Luitenant-generaal Zijne Vorstelijke Hoogheid Sri Maharaja Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat[1][2]
Sri Susuhunan Pakubuwana X (bahasa Jawa: ꧋ꦯꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦯꦶꦤꦸꦲꦸꦤ꧀ꦑꦁꦗꦼꦁꦯꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦦꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧐꧇ sering disingkat sebagai PB X; 29 November 1866 – 20 Februari 1939) adalah susuhunan (sunan) Kesunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893-1939. Ia bertakhta meneruskan kedudukan ayahnya, Susuhunan Pakubuwana IX, sebagai susuhunan Surakarta setelah Pakubuwana IX meninggal pada 16 Maret 1893. Dua minggu setelahnya, Pakubuwana X resmi dilantik sebagai susuhunan pada 30 Maret 1893.
Dalam pergerakan nasional, Pakubuwana X mendukung para pelopor perjuangan nasional melalui pemberian fasilitas, materi, keuangan dan moral. Selain itu, ia berperan serta membantu pergerakan Budi Utomo dan pendirian Sarekat Dagang Islam.[4][5]
Awal kehidupan
Pakubuwana X memiliki nama lahir (asma timur) sebagai Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna, putra dari pasangan Pakubuwana IX dan permaisuri Kanjeng Raden Ayu (KRAy.) Kustiyah, kemudian bergelar GKR. Pakubuwana, yang lahir pada tanggal 29 November1866.[6] Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.[7]
Kisah kelahirannya menjadi cermin kurang harmonisnya hubungan antara Pakubuwana IX dengan R.Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga kenamaan keraton. Pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya kepada Ranggawarsita kelak anaknya akan lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap bisa mendapat putra mahkota dari KRAy. Kustiyah.[8]
Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau bertirakat, berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan seorang bayi laki-laki. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.[8]
Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Kurang harmonisnya hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah dari Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura.[8]
Kehidupan pribadi
Selama hidupnya, Susuhunan Pakubuwana X menikah dengan dua putri istana yang ia jadikan sebagai permaisuri alias istri utama (garwa padmi), masing-masing adalah BRAj. Sumarti alias GKR. Pakubuwana (putri KGPAA. Mangkunagara IV) dan GBRAj. Mursudarinah alias GKR. Hemas (putri Sultan Hamengkubuwana VII). Dari kedua permaisurinya itu, Susuhunan Pakubuwana X tidak memiliki putra laki-laki; pernikahannya dengan GKR. Pakubuwana tidak dikaruniai keturunan, sedangkan dengan GKR. Hemas ia hanya dikaruniai seorang putri yang bernama GRAj. Sekar Kedhaton Kustiyah, yang setelah dewasa bergelar GKR. Pambayun.
Susuhunan Pakubuwana X juga memiliki 39 istri selir (priyantun dalem), dan dari keseluruhan istrinya baik selir maupun permaisuri, Pakubuwana X memiliki 63 orang putra-putri. Beberapa orang putra Pakubuwana X nantinya berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain:
Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern.
Pada masa pemerintahannya, Pakubuwana X melakukan pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan keterampilan. Pada bidang ekonomi Pakubuwana X membangun Pasar Gede Harjonagoro dan mendirikan Bank Bandhalumaksa yang berperan memberi pinjaman kepada abdi dalem untuk perbaikan rumah ketika wabah pes melanda Surakarta.[butuh rujukan]
Di bidang pendidikan, Pakubuwana X mendirikan Sekolah Pamardi Putri dan HIS Ksatriyan untuk kepentingan kerabat keraton serta mendirikan sekolah pertanian di Tegalgondo, Klaten. Selain mengembangkan pendidikan umum, Pakubuwana X juga mengembangkan pendidikan islam. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk mengembangkan pendidikan islam seperti mendirikan madrasah Mambaul Ulum dan menghidupkan kembali Pesantren Jamsaren.[9]
Di bidang kesehatan Pakubuwana X membangun klinik kesehatan Panti Raga (kelak berkembang menjadi Rumah Sakit Kadipala) dan apotek Panti Husada yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kridha Nirmala. Infrastruktur modern banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Taman Sriwedari, Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.
Pada tanggal 21 Januari1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.
Di bidang kesenian, Pakubuwana X menciptakan Gendhing Panembrama, sebuah gending yang sering dipertunjukkan dalam acara pemberian penghargaan tanda jasa dari negara-negara sahabat. Selain itu, gending ini juga sebagai wujud legitimasi kekuasaan Pakubawana X sebagai penguasa Kesunanan Surakarta di tengah pembatasan kekuasaan raja oleh pemerintah Hindia Belanda dan juga sebagai wujud perlawanan melalui seni karawitan.[10]
Perubahan birokrasi
Pada masa Pakubuwana X berkuasa, birokrasi pemerintahan di Kasunanan Surakarta mengalami perubahan. Fungsi dari masing-masing institusi yang berada di keraton mengalami tersebut, yaitu:[11]
Reh Kasentanan, bertugas melayani raja, permaisuri, serta anak raja
Reh Kanayakan, bertugas melayani para abdi dalem kerajaan
Lembaga yang mengurusi keuangan istana
Lembaga yang mengurusi yayasan, rumah tinggi istana, perlengkapan istana, dan kegiatan istana yang lain; misalnya wisudan dan manten
Lembaga yang mengurusi tanah pamijen keraton dan pembangunan di lingkungan istana
Pada masa pemerintahannya juga dibentuk sebuah Dewan Pertimbangan (raad) yang bertugas mendampingi raja beserta para abdi dalem dalam menjalankan pemerintahan. Ketiga dewan tersebut adalah sebagai berikut:
Dewan Bale Agung, bertugas memberikan pertimbangan dan saran terhadap rancangan peratura yang hendak dikeluarkan
Dewan Karaton, dewan ini dibentuk khusus untuk kepentingan raja yang bertugas mengajukan usul dan mempertimbangkan hasil keputusan
Dewan Kepatihan, bertugas memberi pertimbangan atas segala keputusan Dewan Bale Agung yang telah mendapat peninjauan dari Dewan Karaton
Politik
Selama pemerintahannya yang panjang, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Hal ini tak lepas dari cara berpolitik Pakubuwana X yang oportunistik. Pakubuwana X cenderung berhati-hati dalam bertindak dan menjauhi hal-hal buruk yang dapat mengancam kekuasaannya. Dengan strategi politik ini, Pakubuwana X dapat melaksanakan kewajibannya sebagai raja Surakarta sekaligus taat terhadap pemerintah Hindia Belanda sedangkan pada waktu yang bersamaan ia juga membantu organisasi pergerakan nasional dengan memberikan berbagai bentuk dukungan terhadap Budi Utomo dan SI tanpa mendapat halangan dari pemerintah Hindia Belanda.[12]
Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang pribumi saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat Muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.
Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Di luar Jawa, ia juga melawat ke Bali, Lombok, serta Lampung.
Pada bulan Desember1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Hindia Belanda. Pada bulan Februari1922, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tetapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwana X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang monogram PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas.
Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Jawa, Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Sekalipun perjalanannya bersifat incognito, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar.
Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.
Mobil
Pada tahun 1894, Susuhunan Pakubuwana X menjadi orang sekaligus raja Jawa pertama yang memiliki mobil. Mobil yang dibeli adalah Benz Victoria Phaeton karya Karl Benz, Jerman.
Mobil itu dipesan melalui perusahaan Prottle & Co yang berkantor di Pasar Besar, Surabaya. Harganya pada saat itu 10.000 Gulden[13] yang kalau sekarang dirupiahkan sekitar Rp. 83 juta. Mobil ini baru diterima oleh Pakubuwana X setahun setelah pemesanan. Mobil tiba di pelabuhan laut Semarang.
Pada era 1800-an, sebagian besar transportasi darat di dunia, terutama di Jawa masih berbentuk gerobak yang ditarik kuda. Bahkan ada yang ditarik oleh sapi atau pun kerbau. Umumnya mendapat sebutan kereta. Masuknya Benz Victoria Phaeton ke tanah Jawa dianggap sebagai sesuatu yang unik, makanya disebut Kereta Setan karena ada 'kereta' yang berjalan tanpa ditarik kuda.[14]
Kendaraan milik Pakubuwana X (1866–1939) ini pernah diikutsertakan dalam pameran RAI Amsterdam Motor Show tahun 1924. Jadi setelah di tangan PB X, mobil tersebut dibawa ke Belanda dari pulau Jawa dan kini menghuni di sebuah museum di Amsterdam.[14]
Sebelum masuk jadi koleksi museum, pernah dimiliki oleh Royal Dutch Automobile Club (KNAC) selama bertahun-tahun. Mobil juga selalu hadir regular di acara London to Brighton Veteran Car.[14]
Setelah memesan Benz Victoria Phaeton, selang 13 tahun kemudian, Pakubuwana X kembali memesan mobil baru asal Jerman. Pada tahun 1907, mobil bernama Britz Daimler tiba di tanah Jawa sekaligus menjadi mobil Daimler pertama yang hadir di Jawa. Pada saat itu, mobil merek ini termasuk dalam kategori mobil mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi.[14]
Gelar
Penobatan Pakubuwana X sebagai susuhunan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 30 Maret 1893 (tahun Jawa: Kemis Wage 12 Pasa 1882). Ia memiliki berbagai gelar kebangsawanan, diantaranya:
Nama lahir: Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna
Sebagai putra mahkota: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI
Sebagai Susuhunan: Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat
Pakubuwana X menyandang nama dan gelar yang berbeda dalam setiap fase hidupnya, seperti kebiasaan di kalangan bangsawan Jawa yang tinggi. Ketika statusnya meningkat, gelar disesuaikan dengan perubahan status. Berikut adalah gelar yang pernah disandang oleh PB X diantaranya: Luitenant-kolonel (1884-1890), Kolonel (1890-1893), Generaal-majoor Zijne Hoogheid (1893-1923), Luitenant-generaal Zijne Hoogheid (1923-1932), Luitenant-generaal Zijne Prinselijke Hoogheid dan Zijne Vorstelijke Hoogheid (1932-1939).[15]
Pakubuwana X menjadi raja Kesunanan yang paling banyak menerima penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda. Pemberian gelar ini tidak lepas dari jasa-jasa Pakubuwana untuk pemerintah kolonial, seperti membantu residen dan gubernur dalam melaksanakan tugas di wilayah koloninya. Bantuan yang diberikan tentu saja mempertimbangkan manfaat yang didapat bagi Kesunanan Surakarta. Intensitas pemberian gelar kepada Pakubuwana X yang lebih banyak dibandingkan elit lainnya di Jawa menyebabkan Pakubuwana X sering mengadakan tedhak loji dengan megah. Prosesi khusus dari keraton ke rumah residen yang sangat mewah tersebut menjadi sorotan masyarakat. Pakubuwana X tampil dengan megah melakukan tedhak loji disertai dengan medali-medali, keluarga kerajaan, dan beberapa abdi dalem Kesunanan. Hubungan khusus antara Pakubuwana X dengan pemerintah kolonial menyebabkan pemerintah kolonial memberikan perlakuan khusus terhadap Pakubuwana sesuai dengan kontribusi yang diberikan.[16]
J.F.W. van Nes, seorang dewan perwakilan kerajaan Belanda untuk wilayah Hindia Belada mengkritisi pemberian gelar ini. Ia khawatir bahwa pemberian tanda penghormatan kepada Susuhunan akan mengacaukan hierarki yang telah terbangun. Di sisi lain, pemberian gelar ini mendapat pujian dari sesama bangsawan dari India, Jagatjit Singh. Selain itu, ia juga mengkritisi pemerintah Inggris yang tidak memperkenankan bangsawan India menerima dan memakai medali kehormatan yang berasal dari Inggris atau negara lainnya.[16]
Kehormatan
Gelar bangsawan untuk Pakubuwana X
Gaya referensi
Susuhunan
Gaya penyebutan
Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem
Gaya alternatif
Sinuhun
Nama Tahta
''Letnan Jenderal Yang Mulia Sri Maharaja Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Kanjeng Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Gusti Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat''
Pada tahun 2009, karena kontribusinya terhadap kesejahteraan dan kepentingan penduduk pribumi di dalam kesunanan selama pemerintahannya, serta telah menjadi pelindung besar bagi banyak proyek ekonomi dan budaya lokal, Pakubuwana X ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Potret studio Sri Susuhunan Pakubuwana X mengenakan ageman kasenapaten, ketika masa-masa awal bertakhtanya.
Sri Susuhunan Pakubuwana X bersama GKR. Hemas, putra-putri dan cucunya di Karaton Surakarta pada 27 Oktober 1915.
Sri Susuhunan Pakubuwana X bersama istrinya GKR. Hemas dan putrinya GRAj. Sekar Kedhaton (GKR. Pambayun).
Para pangeran Yogyakarta dan kerabat Sri Sultan Hamengkubuwana VII bersama kerabat Sri Susuhunan Pakubuwana X dan para pangeran Surakarta, pada sebuah acara resmi di Karaton Surakarta.
Para pangeran Surakarta, saudara dan putra dari Sri Susuhunan Pakubuwana X. Dari kiri ke kanan: KGPH. Kusumayudha, KGPH. Kusumadilaga, KGPH. Kusumadiningrat, KGPH. Prabuningrat, KGPH. Hangabehi (kemudian bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI), KGPH. Purbadiningrat, KGPH. Hadiwijaya, dan KGPH. Suryabrata.
Kakak ipar dan saudari dari Sri Susuhunan Pakubuwana X.
^Mirnawati (2012). Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: CIF. ISBN978-979-788-343-0.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Miksic, John (general ed.), et al. (2006) Karaton Surakarta. A look into the court of Surakarta Hadiningrat, central Java (First published: 'By the will of His Serene Highness Paku Buwono XII'. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004) Marshall Cavendish Editions Singapore ISBN981-261-226-2