of a FACS-verified set of basic and self-conscious emotion expressions. Emotion, 9(4), DOI:10.1037/a0015766
^(Inggris) Oveis, C., Horberg, E. J., & Keltner, D. (2010). Compassion, pride, and social intuitions of self-other similarity. Journal of Personality and Social Psychology, 98(4), 618–630, DOI:10.1037/a0017628