Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Amir Sjarifoeddin

Amir Sjarifoeddin
Perdana Menteri Indonesia ke-2
Masa jabatan
3 Juli 1947 – 29 Januari 1948
PresidenSoekarno
Wakil PM
Sebelum
Pendahulu
Sutan Syahrir
Sebelum
Menteri Pertahanan Indonesia ke-2
Masa jabatan
14 November 1945 – 29 Januari 1948
PresidenSoekarno
Perdana Menteri
Sebelum
Pendahulu
Pengganti
Menteri Penerangan ke-1
Masa jabatan
2 September 1945 – 12 Maret 1946
PresidenSoekarno
Perdana MenteriSutan Sjahrir
Sebelum
Pendahulu
tidak ada, jabatan baru
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Amir Sjarifoeddin Harahap

(1907-04-27)27 April 1907
Medan, Keresidenan Sumatra Timur, Hindia Belanda
Meninggal19 Desember 1948(1948-12-19) (umur 41)
Ngaliyan, Lalung, Karanganyar, Keresidenan Surakarta
KebangsaanIndonesia
Partai politikPartai Sosialis Indonesia
Suami/istriDjaenah br. Harahap
Anak6
Orang tua
  • Djamin Harahap gelar Baginda Soripada (ayah)
  • Basunu br. Siregar (ibu)
Kerabat
ProfesiPolitikus
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabangTentara Nasional Indonesia
Masa dinas1940an
PangkatMenteri Pertahanan Indonesia
Pertempuran/perangRevolusi Nasional Indonesia
Peristiwa Madiun
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ER, EYD: Amir Syarifuddin Harahap; 27 April 1907 – 19 Desember 1948) adalah seorang politikus dan jurnalis Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung.[1] Amir adalah pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948. Sebagai pemimpin pemberontakan PKI Madiun bersama Musso, Amir dieksekusi mati bersama beberapa tokoh PKI lainnya yang terlibat dalam Peristiwa Madiun.[2]

Kehidupan awal

Amir lahir dari keluarga bangsawan Batak Angkola asal Pasar Matanggor. Kakeknya, Sutan Gunung Tua, adalah seorang jaksa di Tapanuli. Ayahnya, Baginda Soripada, juga adalah seorang jaksa di Medan. Di kota itulah, Amir lahir dalam keluarga berada dan memiliki tradisi intelektual. Ini memungkinkan Amier untuk belajar di sekolah-sekolah elit, seperti di Haarlem dan Leiden. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan hukum di Batavia.[1] Selama bersekolah di Belanda, Amir mempelajari filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society.[1] Amir beralih agama dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.[1] Ia pernah memberi kotbah di sebuah gereja HKBP di Batavia.

Pendidikan

Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1921, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926–1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.

Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Rechtshoogeschool te Batavia dengan bantuan beasiswa pemerintah kolonial,[3] dan menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.

Amir pernah divonis penjara karena dituduh bersalah dalam kasus delik pers pada tahun 1933. Ia nyaris dibuang ke Boven Digoel namun diselamatkan oleh Gunung Mulia dan salah satu gurunya.[3]

Perjuangan

Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.

Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.

Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah, Amir kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.

Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.

Dalam Persetujuan Renville tanggung jawab ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin kemudian diganti oleh Kabinet Hatta akibat hasil perundingan Renville yang dinilai gagal oleh golongan Masyumi dan Nasionalis karena lebih banyak menguntungkan pihak Belanda.

Jabatan

Peristiwa Madiun

Pemberontakan PKI 1948, pada masa pemerintahan Hatta, PKI berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Musso tertembak dalam pertempuran kecil di Ponorogo, Musso ditangkap dan ditembak mati. Selepas, Musso tewas, Amir Sjarifuddin memimpin pelarian yang diikuti oleh 3.000 orang golongan kiri. Namun, pelarian ini juga berhasil digagalkan setelah keberadaan Amir berhasil terlacak dan ia diamankan.

Setelah diamankan, Amir dibawa ke Kudus dan kemudian dipindah ke Yogyakarta. Akhirnya Amir dipenjara di Benteng Yogyakarta dan kemudian dipindahkan ke Surakarta. Desember 1948, menjadi bulan terakhir bagi Amir karena ia harus meregang nyawanya di tangan para eksekutor. Eksekusi yang dilakukan kepada Amir dilakukan bersama dengan eksekusi tokoh PKI lainnya, seperti Maruto Darusman, Suripno, dan Sarjono.

19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngaliyan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindah ke rumah penjara Benteng Yogyakarta.

Makam Amir Sjarifoeddin Harahap di TPU Ngaliyan, Kelurahan Lalung, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar

Referensi

  1. ^ a b c d Vickers (2005), page 86
  2. ^ Purba, Yema Siska (September 2013). Michellia, Dewi Kharisma, ed. Amir Sjarifoeddin: Nasionalis yang Tersisih. PolGov. ISBN 978-602-7636-25-5. Diakses tanggal 3 Desember 2021. 
  3. ^ a b "Tjipto hingga Leimena: Penerima Beasiswa yang Membangkang Belanda". Tirto.id. Diakses tanggal 2020-08-20. 

Pranala luar

Jabatan politik
Jabatan baru Menteri Penerangan Indonesia
1945–1946
Diteruskan oleh:
Mohammad Natsir
Didahului oleh:
Soeprijadi
Menteri Pertahanan Indonesia
1945–1948
Diteruskan oleh:
Hamengkubuwono IX
Didahului oleh:
Sutan Sjahrir
Perdana Menteri Indonesia
1947–1948
Diteruskan oleh:
Mohammad Hatta
Kembali kehalaman sebelumnya