Suku Nias adalah kelompok etnik yang berasal dari Pulau Nias. Mereka menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono berarti anak/keturunan; Niha = manusia) dan Pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö berarti tanah). Hukum adat tradisional Nias secara umum disebut fondrakö. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik, dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.[2]
Asal-usul
Mitologi
Berbagai mitos dalam hoho menceritakan kedatangan suku Nias ke pulau. Sebuah hoho mengatakan bahwa orang Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora'a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama Teteholi Ana'a. Kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 putra yang disuruh keluar dari Teteholi Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.[3] Mitos lainnya, Inada Sirici menurunkan 6 orang anak ke Pulau Nias dan menjadi leluhur.[4] Masih terdapat beberapa versi lain tentang kehadiran manusia di Nias.
Penelitian Arkeologi
Penelitian arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999. Penelitian ini menemukan Pulau Nias telah dihuni sejak 12.000 tahun yang lalu oleh imigran dari daratan Asia, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau. Budaya Hoabinh di Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias menimbulkan dugaan imigrasi penduduk dari Vietnam.[5]
Pada 2013, penelitian genetika oleh mahasiswa doktoral Departemen Biologi Molekuler Forensik Erasmus MC menyimpulkan bahwa masyarakat Nias berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Mereka diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu.[6]
Penelitian ini juga menemukan bahwa dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Gua Tögi Ndrawa. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan bahwa manusia yang menempati gua tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu.[7][8]
Suku Nias menerapkan sistem mado mengikuti garis ayah (patrilineal). Mado-mado umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.
Sebaran di Indonesia
Sebagian besar orang berada di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Pulau Nias. Pulau Nias terbagi menjadi lima wilayah administrasi, yakni 4 kabupaten dan 1 kota. Jumlah orang Nias cukup signifikan di Provinsi Riau. Tahun 2010, jumlah orang Nias di Indonesia sebanyak 1.041.925 jiwa (0,44%) dari 236.728.379 jiwa penduduk.[1]
Berikut ini adalah sebaran orang Nias di Indonesia berdasarkan data resmi pemerintah melalui Sensus Penduduk Indonesia 2010, menurut provinsi:[1]
Umumnya bahasa Nias dianggap memiliki tiga dialek. Dialek utara dituturkan di daerah Gunungsitoli, Alasa dan Lahewa. Dialek selatan dituturkan di Nias Selatan. Sementara itu, dialek tengah dituturkan di Nias Barat, khususnya di daerah Sirombu dan Mandrehe. Sementara itu, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatera Utara 1977/1978 membagi bahasa Nias ke lima dialek. Dialek utara dituturkan di Alasa dan Lahewa; dialek Gunungsitoli; dialek barat di Mandrehe, Sirombu, Kepulauan Hinako; dialek tengah di Gido, Idano Gawo, Gomo, Lahusa; dan dialek selatan di Telukdalam, Pulau Tello, dan Kepulauan Batu. Tingkat kemiripan antara dialek ini mencapai 80%. Bahasa Nias juga sebagai bahasa resmi di Nias.
Alfabet
Abjad dalam bahasa Nias berbeda dengan abjad dalam bahasa Indonesia, di mana ada yang dikurangi (tidak dipakai) dari abjad bahasa Indonesia dan ada yang ditambahkan abjad unik (karakter khusus) dalam bahasa Nias yang pengucapannya tidak terdapat di dalam abjad bahasa Indonesia. Abjad Bahasa Nias huruf besar dan huruf kecil sebagai berikut:
Beberapa kosakata bahasa Nias dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dapat dilihat di Daftar Swadesh bahasa Nias.
Agama
Sebagian besar orang Nias adalah pemeluk agama Kristen Protestan. sedangkan yang lainnya beragama Islam, Katolik, Buddha dan Fanömba adu. setidaknya menurut kenyataan sekitar tahun 1967. Sistem kepercayaan yang disebut terakhir ini adalah nama yang diberikan oleh pihak luar. yang merupakan sistem kepercayaan yang berasal dari leluhur mereka. Mereka menyebut Molehe Adu, yaitu pemujaan roh leluhur. Untuk itu mereka membuat patung-patung kayu (adu) yang ditempati oleh roh leluhur.
Dalam sistem kepercayaan ini dikenal beberapa dewa. Yang terpenting ada lah Lowalangi, yang dianggap raja segala dewa dari dunia atas atau sang pencipta. Lature Danö adalah raja dewa-dewa dunia bawah da saudara tua Lowalangi tadi. Silewe Nasarata adalah pelindung dari para pemuka agama dan merupakan isteri dari Lowalangi; dan sumber lain menyebutkan sebagai penghubung dewa dunia atas dan dewa dunia bawah, serta sebagai penghubung antara kaum dewa dan umat manusia. Sebenarnya bagi orang Nias Selatan nama Lowalangi, yang biasa di sebut Lowalani, diperkenalkan oleh misionaris Jerman . Orang Nias Selatan dulu mengenal nama Ida Samihara Luo sebagai pencipta dewa dan manusia. Sang pencipta ini tidak mempunyai realitas, namun dari padanya timbul dua anak kembar yang kemudian anak kembar ini kawin dan mengembang biakkan dewa dan manusia.[9]
Gaolo : Hasil parutan dari pada "ubi kayu" dan di aduk dengan tambahan air bersih secukupnya, kemudian dimasak menggunakan periuk secara sederhana, dan dimakan dengan cara mencelupkan ke air cabe yang sudah disediakan.
Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
Rakigae (pisang goreng)
Tamböyö (ketupat)
Löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
Gae nibogö (pisang bakar)
Kazimone (terbuat dari sagu)
Wawayasö (nasi pulut)
Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)
Peralatan Rumah Tangga
Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.
Tuo mbanua / Sataha (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)
^Na’im, Akhsan; Syaputra, Hendry (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. hlm. 9. ISBN978-979-064-417-5.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Peter S. Bellwood (1979), Man's conquest of the Pacific: the prehistory of Southeast Asia and Oceania, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-520103-1.