Vaksinasi hewan adalah vaksinasi atau pemberian vaksin pada hewan untuk membantu sistem imun hewan tersebut mengembangkan perlindungan terhadap penyakit infeksi. Vaksin hewan yang pertama kali dibuat adalah vaksin kolera unggas pada 1879 oleh Louis Pasteur. Saat ini, beragam vaksin telah diproduksi untuk mencegah berbagai penyakit, seperti vaksin rabies untuk anjing dan kucing, vaksin flu burung untuk unggas, dan vaksin antraks untuk sapi.
Sejarah
Hewan telah menjadi sumber pembuatan vaksin dan penerima vaksin. Pada tahun 1796, Edward Jenner, seorang dokter Inggris, menyuntikkan luka kulit dari orang yang terinfeksi cacar sapi untuk menciptakan perlindungan terhadap variola.[1][2] Vaksinasi untuk hewan pertama kali dibuat pada tahun 1879 oleh ilmuwan Prancis Louis Pasteur yang mengembangkan vaksin kolera unggas.[3] Pasteur lalu mengembangkan vaksin antraks untuk sapi[4][5] dan erisipelas babi pada 1881,[6] serta menguji vaksin rabies pada 50 ekor anjing sebelum ia menerapkannya pada manusia pada 1885.[7][8] Pembuatan sejumlah vaksin hewan berhubungan erat dengan vaksin manusia, seperti vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG) yang dikembangkan pada awal abad ke-20 dengan meneliti bakteri Mycobacterium bovis yang terutama menginfeksi sapi dan Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi manusia.[6]
Tujuan
Tujuan pemberian vaksin pada hewan terkadang berbeda dengan vaksinasi manusia. Meskipun secara umum, terutama pada hewan kesayangan, vaksinasi diterapkan untuk meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraan hewan secara individual, tetapi pada kelompok hewan tertentu, seperti hewan ternak, vaksinasi dilakukan untuk meningkatkan produksi mereka dan pemberian vaksin dilakukan dengan menggunakan analisis biaya-manfaat. Selain itu, vaksinasi terhadap penyakit zoonotik dan penyakit akibat makanan juga dilakukan untuk menurunkan risiko infeksi pada manusia.[9]
Serupa dengan upaya pengendalian penyakit pada manusia, jika sebagian besar populasi hewan telah divaksin hingga mencapai proporsi tertentu, kekebalan kelompok akan tercapai. Pemberantasan penyakit infeksi dapat terwujud dengan vaksinasi. Hingga saat ini, baru dua penyakit infeksi yang berhasil diberantas, yaitu variola yang menginfeksi manusia dan sampar sapi yang menginfeksi hewan.[10][11] Penyakit hewan lain yang berpotensi untuk diberantas secara global adalah penyakit sampar ruminansia kecil.[12][13] Sejumlah penyakit hewan juga berhasil dieliminasi secara lokal dengan bantuan vaksinasi, seperti pseudorabies pada babi yang dieliminasi di Belanda.[14]
Penyakit yang dicegah
Jenis penyakit hewan yang dicegah melalui vaksinasi sangat beragam, yang terutama dipengaruhi oleh status dan situasi penyakit di suatu daerah. Dalam buku panduannya yang diterbitkan pada 2016, World Small Animal Veterinary Association (WSAVA) merekomendasikan vaksin inti dan vaksin noninti (pilihan), serta vaksin yang tidak direkomendasikan untuk anjing dan kucing.[15]
Anjing
Berikut ini adalah daftar vaksin untuk sejumlah patogen pada anjing menurut WSAVA.[15]
Dosis pertama: usia 16 pekan. Dosis kedua: 3–4 pekan setelahnya
Dua dosis dengan interval 3–4 pekan
Sekali setahun direkomendasikan oleh produsen
TD
Ayam
Selain situasi penyakit hewan, vaksinasi pada ayam juga mempertimbangkan jenis ayam tersebut, misalnya ayam pedaging atau petelur. Beberapa penyakit ayam yang tersedia vaksinnya yaitu:[18][19]
Beberapa faktor dapat memengaruhi penerapan vaksinasi hewan secara luas, seperti pengembangan vaksin, distribusi vaksin, dan pemahaman masyarakat.[22] Persyaratan dan regulasi untuk mengembangkan vaksin hewan lebih sedikit dibandingkan vaksin manusia. Oleh karenanya, pembuatan vaksin hewan memerlukan waktu dan biaya yang lebih sedikit dibandingkan vaksin manusia. Namun, penyakit hewan perlu mendapatkan pengakuan agar dinilai layak dan diprioritaskan untuk dibuat vaksinnya,[23] mengingat vaksin hewan memiliki pasar yang jauh lebih kecil dan perolehan keuntungan yang jauh lebih rendah dibandingkan vaksin manusia.[9]
Penggunaan vaksin hewan diperkirakan akan terus meningkat karena vaksin dapat menurunkan risiko penyakit sehingga mengurangi penggunaan obat-obatan, termasuk antibiotik yang semakin dibatasi penggunaannya karena menimbulkan resistansi dan meninggalkan residu pada produk hewan.[24] Meskipun demikian, keraguan terhadap vaksin juga ditunjukkan oleh pemilik hewan.[25][26]
Catatan
^Lebih dikenal dengan nama Canine distemper virus (CDV), yang pada 2016 diubah namanya menjadi Canine morbillivirus oleh ICTV.[16]
^Lebih dikenal dengan nama Canine adenovirus (CAV), yang memiliki dua subtipe, yaitu Canine adenovirus-1 (CAV-1) dan Canine adenovirus-2 (CAV-2).
^Lebih dikenal dengan nama Canine parainfluenza virus (CPiV) atau Parainfluenza virus 5, yang mengalami beberapa kali perubahan nama dan pada 2018 diubah namanya menjadi Mammalian orthorubulavirus 5 oleh ICTV.[17]
Referensi
^"Edward Jenner & Smallpox". The Edward Jenner Museum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Juni 2009. Diakses tanggal 13 Juli 2009.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Vaksin". Pusat Veteriner Farma. Diakses tanggal 17 November 2021.
^ abIndeks Obat Hewan Indonesia (edisi ke-9). Jakarta: Asosiasi Obat Hewan Indonesia, Subdit POH, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 2014.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)